Langsung ke konten utama

MALAM INI MILIK MEREKA



Aa gilang hari ini lagi galau berat karena beberapa sebab. Pertama, katanya sih gara-gara global warming. Jadi gini, Aa gilang kan dari dulu memang hobi miara ayam kampung, sebagai pelampiasan dari cita-cita Aa Gilang yang nggak kesampaian. Dari kecil Aa gilang itu pengen jadi ahli paleontologi, itu tuh orang yang ahli banget nyusun-nyusun fosil binatang purba, karena cita-citanya nggak kesampaian akhirnya Aa Gilang mutusin buat miara ayam di rumah karena menurutnya ayam itu postur tubuhnya mirip bnaget sama T-rex (masak sih?). kejadiannya tadi pagi, tiba-tiba induk ayam yang lagi ngeramin telurnya heboh banget, pas diintip ternyata telurnya udah pada netas. Idealnya kan sekitar dua puluh satu hari, tapi ini baru delapan belas hari udah netas. Akhirnya si induk ayam teriak-teriak heboh buat manggil tetangganya, mungkin mau bikin selamatan. Aa Gilang mikir ini pasti gara-gara global warming, suhu dalem kandang jadi terlalu panas, makanya telur jadi cepet netasnya.

Suasana sekitar halaman rumah Aa Gilang jadi rame karena ayam tetangga banyak yang datang buat ngasih selamat ke induk ayam yang baru punya anak. Mama Aa gilang juga jadi misuh-misuh karena tamu-tamunya banyak nggak tau aturan, nemplok di jemuran, nyebar tai kotok di teras sampe matokin kerupuk yang lagi dijemur di halaman.

Sambil iseng Aa duduk di teras sambil mainin gitar. Sore ini Aa punya janji sama si Eneng buat nonton pelem di kampung sebelah, kebetulan nanti malam minggu, biasanya di alun-alun suka ada layar tancap misbar (misbar itu singkatan dari gerimis bubar). Sambil membayangkan wajah si Eneng yang manis si Aa metik gitanya sambil nyanyi lagu Sabda Alam karya Ismail Marzuki.

“Wanita dijajah pria sejak dulu… sejak dulu wanita dijajah pria… wanita dijajah pria sejak dulu… sejak dulu wanita dijajah pria.”

Entah karena si Aa terlalu konsen atau karena memang menjiwai, akhirnya lagunya muter-muter aja di bagian itu, sampe ampir setengah jam. Mama Aa emang seorang mama yang T.O.P.B.G.T.B.O (top banget bo), sadar ada yang sedang dipikirkan anaknya, Mama langsung nyamperin Aa dan ngajak ngobrol hati ke hati.

“Aya naon Aa, mamah perhatikan teh anak mama anu paling kasep sedunia ini keur galau nyah?” kata mama sambil naruh teh manis di meja buat Aa.

“Iya Mah,” jawab Aa dengan gaya yang dimanja-manjain. Ngeliat gestur Aa yang biasanya macho jadi kinyis-kinyis gini rombongan ayam yang rame di halaman langsung bubar. Mama menarik nafas lega.

“Ayo, Kasep. Ceritakuen ke mama atuh.”

Muka Aa langsung bersemu merah. Mama tahu, ini pasti soal asmara.

“Mama, kenal si Eneng kan?”

“Enang mana, A?”

“Itu, si Eneng anaknya Mang Kosim.”

“Oh, iya. Anak Bu Nunung yang tukang ranginang itu?”

Aa tidak menjawab, wajahnya tambah merah.

“Mamah mah ya, setuju-setuju aja A. Si Eneng juga Mamah liat mah anaknya bae, rajin bantuin emaknya bikin ranginang.”

“Bener Mah?” tanya Aa ingin memastikan.

Mama mengangguk, wajah Aa jadi sumringah.

“Sekarang Aa, ke halaman belakang dulu sana. Ambil daun pandan.”

“Buat apaan, Mah.”

“Lah, si kasep kumaha. Buat cepretan baju Aa. Biar wangi. Biasanya Si Aa kan kalau malam mingguan ke alun-alun nonton layar tancep, masa anak mamah yang paling kasep sedunia ini bajunya bau apek. Nanti si eneng bisa ilfil. Terus…” sebelum mama melanjutkan ucapanya si Aa udah ngacir duluan ke halaman belakang. Mamah tersenyum melihat kelakuan anaknya yang satu ini.

Saat yang ditunggu akhirnya tiba. Dengan baju wangi pandan Aa berjalan berdampingan dengan Eneng ke alun-alun. Sepanjang jalan mereka diam, malu-malu untuk mulai mengajak ngobrol duluan.

Tiba-tiba. 

Psssttttt…

“Eneng kentut ya?” tanya Aa.

Wajah Eneng memerah sambil mengangguk.

“Kaya parfum impor, Neng.” kata Aa.

“Maksud Aa kentut Eneng wangi kituh?” tanya Eneng dengan wajah sumringah.

“Bukan Neng, tapi baunya awet banget.” jawab Aa enteng.

“Ah, si Aa mah, bikin Eneng malu aja.” kata Eneng sambil mencubit pinggang Aa.

Aa berkelit eneng berusaha mencubit lagi, si Aa berkelit lagi. Rasa canggung sebelumnya tiba-tiba saja lumer. Bulan malu menatap kebahagiaan mereka, bintang-bintang minggat. Hujan turun. Layar tancap di alun-alun gagal diputar.

Akhirnya Aa memutuskan beli surabi sama kacang rebus ditambah bajigur dan dengan gentle main ke rumah Eneng. 

Setidaknya malam ini tetap milik mereka walaupun gagal nonton layar tancap di alun-alun. Eneng jadi saksi dengan wajah kusut dan mata mengantuk menyaksikan pertandingan catur sepuluh babak antara Aa dan bapaknya. 

Diam-diam bapaknya Eneng punya dendam kesumat sama bapaknya Aa karena pernah dikalahkan waktu lomba catur tingkat desa. Malam ini dendam itu terbalas sudah. Eneng ngantuk, Aa sedih, bapaknya Eneng bahagia. Malam ini benar-benar milik mereka.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s