Langsung ke konten utama

SEBENTAR LAGI FAJAR

You know that everyday a helpless child is born
Who needs some loving care inside a happy home

Queen/ Is This The World We Created?

“Ibu,”

“Iya, Sayang.”

“Bolehkah aku meminta sesuatu?"

"Apa?"

"Aku ingin kembali ke dalam rahim ibu.Berhangat-hangat di dalamnya dan tak pernah berharap untuk terlahir."


*****


Bersyukur sekaligus terkutuklah orang yang terlahir dan besar di bumi ini. Segala bentuk kehidupan rapat tersaji. Kontradiktif, imajinatif, mengundang selera, menipu, mempermainkan akal perasaan, mengkhianati nurani.

Figura penuh debu, di dalamnya terselip poto seorang gadis remaja dengan lesung pipit dan rambut poni sebatas alis. Di pojok kanan bawah ada tulisan tangan buram.

28 Oktober 2011. Sudah lima tahun berlalu, batinnya.

Matanya menerawang jauh.


*****


Seorang perempuan dengan peluh yang membanjiri seprai tengadah, menjerit, terengah-engah, berdoa untuk dua kehidupan yang kini nyaris putus, dia dan anak yang akan dilahirkannya.

Sayang takdir tidak berpihak pada mereka. Si anak mati sesaat setelah dilahirkan. Perjuangan yang berakhir sia-sia.

Dokter menyerahkan mayat bayi yang belum sempat menangis itu ke dalam pelukan si ibu.
Biarkan saya berdua dengan anak saya. Pintanya.

Dokter memahami perasaan si ibu, setelah merapikan semuanya. Dokter dan suster meninggalkan mereka berdua, sekadar untuk bermanja-manja sambil mengucap selamat tinggal.

Siapa yang bisa menebak permainan takdir yang kadang memainkan perasaan tanpa belas kasih? Siapa pula yang bisa menghalangi doa tanpa putus selama berjam-jam dari ibu yang baru melahirkan? Doa tulus yang langsung menembus batas-batas tingkap langit.

Seisi ruangan pecah, gemuruh oleh tangis bayi yang sebelumnya divonis mati. Dokter yang menyadari hal ini lekas-lekas memburu ke dalam ruangan, mencoba sebisa mungkin menstabilkan keadaan si bayi.

Orang-orang yang menyaksikan hal ini tanpa henti menangis, beristighfar, melantunkan ayat-ayat suci, menyebut-nyebut nama Tuhan Yang Maha Agung yang sudah memperkenankan mereka menjadi saksi atas peristiwa magis ini. Tuhanlah yang menggenggam semua rahasia.

Setidaknya kamu pernah mencicipi udara bumi, Sayang. bisik si ibu.


*****


Bayi yang pernah divonis mati itu kini sudah tumbuh jadi anak yang sehat, cerdas dan periang.

"Gambar apa ini, Sayang?"

"Ini gambar aku di sekolah tadi, Bu."

"Ini siapa yang sedang hamil?"

"Itu Ibu."

"Lalu ini siapa yang ada dalam perut ibu?"

"Itu Anisa."

"Kenapa Anisa ada dalam perut ibu?"

"Karena Anisa seharusnya tidak lahir. Anisa mau ada dalam perut ibu selamanya."

Jawaban yang aneh untuk anak berumur lima tahun.

Firasat dan rasa ngeri tiba-tiba terselip dalam hati si ibu.


*****


Kalau ada hal paling sia-sia dalam hidup manusia, itu adalah menghitung waktu. Mencoba memahami yang tak pernah mampu dipahami. Menakar waktu dalam lengkung jam dan pergerakan matahari.

Sia-sia.

Si anak sekarang sudah tumbuh menjadi remaja yang cantik. Kulit putih dan bola mata hazel jelas-jelas diwariskan dari ayahnya, sedangkan sifat teang dan penyayang dari ibunya.

Ada yang aneh belakangan ini, menyentuh usianya yang satu bulan lagi genap tujuh belas, si anak bukannya semakin mandiri tapi malah bertambah manja.

Setiap sarapan minta disuapi dan saat malam selalu minta ditemani tidur. Si anak selalu tidur dengan kepala disandarkan ke perut si ibu sebagai pengganti bantal. Si ibu tidak merasa keberatan. Si ibu tahu.


*****

Genap sudah tujuh belas tahun. Pagi yang basah. Diiringi kokok ayam pertama. Si ibu tidak merasakan detak jantung anak semata wayangnya.

Tenang, si ibu membelai kepala anaknya yang terkulai di perut. Diusapnya kening yang sudah dingin itu. Sebisa mungkin menahan ledakan tangis yang sudah tertahan di kerongkongan.

Di pagi yang basah itu Tuhan sudah menggenapkan doanya, tujuh belas tahun lalu.


*****


Tujuh belas tahun lalu, di rumah sakit.

"Tuhan, setidaknya biarkanlah anakku ini menikmati hidup sampai tujuh belas tahun. Biarkan nafasnya merempahi keluarga kami, senyumnya jadi hiasan yang akan selalu kami kenang. Biarkan detak jantungnya menjadi penyemangat hidup kami.

Aku mohon Tuhan, Engkaulah Maha Pengabul, Maha Penghapus Air mata. Kabulkanlah doaku.

Kumohon dengan sangat...

Kumohon dengan sangat...

Komuhon denagn sangat...


*****


Figura berdebu itu kini basah oleh air mata, terkenang kematian anaknya lima tahun lalu. Tapi tak ada yang dia sesali. Dia sudah ikhlas.

"Sekarang kamu sudah tenang, Sayang. Sudah kembali ke dalam rahim bumi yang  selalu kamu rindukan. Rahim abadi yang akan selalu menjagamu, menyayangimu, dan memberimu kehangatan tanpa putus."

Dari jauh lamat-lamat suara adzan terdengar, lalu mulai ramai besahut-sahutan. Sebentar lagi fajar datang. Hidup baru akan segera dimulai untuk meneruskan cerita yang belum selesai.
Si ibu bergegas mengambil air wudhu.

Di awal doanya dia selalu mengulang doa yang sama setiap hari selama lima tahun terakhir tanpa henti.

"Terima kasih banyak Tuhan atas cinta yang sempat kau selipkan selama tujuh belas tahun dalam hidup kami.

Terimalah rasa terima kasihku yang tak berkesudahan ini

Terimalah...

Terimalah...

Terimalah...

Amiiin"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...