Langsung ke konten utama

THE END

Sepanjang perjalananku menuju Trafalgar Square banyak sekali orang-orang yang berteriak-teriak, sambil mengalungkan kardus besar di leher bertuliskan 'End of The World is Coming'. Seingatku selama beberapa kali mengunjungi tempat ini jumlah mereka dapat dihitung dengan jari, tersebar di beberapa tikungan dan titik yang strategis. Namun, sekarang jumlah mereka bertambah dengan cepat.

Di dekat jalur masuk ke arah alun-alun utama kulihat mereka bergerombol, jumlahnya mungkin puluhan dengan busana aneh-aneh yang teatrikal. Beberapa berdandan ala gipsy, ada juga yang berpakaian mirip rabi dengan janggut panjang sebatas dada dan menenteng kitab suci.

Beberapa orang maju ke depan, membacakan potongan-potongan ayat dalam kitab suci mereka yang bertema kiamat. Orang-orang yang melintas, merasa tertarik lalu bergabung, menjadikan kerumunan itu semakin besar. Suara mereka bising, riuh, membuat suasana Trafalgar sore ini menjadi kurang menarik.

Aku duduk di salah satu kursi panjang yang ada di sebuah sudut yang terlindungi bayang-bayang kanopi sebuah cafe. Sambil iseng kuarahkan lagi pandanganku ke arah gerombolan yang tampaknya, ya ampun, jumlah mereka mungkin sekarang sudah ratusan.

Kucegat seorang pedagang bajigur keliling yang melintas. Ditemani segelas bajigur hangat dan suasana Trafalgar Square yang semakin riuh, tiba-tiba ada sesuatu yang menarik-narik betisku, kutengok sekilas, hampir saja aku melompat. Seekor monyet sedang menatap ke arahku sambil mendongak, memamerkan taringnya yang tajam. Sebuah sabuk yang kutebak terbuat dari kulit melingkar di lehernya, dan rantai panjang terurai, kususuri untaian rantai yang berakhir di tangan seorang lelaki berperwakan tinggi, usianya sekitar empat puluh tahun. Yang menarik dari lelaki ini adalah dandannanya yang menyerupai seorang kepala suku indian.

Dia tersenyum ke arahku saat pandangan mata kami bertemu. Aku paham maksudnya. Kurogoh saku celanaku, dan menyerahkan beberapa pound ke arah si monyet yang dengan gerakan cepat merampas uang dari tanganku dan segera berlari ke arah majikan indiannya.

'Monyet yang tak tahu adat' batinku.

Kutatap pemandangan sekitar. Trafalgar mulai ramai dan penuh sesak, menurutku rombongan para 'pecinta hari kiamat' itu terlalu mengganggu, suara mereka bersisik. Suara para penceramah timbul tenggelam diselingi isakan tangis dan teriakan amarah. Beberapa petikan ayat suci sempat terdengar.

Kulirik arloji keperakan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul setengah enam, tapi kenapa matahari masih bersinar terik sebegini rupa. Kutengadahkan kepala, menatap langit. Matahari berada tepat di atas ubun-ubun. Ada yang aneh dengan hari ini.

Ponsel di saku kemejaku bergetar. Sudah menjadi kebiasaanku jika berada di tempat umum, untuk men-silent pemberitahuan dari ponsel. Kurogoh saku dan melihat isi pesan.

Dari temanku, isi pesannya berbunyi.

End of The World Is Coming

Sial, temanku juga pasti sudah ikut-ikutan keracunan para ‘pecinta kiamat ini’.

What do you mean? Kubalas pesannya.

Tidak ada jawaban.

Perhatianku teralihkan oleh suara-suara berisik yang berasal dari sisi sebelah kiriku. Saat kutolehkan sedikit kepalaku, ampun, dari waktu ke waktu jumlah ‘para pecinta kiamat’ ini tampaknya semakin banyak. Sudah hampir tak terhitung jumlahnya, mereka memadati hampir delapan puluh persen area Trafalgar Square.

Sebuah pemberitahuan masuk ke ponselku. Dari teman yang tadi.

WATCH YOUR TV NOW!!

Ada apa ini sebenarnya? Batinku. Aku bangun dari tempat duduk, mengedarkan pandangan ke seluruh area, sampai pada satu titik aku mendengar banyak teriakan, suara letupan-letupan, api yang tiba-tiba berkobar dengan cepat dan suara yang teramat keras yang aku perkirakan berasal dari langit.


Kerumunan massa dengan cepat bubar secara tidak teratur, kulihat banyak wanita dan anak-anak yang terjatuh. Teriakan seseorang dari arah belakang mengangetkanku.

Kneel down you, Sinner… !!!
Kneel down… !!!
The end of the world is coming..!!” teriaknya dengan suara yang keras sambil menunjuk ke arahku. Seekor monyet duduk di bahu lelaki itu, si indian.

Tidak butuh waktu lama, dalam hitungan menit sudah dapat kulihat mayat-mayat bergelimpangan, pelataran Trafalgar Square banjir oleh darah, langit di cakrawala menyala-nyala semerah api, dengan juluran kilat yang seolah tak pernah putus. Suara-suara bising yang berasal dari langit semakin memekakkan telingan, gedung-gedung pencakar langit runtuh satu persatu.

Ini tak mungkin terjadi… ini tak mungkin terjadi, batinku.

Lututku lemas, aku tak bisa lari, si indian sudah pergi entah kemana. Kupejanmkan mata, berharap ini adalah mimpi. Kututup telingaku dengan kedua tangan. Aku tak mau mendengar suara-suara itu lagi.

Sebentar, batinku. Tiba-tiba ada sebuah harapan yang terbetik begitu saja.

Bajigur di Trafalgar Square? Lalu topeng monyet? Ada yang salah dengan kejadian yang aku alami beberapa jam terakhir. Ini pasti mimpi, batinku.

Kucoba konsentrasi sambil berharap agar semua ini benar-benar mimpi.

Beberapa saat aku berada dalam gelap karena menutup mata dan suasana hening saat menutup telinga. Dan, kubuka mata perlahan. Syukurlah, aku berada dalam kamarku, di indonesia.

Seprai banjir oleh keringatku. Kulirik ke arah jendela, langit masih hitam. Masih malam, batinku. Lalu bangun sambil melirik ke arah jam dinding di samping televisi. Masih jam sepuluh.

Tapi, tunggu sebentar, bukankah tadi malam aku tidur jam dua malam, berarti seharusnya sekarang jam sepuluh siang. Kenapa langit bisa gelap seperti ini?

 Aku segera berlari ke arah jendela, dari kamar apartemen di lantai dua belas ini bisa aku saksikan pemandangan di bawah sana. Di latari cakrawala berwarna hitam, kusaksikan kota-kota terbakar, mayat bergelimpangan, mobil saling bertabrakan.

Ponselku berbunyi, ada sebuah pesan masuk.

The end is coming, my friend.

Lalu terdengar sebuah ledakan besar di langit. Kilatan cahaya putih masuk lewat kaca jendela. Aku tidak ingat apa-apa lagi.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U