Langsung ke konten utama

TERIMA KASIH

Si Burhan

Jujur ya, sebetulnya aku senang sekali kalau kita sering-sering seperti ini. Kita duduk berdua bertatap-tatapan. Kadang sore-sore di taman, di keramaian café atau di dalam kamarmu yang hening. Senang sekali kalau kamu sudah berkerut-kerut kening, itu tandanya kamu sedang berpikir keras, mencoba mengungkapkan sebuah perasaan yang mengendap terlalu lama, dengan senang hati aku akan menatapmu sambil menunggu kamu berkeluh kesah di hadapanku.

Aku sudah hafal benar semua ekspresi yang ada di wajahmu, rasa takut, sedih, kaget, lelah, senyum bahagia sampai lesung pipimu yang indah itu begoyang-goyang saat kamu tertawa. Alur urat-urat kehijauan di leher putihmu yang jenjang, hangatnya telapak tangan dan ujung jarimu selalu aku rindukan.

Pernah suatu ketika saat kita berdua di kamar, tidak seperti biasanya tiba-tiba kamu menangis. Ada apa? Apa aku sudah melakukan sesuatu yang membuatmu begitu sedih? Kamu tidak menjawab, hanya menatapku dengan tatapan yang dalam, sesekali kamu tertunduk. Ayo berceritalah! Ceritakan semuanya! Jangan menjebakku dalam situasi yang tragis seperti ini!

Seperti biasa, dengan gerakan yang pelan namun pasti, kamu akan mulai menceritakan semuanya. Katamu, waktu itu, kamu bangun pagi seperti biasa, cuaca sedang hujan yang membuat suasana rumah dingin. Kamu mencari si Burhan, kucing persia hitam yang sudah hampir dua tahun terakhir kamu pelihara. Kamu pernah menunjukkan beberapa potonya kepadaku. Setelah beberapa kata kamu terdiam, mengambil tisu di dalam tas lalu menyeka air mata yang setengah kering di pipi.

Setelah mencari sekian lama, ternyata si Burhan belum ketemu juga, lanjutmu. Di kolong meja sebelah dalam kamu melihat ekor si Burhan yang biasanya mengembang ada di situ, kamu hampiri dan mengelusnya, tak ada reaksi. Kekahawatiran tiba-tiba muncul. Kamu tarik perlahan dan menemukan tubuh si Burhan sudah kaku. Si Burhan mati. Kemungkinan besar karena tumor di perutnya yang sudah sekian lama dia derita. Detik-detik sesudahnya kamu hanya bisa sesegukan sambil memeluk tubuh si Burhan. Bukan kematiannya yang kamu sesalkan, toh semuanya juga suatu saat pasti akan mati, termasuk kamu dan aku juga.

Yang kamu sesali adalah kenapa malam itu tidak mengajak si Burhan tidur di balik selimutmu yang hangat? Setidaknya itu bisa menjadi sebuah ucapan selamat tinggal yang manis. Berhari-hari setelah itu kamu masih saja trauma dan sering berhalusinasi, jika melihat kucing hitam akan menyangka kalau itu adalah si Burhan. Jauh di dalam hati, kamu ingin mencoba menyangkal satu kenyataan, si Burhan memang sudah mati.

Suatu malam pernah juga saat kamu ingin bercerita, tiba-tiba aku merasa kurang enak badan, aku batuk-batuk, tubuhku tiba-tiba panas. Untunglah kamu bisa berperan jadi dokter yang baik. Dengan telaten kamu rawat aku, memijat tubuhku sampai aku merasa baikan. Aku merasa bahagia bisa bertemu dan berjodoh denganmu.

Sadar atau tidak sih? Kita ini sudah hampir tiga tahun bersama! Aku dan kamu sama-sama tidak sempurna, tapi saat kita bersama kita bisa jadi partner yang sempurna. Kamu yang sangat ekspresif dan meledak-ledak bisa aku imbangi dengan karakterku yang tenang dan selalu nrimo. Kita pernah jalan-jalan keliling dunia  bersama, nonton film bareng, nonton konser band kesukaanmu sampai aku benar-benar kelelahan, tapi aku tetap merasa bahagia, karena… tahu tidak, ternyata rasa bahagia yang kamu rasakan bisa ter-transfer ke dalam diriku, itulah yang membuatku menjadi sedemikian kuat menemanimu yang seolah-olah tak pernah kehabisan tenaga itu.

Harapanku hanya satu, setidaknya biarkan aku menemanimu untuk beberapa tahun ke depan. Sampai aku benar-benar merasa lelah. Saat aku tidak kuat lagi untuk kamu ajak jalan-jalan, nonton film atau konser, silakan gantikan aku dengan yang lain, dengan yang lebih baik. Itulah puncak kebahagiaanku. Saat aku bisa menemani hari-harimu dan membuat duniamu sedemikian sempurna.

Aku sendiri tidak pernah tahu akan sampai kapan bisa bertahan menemanimu, mungkin sampai bateraiku soak, engsel di tubuhku aus, sampai hard disk di badanku penuh atau mungkin sampai kamu bosan dan memilih untuk berpindah ke lain hati.

Terima kasih karena sudah mempercayaiku selama tiga tahun ini. Terima kasih karena kamu sudah merawatku dan mau berbagi rasa sedih dan bahagia bersama.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s