Langsung ke konten utama

THE WEDDING CEREMONY OF STUDIO KANDANG BABI









Apa jadinya kalau ada sekelompok anak muda yang selalu ingin eksis, terlihat up to date dan tampil gaul tapi kurang modal? Ya jadinya seperti kami ini. Sekelompok anak muda kurang kerjaan dengan impian setinggi langit. Tapi sah-sah saja sih, siapa juga yang ngelarang orang buat berangan-angan?

Dengan intelektual kami yang pas-pasan ini kami berharap bisa menyumbangkan suatu karya yang kelak mungkin bisa diterima oleh masyarakat. Jadi kami berharap kalau suatu saat kami berhasil menelurkan karya, jangan dikritik atau  dikomentari yang jelek-jelek. Jujur saja kami ini punya kadar kepercayaan diri yang hampir tiarap, takutnya kalau kami mendapat terlalu banyak kritik, nanti kami malah minder terus ngambek dan malas untuk berkarya lagi.

Cukup berikan kami pujian-pujian saja, nggak apa-apalah pujian yang klise juga. Kami punya motto: pujian palsu yang diulang-ulang nantinya juga akan jadi pujian beneran. Kalau mungkin mau kirim-kirim kopi atau snack itu lebih diutamakan. Alamat kami ada di Javeast Studio atau Menara Ilmu (dua-duanya terdaftar di Google Map, lho!) 

Syahdan, dengan kesepakatan yang sudah bulat, akhirnya kami berembuk di studio musik tempat kami biasa nongkrong. Dengan disaksikan Bang Iwan yang tukang nasi goreng dan Bang Banjir yang masih setia dengan dagangan bakminya, kami mendeklarasikan komunitas kami. Eh, bukan komunitas deh. Kata komunitas masih kedengaran terlalu keren untuk kami, sebut saja kami kumpulan, rasanya itu lebih pas.

Masalah pertama datang mengganjal, kami harus punya identitas. Harus punya nama! Buntu seketika, sulit sekali menemukan nama yang cocok untuk mewakili kumpulan kami ini. Tanpa dikomando kami membubarkan diri, tenggelam dengan kesibukan masing-masing. Saya langsung memasang head set di telinga dan menaikkan volume-nya sampai mentok. Si Heri langsung sibuk mencari objek untuk bahan eksperimen fotografinya, ada kecoa lewat dekat rak sandal dan mereka langsung akrab. Si Likin dan dan Panjul langsung on di COC, Bang Ian pergi ke dapur untuk menyeduh kopi. Sekitar sepuluh menit hening. Bang Iwan turun ke bawah karena ada pelanggannya yang memanggil, Bang Banjir sibuk bermain catur solo.
Tiba-tiba saya di play list lagu saya ada gerungan distorsi gitar yang cukup mengganggu, saya ikuti sebentar alur musiknya. Mantap! Seketika ada sesuatu yang menyala di dalam kepala saya.

“Kandang Babi!” Sontak saya teriak. Seisi studio berpaling ke arah saya. Reaksi reflek gara-gara mendengar  lagu War Pigs-nya Black Sabbath itu membuat saya mencetuskan ide untuk menamai kumpulan kami ini Kandang babi.

Bang ian yang sedari tadi duduk di sofa mulai menampakkan ketertarikannya, begitu juga dengan yang lain. Si Likin dan Panjul langsung mematikan hape dan bergabung di tengah ruangan. Si Heri sudah say good bye dengan kecoa yang menjadi objek potonya.

“Kandang Babi…” Sekali lagi saya menekankan.

“Kenapa namanya Kandang Babi?” tanya Bang Ian.

Saya tidak menjawab, saya malah berkhayal jauh tentang sebuah makna filosofis dari kandang babi itu sendiri. Dalam kepala saya berputar-putar sebuah analogi tentang kumpulan kami, kandang saya maknai sebagai tempat yang aman dan nyaman sekaligus membahayakan, karena dalam sebuah kandang kami dinina bobokan dengan kenyamanan, makanan yang enak tapi di sisi lain kandang jugalah yang justru mengekang kami dari naluri alamiah kami. Kandang adalah sebuah pradoks pilu tentang kumpulan kami. Tempat yang berbahaya tapi selalu kami butuhkan dan kami rindukan.

Sedangkan babi, kamilah babi-babinya. Sebagai anak muda yang kurang intelektualitas dan bokek, rasanya haram bagi kami untuk bermimpi terlalu jauh dan berangan-angan untuk bisa menghasilkan karya yang monumental.

Dan sekarang di sinilah kami berada, berkumpul dalam sebuah sebuah kandang yang nyaman. Merencanakan sebuah pemberontakan terhadap diri kami sendiri. Mencoba menakar dan mengembangkan kemampuan kami yang ala kadarnya. Supaya kami yang katanya haram ini bisa eksis dan diterima.
Saya jelaskan semua yang ada dalam kepala saya, mereka mengangguk.

Suka tidak suka, terima tidak terima, inilah kami, kami ada walaupun kami cuma sekedar residu dari gelimpangan seni dari intelektualitas tinggi yang tak pernah mampu kami gapai, tapi kami harus kalian terima.

Khattam.
   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s