Langsung ke konten utama

SUICIDE SOLUTION, A MEMOAR OF KING JEREMY





sumber photo: Google
Saya banyak bersyukur bisa tumbuh di sebuah era di mana musik masih benar-benar musik. Sebuah musik yang bagus itu harus jujur, harus bisa memotret kehidupan lewat nada, bukannya malah menutup mata atau mencoba membelakangi keadaan. Musik harus berani, harus bisa bicara lantang tentang kenyataan. Kalau banyak orang yang masih kelaparan dan mengemis di jalanan tapi kita bicara cinta, maka itu pembohongan publik namanya. 

Suatu ketika pada 8 Januari 1991, di Amerika… Negara bagian Dallas tepatnya. Seorang anak bernama Jeremy Wade Delle yang bermasalah di kelas bahasa inggris diminta pulang oleh kepala sekolah. Dia pulang lalu kembali ke sekolah dengan membawa senapan magnum 357, masuk ke kelas dan berdiri di samping guru yang sedang menerangkan. Kalimat terakhir yang dia ucapkan adalah I got what I really want for… sebelum dia ledakkan kepalanya dengan senapan yang dia genggam, tepat di depan guru dan temen sekelasnya. Anak itu ‘pergi’ sambil mengumur perih, membawa sebuah duka yang tak pernah seorang pun mengerti…

Di sebuah kedai kopi, Eddie Vedder membaca di surat kabar tentang berita ini, ada perasaan ngilu yang terselip, Jeremy Wade Delle hanya satu dari sekian banyak anak-anak lain yang mengalami masalah yang sama, teralienasi, dianggap anonim oleh lingkungan.

Rasa gundahnya ini secara blak-blakan dia ceritakan dalam sebuah lagu berjudul Jeremy bersama bandnya, Pearl Jam. Secara berani dia mengungkap borok masyarakat, hancurnya tatanan rumah tangga kebanyakan keluarga di Amerika. Terang-terangan dia membela Jeremy Wade dengan menuliskan ‘King Jeremy, the wicked. Ruled his world’.

Ini yang saya maksud dengan keberanian mengungkapkan permasalahan yang ada di lingkungan secara terang-terangan. Seniman adalah orang-orang terpilih, orang yang terberkahi sekaligus paling apes. Inderanya terlalu peka menangkap pesan yang ingin disampaikan lingkungan, interpretasi atas setiap keadaan terlalu liar, makanya seniman cenderung ekspresif dan meledak-ledak.

Pada titik ini sayapun akan membela tindakan Jeremy, dia menciptakan sebuah suicide solution, bukan untuk dia, tapi untuk anak-anak lain yang bernasib sama. Tetapi pada umumnya masyarakat akan mengecam tindakan Jeremy sebagai tindakan pengecut, tidak berani menghadapi kenyataan, terlalu cepat memilih jalan pintas.

Hal paling menyakitkan bukanlah dipukul atau ditendang, tapi diacuhkan, dianggap tidak ada oleh lingkungan. Ada orang-orang yang dianggap seperti ini? Banyak! Tapi kebanyakan kita tidak sadar, sejak era 2000-an kita sudah diberi pemahaman narsis yang gila-gilaan. Tak ada orang yang lebih penting di dunia ini selain diri kita sendiri.

Saat melihat anak kecil mengemis di lampu merah, kita langsung berpikir, ‘paling juga di diorganisir preman’ atau saat melihat anak muda gondrong bertato, pasti langsung tersersit pemikiran ‘anak nggak bener, salah gaul, jauhin’. Stigma! Itu yang lambat laun menggerogoti pikiran kita. Seolah otak kita di set untuk berpikir seperti itu saat menghadapi sebuah persoalan. Otak kita tidak pernah diberi ruang untuk interpretasi, untuk berpikir, menakar dan membandingkan lebih dalam saat menghadapi sebuah persoalan.

Komputer yang sudah soak, itu gambaran umum untuk cara berpikir seperti ini. Praktis, malas. Kita berpikir dengan sebuah program yang sudah kadaluarsa. Merah berarti amarah, air mata berarti sedih. Kita langsung men-set otak kita seperti itu, padahal mawar yang katanya lambang cinta juga warnanya merah, berapa banyak dari kita juga sering keluar air mata karena terlalu bahagia?

Kembali ke persoalan Jeremy, berapa banyak dari kita yang memiliki, keluarga, teman atau kerabat yang memiliki kehidupan yang sama dengan Jeremy? Atau jangan-jangan kita sendiri lah si Jeremy itu, terasingkan tapi mencoba menghibur diri dengan menjadikan diri kita kebas, mati rasa dengan keadaan. Mencoba membuat cangkang rapuh agar kita terhindar dari lingkungan, menyedihkan. Sebuah pengobatan pribadi yang aneh.

Cobalah kita sedikit terbuka, lupakan stigma. Coba berpikir dengan gaya yang baru agar dunia yang kita tempati ini bisa menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali.

Kalau anda menangis saat menonton drama Korea tapi tak acuh saat melihat seorang anak kecil kumal berpanas-panas sambil meneteng kemoceng di perempatan lampu merah…. Coba tolong, tanyakan sekali lagi ke dalam diri anda: APAKAH SAYA MASIH MANUSIA??

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s