Langsung ke konten utama

AKU

source: sonyriyan.blogspot.com

Mataku nyalang, senang. Ada banyak sekali yang bisa aku makan di jalan sekarang. Jumlahnya tak terkira, terserak begitu saja.

Aku tidak tahu asal mulanya, tiba-tiba saja di pagi yang cerah itu sebuah ledakkan terjadi di dekat pasar yang biasa aku kunjungi. Warga yang sedang melakukan aktifitas pagi tiba-tiba saja buyar. Beberapa kulihat rebah di tanah dengan tubuh terpotong dan bersimbah darah.

Suasana jadi panik, gaduh, berisik bukan main. Aku segera berlari ke terowongan beton untuk selokan yang belum di pasang, setidaknya di sini aman. Terhindar dari sepakan orang-orang yang berlari ketakutan.

Ledakan kedua terjadi dan susul menyusul suara ledakan berikutnya diselingi suara rentetan senapan serbu. Belakangan aku sudah merasa biasa dengan suara-suara tersebut. Tapi, hari ini terasa lain. Ledakannya terdengar lebih keras dari biasanya dan bau mesiu tercium kuat memenuhi udara. Suara pesawat jet berseliweran  di atas langit. Orang-orang tidak pernah berhenti berteriak.

Aku hanya bisa menatap dari celah-celah beton yang rusak. Mungkin ada puluhan mayat yang tergeletak, jalanan sudah memerah darah. Bau anyir yang menyenangkan.

Aku mendengar suara tangisan dari sampingku. Seorang anak duduk sambil memeluk lututnya. Mata dan pipinya sembap, rambutnya kotor penuh debu dan dia tidak berhenti menangis sambil memanggil-manggil ibu.

Matanya lekat ke arah mayat yang tergeletak dekat mobil yang hangus terbakar. Tubuh mayat itu sedikit tidak utuh, tangannya sepertinya patah karena tertekuk ke arah yang tidak wajar, sebelah kakinya hilang. Aku tak bisa memastikan kaki yang kiri atau yang kanan karena tubuhnya tertutup baju hitam panjang dan potongan kaki tergeletak dekat mayat itu yang bisa kupastikan adalah potongan kaki si mayat.

Tapi, ah apa peduliku? Di luar sana masih berisik. Aku mau tidur dulu saja sampai suasana sedikit lebih tenang.

Menjelang siang, matahari lumayan tinggi. Suasana sudah sepi sekarang dan perutku lapar. Lho, mana anak yang tadi menangis di sampingku? Mungkin dia sudah dijemput keluarganya dan pulang ke rumah. Semoga saja.

Aku keluar dari persembunyian, langsung menuju ke arah pasar. Sial, kenapa tempat sampah yang biasa aku aduk-aduk kini hilang. Sebentar, aku coba memutar, di belakang pasar biasanya banyak makanan sisa.

Di sepanjang jalan, tak terhitung banyaknya mayat yang tergeletak begitu saja. Heran juga, biasanya sudah diambil, tapi sampai siang begini kok masih didiamkan saja? Tapi apa peduliku, itu urusan mereka. Saat ini ada yang jauh lebih penting dari mayat-maya itu, yaitu perutku.

Ya ampun, tempat sampah di belakang pasar juga kosong. Aku malas kalau mencari makan di sekitar perkampungan, manusia jahat, aku sering dipukul bahkan di tendang, tapi kalau keadaan sudah darurat seperti ini mau bagaimana lagi.

Matahari semakin tinggi. Di perempatan jalan yang sedikit berbukit aku berhenti sebentar. Ada anak yang tadi menangis di sampingku. Oh, syukurlah dia sepertinya sudah bertemu saudaranya. Hebat juga anak ini, saudaranya gagah-gagah dengan seragam militer, lengkap dengan senjata laras panjang. Aku teruskan perjalananku ke arah perkampungan.

Baru saja beberapa langkah, aku mendengar anak itu menangis lagi. Aneh, aku tengok sebentar. Seorang pria menyepak anak itu dengan keras, si anak terpelanting ke arah trotoar. Mungkin anak itu nakal, pikirku, jadi dia di hukum. Tapi apa manusia memang sekeras itu dalam mendidik anak-anaknya? Aku perhatikan lagi. Si anak bangun, lalu saudaranya menghampiri dan menampar si anak. Si anak semakin keras menangis. Saudaranya berbicara dengan bahasa yang aku tidak paham. Si anak memangis tambah keras, dan…. Dooorrr!! Seketika suasana hening.

Aku sempat kaget, tubuh si anak terjungkal mencium aspal dan tidak bergerak sama sekali. Darah mengalir di atas aspal, turun ke arah jalanan yang landai.

Entah kenapa tiba-tiba emosiku memuncak. Dengan sekuat tenaga aku berlari ke arah si penembak. Aku yakin sekarang kalau ini bukan saudaranya. Aku melompat dan sempat mencakar wajahnya. Si penembak kaget dan kalap lalu membidikan senapannya ke arahku. Sial, dengan tenaga yang tersisa aku kabur ke semak-semak.

Dari balik semak-semak kuperhatikan tubuh si anak yang masih tidak bergerak. Kadang aku merasa begitu bersyukur terlahir sebagai anjing yang tidak harus merasa terbebani dengan beban batin seperti manusia.

Menjelang sore, perutku semakin lapar, perkampungan sepi, tak ada sisa makanan yang bisa aku makan. Kembali lagi ke arah pasar. Saat melewati perempatan tempat si anak ditembak aku melihat mayatnya masih ada di sana. Tiba-tiba saja nauri hewanku muncul karena di dera lapar.

Aku berjalan mengendap-endap, memperhatikan suasana sekitar, sepi. Kuhampiri mayatnya, kuendus berkali-kali. Wangi anyir yang kusukai meruah di hidungku, air liurku terbit….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s