sumber: www.hipwee.com |
“Dia itu seniman yang
tidak punya perut. Di jaman yang serba materialistis dan hedonis ini masih saja
bercerita tentang kemanusiaan, moral dan nurani. Siapa yang mau baca
tulisannya? Sepertinya si penulis ini kebanyakan nongkrong di terminal, bergaul
dengan gelandangan, berpanas-panas di lampu merah atau sibuk jadi relawan di
daerah bencana. Dia rasanya jarang main ke toko buku dan melihat-lihat jajaran
buku-buku best seller yang dipajang
di sana.”
“Mereka bilang kamu itu
seniman yang tidak punya perut. Tengil, sok ekstensialis. Di jaman yang serba
materialistis dan hedonis ini kamu masih saja bercerita tentang kemanusiaan,
moral dan nurani? Siapa yang mau baca tulisannya? Sepertinya kamu kebanyakan
nongkrong di terminal, bergaul dengan gelandangan, berpanas-panas di lampu
merah atau sibuk jadi relawan di daerah bencana. Kamuharus sering main ke toko
buku dan melihat-lihat jajaran buku best seller yang dipajang di sana.”
“Mereka bilang saya ini
seniman yang tidak punya perut. Banyak gaya, tengil sok ekstensialis. Di jaman
yang serba materialistis dan hedonis ini masih nekat membuat tulisan yang
bertema kemanusiaan, moral dan nurani. Sebetulnya bayak uang mau membaca
tulisan saya. Agar lebih dekat dengan lingkungan, saya banyak nongkrong di
terminal, bergaul dengan gelandangan, berpanas-panas di lampu merah atau sibuk
jadi relawan di daerah bencana. Saya malas main ke toko buku. Semakin banyak
saya membaca buku best seller justru
saya menjadi semakin seragam dengan mereka yang bukunya sedang digandrungi
masyarakat. Kalau saya menulis seperti mereka buat apa? Lebih baik saya jadi
pembaca saja.”
“Semalam di dekat
alun-alun, dia sedang menikmati bajigur dan ubi rebus dengan kekasihnya. Katanya
dia baru saja menandatangani kontrak penerbitan dengan penerbit besar. Buku sok kemanusiaannya itu akan diterbitkan tidak
lama lagi. Siapa yang mau beli? Jaman sekarang, orang-orang cuma butuh buku
yang bercerita tentang cinta, yang berdarah-darah atau buku panduan cepat kaya.”
“Semalam saat kamu
mengajakku jalan-jalan di alun-alun kamu bilang kamu baru saja menandatangani
kontrak penerbitan dengan penerbit besar. Aku tidak percaya dan hampir saja
tersedak bajigur yang sedang aku minum. Aku ikut bahagia atas keberhasilanmu,
tapi ada rasa sedih juga yang terselip. Aku khawatir bukumu gagal di pasaran. Saat
ini orang-orang cuma butuh buku yang bercerita tentang cinta, yang
berdarah-darah atau buku panduan cepat kaya. Tapi bagaimanapun juga aku akan
tetap mendukungmu.”
“Hampir saja dia tersedak
minumannya saat saya katakan kalau saya baru saja menandatangani kontrak penerbitan
dengan penerbit besar. Siapa sangka kalau buku bertema kemanusiaan sekarang ini
masih ada yang mau menerbitkan. Tapi saya perhatikan, dia menyimpan
kekhawatiran kalau-kalau buku saya tidak laku di pasaran. Memang harus saya
akui Jaman sekarang, orang-orang cuma butuh buku yang bercerita tentang cinta,
yang berdarah-darah atau buku panduan cepat kaya. Tapi berusaha berbeda saya
rasa tidak ada salahnya.”
“Apa-apaan ini? Masak buku model seperti itu bisa jadi best seller. Itu pasti cuma akal-akalan
bagian pemasaran saja. Supaya bukunya laku, maka di pajang di bagian best seller. Lagi pula siapa juga yang
peduli cerita tentang perjuangan anak-anak sekolah di daerah terpencil. Siapa yang
mau buang-buang uang membaca buku yang latar tempatnya di pelosok seperti ini. Sebentar,
ini kok nama kampungnay seperti nama
kampung saya ya. Ya ya ya… ini memang bercerita tentang kampung saya, saya
ingat sekali bagaimana dulu waktu kecil saya harus bergelantungan melewati
jembatan yang hanya terbuat dari beberapa utas kawat baja itu. Lho berarti sampai sekarang jembatannya
masih juga belum dibangun? Gawat ini. Saya tiba-tiba jadi rindu dengan kampung
halaman saya. Ah, sial kenapa tiba-tiba sekarang saya sudah berdiri di depan
kasir sambil memegang buku ini?”
“Kamu memang luar biasa,
keyakinanmu tidak mudah tergoyahkan. Sekarang buktinya, siapa sangka buku yang
dipandang remeh banyak orang itu malah sudah nongkrong di jajaran best
seller. Kamu dulu selalu bilang kalau lama kelamaan pasar akan jenih dengan
tema yang cinta-cintaan, sekarang prediksi kamu terbukti tepat. Tidak ada yang
bisa aku sampaikan selain kata selamat.”
“Akhirnya, aku bisa
membalas semua cibiran orang-orang memandang rendah tulisanku. Aku membalasnya
dengan pukulan telak di antara mata. Buku yang aku tulis sekarang bisa menjadi best seller. Tapi bukan itu tujuan
utamaku, aku ingin dunia yang serba materialis dan hedonis ini kembali menjadi
dunia yang mengedepankan etika, moral dan nurani. Menjadi sebuah dunia yang
nyaman untuk ditinggali.”
“Dia tetanggaku. Penulis,
banyak gaya, tengil, sok ekstensialis. Tapi aku suka dengan tulisannya.”
“Kamu kekasihku. Penulis,
banyak gaya, tengil, sok ekstensialis. Tapi aku suka tulisanmu.”
“Saya bukan siapa-siapa. Saya
bukan penulis, tidak banyak gaya, tidak tengil, apalagi sok ekstensialis. Dan,
saya benci dengan tulisan saya karena tidak bisa merubah apa-apa.”
Komentar