Langsung ke konten utama

AKU BUKAN MONYET!!


sumber: kaskus


Heran, setelah berhasil selamat dari gunung itu kok sepertinya orang-orang di sekitarku malah memandang dengan cara yang aneh? Bukannya memberikan selamat  karena aku berhasil bertahan hidup setelah hampir sepuluh hari tersesat, mereka malah memanggilku dengan sebutan monyet. Jujur saja aku kecewa dengan mereka. Kalau mereka berharap aku mati di gunung itu, kenapa tidak bilang saja secara langsung? Bukannya malah mengata-ngatai aku seperti ini.

Memang setelah aku keluar dari gunung itu selalu ada seekor monyet yang mengekor di belakangku.  Asal kalian tahu saja, monyet itu yang sudah bikin aku selamat dan berhasil keluar dari gunung sialan itu. Kalau saja aku tidak bertemu si monyet aku pasti sudah mampus.

Biar aku ceritakan ya, di hari ketiga setelah tersesat, aku  tidak pernah berpikir akan keluar dari gunung itu hidup-hidup. Kata orang-orang gunung tempat aku biasa berburu itu wingit, angker, sudah banyak orang yang masuk tapi tak pernah berhasil keluar.

Sempat putus asa, aku pernah berniat melesakkan peluru dari senapanku ke arah perut. Tapi aku takut tidak langsung mati. Keadaan cidera tapi tidak mati malah akan membuat aku semakin tersiska. Aku urungkan  niat. Berusaha berjalan terus supaya ketemu jalan setapak. Siapa tahu saja aku bisa bertemu pencari kayu bakar atau mungkin tim SAR.

Di hari ke empat, keadaanku semakin payah. Tubuhku luar biasa lemas, terlalu sering menggasak akar pohon dan daun-daunan liar sudah menunjukkan efeknya terhadap tubuhku. Sepertinya aku keracunan, pandangan mataku mulai buram, nafasku senen-kemis. Beberapa jam terakhir, perutku cuma terisi air embun yang kukumpulkan dari daun keladi.

Antara setengah sadar dan jaga, tiba-tiba ada seekor monyet yang naik ke atas dadaku, posisiku waktu itu memang sedang telentang. Sialnya, dengan santai tiba-tiba saja dia berak, di atas dadaku, tepat di depan hidungku. Dasar monyet sialan. Merasa terhina dengan perlakuan si monyet, kukeluarkan sisa tenaga yang aku punya untuk bangun. Si monyet sadar dan lekas pergi menyingkir.
Dengan kepala masih pening kuedarkan pandanagan, mencari ke arah mana si monyet pergi. Ketemu, dia masuk ke dalam hutan yang sedikit landai. Kukejar dia dengan langkah gontai.

“Oi, bangsat. Kesini kau! Dasar monyet tak tahu adat.” Aku menyumpah-nyumpah sepanjang jalan.
Kekeluarkan parang yang tersampir di pinggang. Kalau si monyet mendekat akan kuhabisi, batinku. Si monyet terus berayun pada dahan pohon yang rendah, seolah-olah mempermainkanku sambil mengeluarkan suara ‘nguk nguk nguk nguk’.

Tidak sampai tiga puluh meter dari tempat pertemuanku dengan si monyet, ada gubuk dari beton dengan atap seng. Si monyet dengan santainya nangkring di atas atap sambil mecari kutu.

‘Duar… Duar…’ tiba-tiba saja petir menggelegar, kabut turun, hujan deras mengguyur. Aku belingsatan mencari tempat berlindung, si monyet menghilang.

Dengan rasa takut tapi terpaksa, aku akhirnya masuk ke dalam bangunan yang kutaksir adalah sebuah petilasan. Lumayan hangat di dalam sini. Setidaknya aku tidak harus kuyup menggigil karena hujan.
Di dalam ternyata banyak makanan terhidang, ada nasi tumpeng, pisang, kopi, rokok. Air liurku terbit. Rasa lapar yang terus menggerogoti lambungku karena tidak terisi nasi berhari-hari membuat aku lupa kalau petilasan ini adalah tempat yang wingit. Tempat orang-orang goblok nyupang sama dedemit.

Aku nekat saja menyikat semua makanan yang ada. Peduli setan kalau nanti aku disurupi raja siluman. Makanan tandas, hujan berhenti. Si monyet muncul lagi.

“Terima kasih.” Kataku pada si monyet sambil memasukkan kembali parangku ke sarungnya. Si monyet hanya menjawab ‘nguk… nguk… nguk…’.

Semenjak hari itu, aku jadi akrab dengan si monyet. Aku bertualang dari satu petilasan ke petilasan lainnya. Ternyata banyak sekali petilsan yang tersembunyi di gunung ini. Si monyet sepertinya sudah hafal betul lokasi setiap petilasan. Di sana aku bisa menggasak makanan sesukaku. Di kehidupan normal saja aku tidak pernah merasakan yang enak-enak, tapi di petilasan sering aku temui makanan mewah, uang dengan pecahan bermacam-macam, bahkan ada orang goblok pemuja siluman yang menyampirkan jas, dasi dan celana lengkap, seperti baru keluar dari laundry. Aku tidak tahu apa maksudnya.

Begitu terus sampai akhirnya aku bisa menemukan jalan keluar dari gunung terkutuk itu. Dan orang-orang memandangku dengan tatapan aneh saat aku berhasil selamat. Tapi aku tidak mau ambil pusing. Terserah mereka mau berpendapat apa saja, aku tidak mau peduli.

Suatu hari setelah bangun tidur, perutku mulas. Buru-buru aku berlari ke arah sungai untuk buang hajat. Si monyet ikut serta bersamaku ke sungai.

Sambil mejan-mejan karena perutku yang sakit aku menatap aliran air di bawahku. Lho, kok wajahku seperti ada bulunya? Kukucek-kucek mata mencoba memastikan. Benar, wajahku berbulu, seperti monyet.

Si monyet bergantungan lalu melompat dan hinggap di batu besar sebelah kiriku. Sekali lagi aku tatap pantulan wajahku yang seperti monyet di permukaan air. Masih belum berubah, malah semakin mirip monyet.

Aku berpaling ke si monyet. Si monyet tiba-tiba duduk seperti orang bersila. Aku tatap wajahnya dalam-dalam.

“Selamat bergabung dengan kami, Anak Muda.”

Tiba-tiba puluhan monyet keluar dari balik pepohonan seolah menyambut anggota baru.

Ternyata ini benar-benar terjadi. Aku seperti mereka. Aku menjadi monyet. Sial!

    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s