sumber: www.nationalgeographic.com |
“Kalau
kamu ingin mendengarkan sebuah cerita yang penuh air mata dan sedu sedan, maka
ke sinilah, duduk dekat-dekat. Akan kuceritakan sebuah cerita dari suatu negeri
jauh. Sebuah negeri indah yang jika dewa-dewa menatapnya sekilas, maka mereka
akan tersenyum penuh kasih sambil merempahi negeri itu dengan berkah dan
kesuburan. Mari mendekatlah anak muda!”
Lelaki
berjanggut panjang dengan pakaian lusuh itu tiba-tiba saja berbicara ke arahku.
Dari cara berpakaiannya bisa kupastikan dia adalah seorang pengelana dari
negeri yang jauh. Sudah beberapa hari ini dia duduk di anak tangga ke terakhir
menuju pasar. Dia bukan peminta-minta, tidak juga menawarkan doa-doa pada
orang-orang yang setiap hari berlalu-lalang menuju pasar melewati tangga ini.
“Duduklah
sini anak muda!” katanya lagi sambil menepuk-nepuk anak tangga yang ada di
sampingnya.
Awalnya aku sempat khawatir dengan orang ini.
Bisa saja dia seorang penjahat yang menyamar sebagai pengelana. Kuperhatikan
lagi, janggut panjang yang mulai memutih, rambut panjang yang dia biarkan
tergerai dan bibir yang tak pernah berhenti bergerak seolah-olah sedang merapal
doa. Ada keraguan yang terselip sekali lagi dalam hatiku untuk duduk di
sampingnya, tapi saat kutatap matanya seketika semua keraguan itu sirna.
Matanya seperti menghipnotis.
Aku
duduk di sampingnya dan menunggu dia berkata-kata. Seketika keheningan menyergap
dan menyelubungi kami berdua. Riuh suara orang yang sedang berniaga di pasar
lenyap. Aku tak tahu apa yang sudah dilakukannya. Kutengok ke arahnya, dia
terpejam, bibirnya masih belum berhenti bergerak. Tiba-tiba aku dicekam rasa
ketakutan. Kenapa aku harus terjebak permainan kotor seperti ini?
Kucoba
bangun, tapi dengan cepat dia mencegahku, kupalingkan wajah ke arahanya dan dia
menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“Dulu,
pernah ada seorang lelaki gagah yang suka bertualang dari satu negeri ke negeri
lainnya,” katanya memulai cerita.
“Bertualang?”
tanyaku pelan. Dia tidak merespon pertanyaanku.
“Jika
suatu ketika kamu sempat ke Italia, teruslah berjalan ke arah utara sampai
bertemu laut, dari situ teruslah menyeberang melalui celah Adriatik. Ada sebuah
negeri yang berbukit-bukit. Negeri yang dipenuhi jerjak pohon willow dengan
lengkungan pelepah daunnya yang muram. Kalau suatu ketika kamu berkesempatan
untuk menjejakkan kaki di tanah itu, maka sampaikanlah salamku kepadanya.
“Kepada
seorang wanita yang selalu menanti seseorang untuk kembali. Dia menanti di antara
tiga lembah, di bawah bayang-bayang perdu yang meninggi. Sampaikanlah salamku
kepadanya.”
Dia
berhenti sejenak dari ceritanya, matanya menerawang jauh, menembus celah-celah
mega yang kian pudar tersapu sinar matahari.
“Berapa
usiamu, Anak Muda?” tanyanya kepadaku.
“Delapan
belas.” Jawabku mantap.
Dia
menarik napasnya dalam-dalam.
“Usia
pemisah.” Katanya lirih hampir tak terdengar.
“Maaf?”
tanyaku, tidak bisa memahami dengan ucapan yang dia maksud.
“Delapan
belas tahun,” katanya sambil menuliskan angka delapan belas di anak tangga batu
di bawah tempat kami duduk. “Tahukah kamu? Siapa namamu?” tanyanya lagi.
“Imran.”
“Imran.
Tahukah kamu Imran, kalau usia delapan belas tahun adalah usia pemisah antara
remaja dan dewasa? Usia yang akan menempamu menjadi seutuhnya manusia. Usia yang
akan membuatmu tertawa sampai berderai derai dan membuatmu menangis sampai
habis air mata.”
Aku
menggeleng.
“Saat
aku seusiamu, aku sudah menjejakkan kakiku di negeri yang indah itu. Negeri yang
diberkahi dewa-dewa. Saat aku pertama kali tiba di sana, waktu itu baru selesai
perang. Seluruh penjuru negeri muram. Banyak anak-anak menjadi yatim dan banyak
orang tua yang kehilangan anak-anaknya. Perang adalah satu titik terendah dari
peradaban manusia, di mana moral, etika, norma dan kebaikan terpaksa harus
dikesampingkan.”
bersambung...
Komentar