sumber photo: Google |
Suatu ketika pada 8 Januari 1991, di Amerika… Negara
bagian Dallas tepatnya. Seorang anak bernama Jeremy Wade Delle yang bermasalah
di kelas bahasa inggris diminta pulang oleh kepala sekolah. Dia pulang lalu
kembali ke sekolah dengan membawa senapan magnum 357, masuk ke kelas dan
berdiri di samping guru yang sedang menerangkan. Kalimat terakhir yang dia
ucapkan adalah I got what I really want
for… sebelum dia ledakkan kepalanya dengan senapan yang dia genggam, tepat
di depan guru dan temen sekelasnya. Anak itu ‘pergi’ sambil mengumur perih,
membawa sebuah duka yang tak pernah seorang pun mengerti…
Di sebuah kedai kopi, Eddie Vedder membaca di surat
kabar tentang berita ini, ada perasaan ngilu yang terselip, Jeremy Wade Delle
hanya satu dari sekian banyak anak-anak lain yang mengalami masalah yang sama,
teralienasi, dianggap anonim oleh lingkungan.
Rasa gundahnya ini secara blak-blakan dia ceritakan
dalam sebuah lagu berjudul Jeremy bersama bandnya, Pearl Jam. Secara berani dia
mengungkap borok masyarakat, hancurnya tatanan rumah tangga kebanyakan keluarga
di Amerika. Terang-terangan dia membela Jeremy Wade dengan menuliskan ‘King
Jeremy, the wicked. Ruled his world’.
Ini yang saya maksud dengan keberanian mengungkapkan
permasalahan yang ada di lingkungan secara terang-terangan. Seniman adalah
orang-orang terpilih, orang yang terberkahi sekaligus paling apes. Inderanya terlalu peka menangkap
pesan yang ingin disampaikan lingkungan, interpretasi atas setiap keadaan
terlalu liar, makanya seniman cenderung ekspresif dan meledak-ledak.
Pada titik ini sayapun akan membela tindakan Jeremy,
dia menciptakan sebuah suicide solution, bukan untuk dia, tapi untuk anak-anak
lain yang bernasib sama. Tetapi pada umumnya masyarakat akan mengecam tindakan
Jeremy sebagai tindakan pengecut, tidak berani menghadapi kenyataan, terlalu
cepat memilih jalan pintas.
Hal paling menyakitkan bukanlah dipukul atau
ditendang, tapi diacuhkan, dianggap tidak ada oleh lingkungan. Ada orang-orang
yang dianggap seperti ini? Banyak! Tapi kebanyakan kita tidak sadar, sejak era
2000-an kita sudah diberi pemahaman narsis yang gila-gilaan. Tak ada orang yang
lebih penting di dunia ini selain diri kita sendiri.
Saat melihat anak kecil mengemis di lampu merah,
kita langsung berpikir, ‘paling juga di diorganisir preman’ atau saat melihat
anak muda gondrong bertato, pasti langsung tersersit pemikiran ‘anak nggak
bener, salah gaul, jauhin’. Stigma! Itu yang lambat laun menggerogoti pikiran
kita. Seolah otak kita di set untuk
berpikir seperti itu saat menghadapi sebuah persoalan. Otak kita tidak pernah
diberi ruang untuk interpretasi, untuk berpikir, menakar dan membandingkan
lebih dalam saat menghadapi sebuah persoalan.
Komputer yang sudah soak, itu gambaran umum untuk
cara berpikir seperti ini. Praktis, malas. Kita berpikir dengan sebuah program yang
sudah kadaluarsa. Merah berarti amarah, air mata berarti sedih. Kita langsung
men-set otak kita seperti itu,
padahal mawar yang katanya lambang cinta juga warnanya merah, berapa banyak
dari kita juga sering keluar air mata karena terlalu bahagia?
Kembali ke persoalan Jeremy, berapa banyak dari kita
yang memiliki, keluarga, teman atau kerabat yang memiliki kehidupan yang sama
dengan Jeremy? Atau jangan-jangan kita sendiri lah si Jeremy itu, terasingkan
tapi mencoba menghibur diri dengan menjadikan diri kita kebas, mati rasa dengan
keadaan. Mencoba membuat cangkang rapuh agar kita terhindar dari lingkungan,
menyedihkan. Sebuah pengobatan pribadi yang aneh.
Cobalah kita sedikit terbuka, lupakan stigma. Coba berpikir
dengan gaya yang baru agar dunia yang kita tempati ini bisa menjadi tempat
yang nyaman untuk ditinggali.
Kalau anda menangis saat menonton drama Korea tapi tak
acuh saat melihat seorang anak kecil kumal berpanas-panas sambil meneteng
kemoceng di perempatan lampu merah…. Coba tolong, tanyakan sekali lagi ke dalam
diri anda: APAKAH SAYA MASIH MANUSIA??
Komentar