Langsung ke konten utama

JAKARTA (AKU) BEKU

www.liataja.com

Tiba-tiba ada yang aneh dengan Jakarta pagi itu. Sejak malam suhu drop total sampai di bawah nol. Salju turun. Sungai-sungai beku. Burung-burung dalam sangkar mati. Masyarakat kaget, tapi mencoba menghibur diri kalau fenomena ini cuma anomali cuaca biasa dan akan normal kembali dalam waktu dekat.

Tiga hari selanjutnya, salju tetap turun dari langit. Jalanan tertutup salju setinggi paha. Rumah-rumah yang terbuat dari kayu roboh karena tak sanggup menahan salju yang jatuh di atas genteng.
Karena hujan salju adalah peristiwa langka di Jakarta, masyarakat berbondong-bondong ke luar rumah, membuat boneka salju, bikin benteng-bentengan bahkan ada beberapa yang membawa sirup untuk membuat es buah.

Hari kelima, jalanan menjadi lengang. Ketinggian timbunan salju sudah hampir dua meter. Beberapa tetangga sebelah rumahku mati kena hipotermia.

Pemerintah stress, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tentara diturunkan untuk membersihkan salju. Sebagian besar warga di evakuasi ke luar kota, ke tempat yang lebih hangat.

Sial bagi orang-orang sepertiku, yang rumahnya berada di gang sempit. Akses kendaraan sulit sekali masuk ke wilayah ini. Jadilah kami harus bersabar menunggu jemputan untuk dievakuasi.

Ibukota mati total, Indonesia seolah-olah tak punya ibukota lagi. Dari berita yang kudengar, Gubernur malah sudah jauh-jauh hari minggat ke daerah hangat. Menyelamatkan diri dari bencana yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Gedung DPR sudah rubuh sejak dua hari yang lalu, atapnya yang rata menjadi perangkap yang sempurna untuk menampung salju. Gelandangan mati di pojok-pojok toko yang ditinggalkan pemiliknya.

Plasss…!! Listrik mati. Lengkap sudah penderitaan untuk Jakarta di hari keenam ini. Tak ada lagi harapan yang tersisa, Jakarta sudah dipersiapkan untuk mati beku.

Pemerintah menutup mata dan mencoret Jakarta dari peta Indonesia. Kota yang dulu jadi pusat segala-galanya kini ditinggalkan dan tidak pernah dianggap ada.

Tubuhku menggigil di kamar yang sengaja aku sempit-sempitkan untuk menahan suhu agar tetap hangat. Entah berapa puluh buku yang sudah aku bakar. Pegangan tangga dan pintu kamar mandi adalah kayu terakhir yang bisa aku bakar untuk menjaga suhu dalam kamar sempit ini.

Puluhan bungkus biskuit, mi instant, sarden dan kornet hasil jarahanku kemarin di mini market yang sudah ditinggalkan aku jejerkan dekat pintu. Makanan terakhir, sulit sekali untuk keluar dalam keadaan seperti ini. Ketinggian timbunan salju di luar hampir tiga meter!

Dalam keadaan setengah sadar tiba-tiba aku teringat pesan guru ngajiku waktu aku kecil.

“Dalam keadaan apapun ingatlah Tuhan, karena Tuhan selalu mengingat umatnya. Tuhan lebih dekat dari urat leher.”

Dengan sisa kekuatan terakhir yang aku punya, aku gerus mi instant dan memakannya mentah-mentah. Aku butuh cadangan karbohidrat yang banyak kali ini. Lalu ku tendang pintu kamarku sampai jebol. Dengan bantuan bangku yang kutumpuk aku menyelinap menuju plafon, berusaha mencapai atap.

Dari atas atap aku bisa melihat secara langsung kengerian yang kini sedang mengepungku. Salju di mana-mana sejauh mata memandang. Rumah-rumah yang dulu angkuh berdiri tegak, sekarang yang nampak hanya atap.

Berusaha untuk tidak membuag waktu, dengan sigap aku melompat dari satu atap ke atap lainnya. Tujuanku jelas. Bangunan dengan simbil bulan bintang, bangunan yang sudah bertahun-tahun tidak pernah aku kunjungi.

Saat mencapai bagian atapnya, tiba-tiba ada orang berseru dari dalam bangunan.

“Alhamdulillah, ada orang lagi. Ayo bantu Ceng.” Seketika ada sekitar dua belas orang menungguku di bawah. Mereka menyorongkan tangga dan aku dengan tubuh gemetar mencoba merayap untuk turun.

Heran, di dalam tempat ini kok suasanaya hangat. Aku edarkan pandangan, tidak ada perapian. Tempat ini seolah-olah bisa menjaga suhunya tetap stabil.

“Selamat datang, Nak.” Dari arah mimbar aku tiba-tiba mendengar suara guru ngajiku.

“Uwak,” kataku dengan suara tercekat.

Guru ngaji yang biasa aku panggil Uwak mengangguk.

Aku segera menghambur dan mencium tangannya, menangis sejadi-jadinya.

Uwak mengelus rambutku, mengalirkan kehangatan yang sudah hampir seminggu ini tidak aku dapatkan.

“Ketahuilah, Nak. Kasih Allah itu begitu hebat. Bahkan kasihnya bisa menghangatkan jiwa-jiwa orang yang hatinya sudah beku. Sekarang bangunlah dan lihat ke luar.”

Dengan langkah gontai aku melangkah ke jendela, mencoba mengintip dari sela-sela tirainya.

Masya Allah ternyata selama ini Jakarta normal. Tak pernah ada hujan salju, apalagi kota yang beku.
Hatikulah yang beku selama ini karena selalu menjauh dari kasih Allah yang begitu hangat.

Kupalingkan wajah ke hadapan Uwak. Uwak tersenyum sambil merentangkan tangannya.


Aku menangis lagi, lalu semaput.

Komentar

Erlina Siahaan mengatakan…
Omg. Inspiring for writing banget uncle
Ibuk Oz mengatakan…
MasyaAllah ... Pesannya dalam dan sangat imajinatif uncle ... Dari paragraf pertama sampai akhir gak mau berhenti baca dan penasaran endingnya gimana... Bravooo ... Kereeen .... Sumpahhh...
Anonim mengatakan…
uncle kereeeen
adrianarika mengatakan…
uncle kereeeen

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U