Langsung ke konten utama

MENJARING MATAHARI - PART 2

sumber: versesofuniverse.blogspot.com


“Lalu di mana kisah cintanya?” tanyaku dengan nada penasaran.

Dia menatap ke arahku sambil tersenyum.

“Itu yang aku suka dari seorang anak muda. Penuh semangat dan selalu merasa penasaran. Baiklah,” katanya sambil menegakkan tongkatnya.

“Waktu itu musim semi, entahlah kenapa takdir membawaku ke Mostar? Di bawah bayang-bayang dedaunan yang berwarna-warni aku minum rakija sambil bercakap-cakap dengan penduduk sekitar. Kamu harus tahu Imran, mereka adalah orang-orang yang ramah. Orang yang mau memberikan rotinya saat kamu kelaparan dan membagi selimutnya jika kamu kedinginan.

“Dilatarai jembatan kuno yang dibangun sejak zaman Ottoman, itulah kali pertama aku melihatnya. Seorang gadis bermata sebiru langit dan pipinya yang selalu kemerahan bagai buah kesemak. Di detik pertama aku melihatnya aku sadar aku sedang jatuh cinta, dan saat aku sadar sedang jatuh cinta lalu pasrah, di detik itu juga aku harus menanggung konsekuensi dari kesadaran, cinta dan kepasrahanku.”

Lelaki itu menarik napasnya dalam-dalam seolah ada beban berat yang sedang berusaha dia lepaskan dari dadanya. Matanya mengerjap beberapa kali.

“Siapa nama wanita itu?” tanyaku lagi.

“Nama itu… oh ya nama itu, nama terindah yang pasti akan selalu ku kenang. Dia Farras… Farras Bevanda. Anak satu-satunya dari Beg.”

“Siapa Beg?” tanyaku lagi tidak sabaran.

Dia menengok ke arahku dan membelai-belai punggungku dengan lembut.

“Bersabarlah Imran.”

Aku menundukkan kepalaku karena malu.

“Beg adalah salah satu lelaki yang paling baik dan paling jujur di kota Mostar,” dia memulai lagi ceritanya. “Aku bertemu Beg saat kami selesai shalat Ashar. Dia menyapaku terlebih dahulu. Setelah kami bercakap-cakap sebentar, Beg mengundagku untuk sarapan pagi esok harinya.

“Rumah Beg terletak di tepi sungai mostar. Sebuah bangunan besar bergaya klasik dengan halaman depan luas yang banyak ditumbuhi  rerumputan dan perdu. Dan di bagian belakang rumahnya, di sanalah keluarga Beg sarapan sambil menikmati sungai yang jernih yang dilatari jembatan indah.

“Pagi itu aku datang dan Beg menyambutku seolah-olah aku adalah salah satu saudaranya yang baru pulang merantau dari negeri jauh. Kami berdua minum teh sambil menyantap burek dan pida ditemani adik laki-laki Beg yang ternyata seorang kepala polisi di Mostar.

“Tahukah kamu Imran, di mana negeri yang aku maksud?” tanyanya tiba-tiba menyela ceritanya.

“Apakah negeri ini adalah negeri di mana juga mengalir sungai Bosna?”

“Benar Imran.”

“Apakah di jembatan kota Mostar itu salah satu putra mahkota pernah mati tertembak?”

“Luar biasa Imran. Luar biasa. Kamu memang seorang anak yang cerdas. Sekarang biarlah hanya aku dan kamu yang sampai saat ini mengetahui tempat itu.” katanya. Senyumnya mengembang. Entah dia bahagia karena mengenang masa mudanya yag gilang-gemilang atau dia teringat seseorang yang namanya tidak pernah dia lupakan.

bersambung...

Komentar

fallenquenneville mengatakan…
Harrah's Cherokee Casino and Hotel - Jackson County, NC
Harrah's Cherokee Casino and Hotel 양산 출장안마 is located in 성남 출장안마 Jackson County, North Carolina. You can 보령 출장샵 experience the excitement and 통영 출장안마 excitement of Harrah's 오산 출장샵

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U