Langsung ke konten utama

EPILOGI BUAT KAWAN

cantiksehatwanita.com

Harus kuberitakan padamu, Kawan. Harus kuberitakan walau yang akan kusampaikan akan mengiris-iris hatimu bagai sembilu. Bahwa tadi sore, di tikungan, ada yang mati kelaparan saat kita sambil tertawa-tawa menyesap ampas di kedai kopi Amerika yang selalu kamu bangga-banggakan.

“Satu gelas kopi yang aku minum ini harganya sama dengan sepuluh liter beras.” katamu dengan bangga, dan diam-diam aku tumpahkan isi gelasku ke tong sampah.

Jujur saja, aku jijik, muak dengan yang selalu kamu bilang modernisasi, globalisasi dan segala embel-embelnya.

Kenapa modernisasi, globalisasi dan segala tetek bengeknya itu selalu harus kamu sinonimkam dengan menggorok leher jutaan petani dan nelayan yang saban hari memanggang tubuh  mereka di hadapan matahari demi sesuap nasi?

Harus aku sampaikan padamu, Kawan. Nenek moyangku yang purba itu adalah petani dan nelayan. Mereka titipkan tanah dan laut ini untukku, juga kamu. Jangan hanya karena dasi yang yang kamu ikat bagai kekang di leher lantas kamu jadi buas, liar dan kemaruk, seenak-enaknya ngangkang di atas kepalaku.

Dengan sepatu pantofel mengkilat kamu jejak leher kami lalu menyepak tepat di ulu hati.

Harus aku beritahukan, Kwan. Bahwa kelak, di episode mahsyar, kamu akan telanjang, leleh ditatap matahari yang jaraknya hanya sejengkal dari ubun-ubun. Mau lari ke mana lagi, sementara pantofel mengkilat sialanmu itu sudah berkhianat pada kaki dan dasi yang kamu agung-agungkan malah bersekongkol dengan iblis untuk untuk menyesatkanmu.

Mereka terkekeh-kekeh di pojokan sambal menatap wajahmu yang pias.

Sampai jumpa, Kawan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...