Langsung ke konten utama

KAWAN DIKALA RAWAN

Albert Camus Source: philosphynow.org

Nietzsche Source: wikipedia


Untuk menggarap tulisan ini tampaknya saya harus berhati-hati sekali. Anggap saja saya memang sedang ketiban apes. Entah kenapa waktu ngedengerin play list lagu di PowerAmp kesayangan saya, tiba-tiba lagu Estranged-nya Guns N’ Roses ikut keputer, padahal lagu ini udah lama banget nggak saya dengerin. Ada lirik yang kedengerannya desperate banget… “When you’re talkin to yourself, and nobody’s home, you can fool yourself, you came in this world alone… alone…” terus disautin sama sayatan gitar slash yang dalem banget, efeknya kaya membius gitu.

Sambil iseng denger lagu, saya suka buka-buka facebook, nggak tahu siapa yang ngasih link tiba-tiba saya kesasar ke sebuah web yang membahas tentang Albert Camus, dia itu salah satu filsuf kelahiran Aljazair, gedenya di Perancis. Dia salah seorang filsuf yang ekstensialis, tapi banyak juga yang menggolongkan dia jadi golongan absurdis, itu dimungkinkan karena dia akrab banget dan sering nongkrong bareng sama Jean Paul Sartre, kenal sama Sartre? Saya juga nggak kenal.

Yang bikin saya bergidik itu ya karena pernyataan Bang Albert Camus ini yang seolah-olah memvonis takdir pencarian hidup manusia emang di set buat mati. Serem kan? Masih belom paham? Maksudnya begini. Kita kan dikasih akal buat mikir, buat menimbang-nimbang masalah, buat menakar segala konsekuensi, tapi ternyata (katanya) fungsi utama otak manusia itu untuk mencari jati diri, buat ngejawab pertanyaan tentang eksistensi manusia itu sendiri. Paham? Oke kalau belom paham juga, saya bikin simpel aja, jadi seumur hidup target manusia itu sebenarnya untuk  mencari tahu tentang keberadaan manusia itu sendiri. Jadi yang namanya kerja, makan, tidur, nikah, berketurunan dan lain-lain cuma sambilan aja, karena target utama manusia berpikir ya itu tadi, buat memuaskan rasa penasaran atas eksistensinya.

Sampai sini sih masih tenang-tenang aja, pernyataan berikutnya yang rada serem adalah ternyata waktu manusia sudah menemukan jati dirinya, sudah menemukan tujuan utama dalam hidupnya secara utuh, ternyata manusia bakal menyadari kalau mereka itu bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, hampa, dan… memutuskan untuk mati… sadis. Semoga saja saya yang imbisil ini salah menafsirkan. Soalnya kalau emang kaya gitu bakal tragis banget jadinya.

Memang tampaknya saya lagi apes aja minggu-minggu ini, dari satu tulisan tentang Bang Albert Camus tadi, saya kesasar lagi ke artikel Om Friedrich Willhelm Nietzsche, seorang pilsuf kelahiran Prussia (sekarang Jerman). Beliau itu sering menyoroti tentang bobroknya agama, dogma, moralitas sama budaya kontemporer waktu itu. Ungkapan Om Nietzsche yang paling terkenal adalah ‘God is Dead’,  Tuhan sudah mati, waduh… apa lagi nih?

Kalau yang ngomong kaya gitu orang-orang biasa sih kita bisa kategorikan dia orang gila, tapi ini seorang filsuf kenamaan. Saya jadi penasaran dong, saya iseng cari-cari info tentang Bang Nietzsche ini, bukunya yang paling ngetop judunya Thus Spoke Zarathustra. Dalam buku ini Om Nietzsche berusaha berbicara sebagai Zarathustra yang menganggap manusia secara umum adalah jembatan antara hewan dan adimanusia… sampai sini saya bengong, IQ saya yang tiarap ini nggak paham, saya turun dulu ke dapur buat nyeduh kopi.

Saya baca lagi berulang-ulang sampe rada paham. Saya sih berbaik sangka aja kalau Om Nietzsche ini sebenarnya emang punya niat baik dengan melakukan pemberontakan secara internal terhadap sistem keagamaan yang melembaga. Jadi pendapat Om Nietzsche itu sebetulnya Tuhan itu dulu ada, tapi sekarang udah nggak ada, udah mati. Siapa yang membunuh Tuhan? Ya agama yang melembaga itu sendiri. Menurut Om Nietzsche yang ada sekarang itu religion bukan spiritualism. Galak juga sih pendapat Om Nietzsche ini, tapi sekarang saya lagi nggak mau membahas masalah ini terlalu jauh, saya kan narsis, saya malah mau membahas diri saya yang lagi sering ketiban apes ini.

Dari pendapat Bang Albert Camus sama Om Nietzsche ini memang bisa kita tarik kesimpulan kalau manusia berpegang sama filsafat doang ujungnya pasti sama: bunuh diri. Untung saya nggak dalem-dalem amat baca-baca filsafatnya, karena saya yakin banget ada yang lebih tinggi dari filsafat, wahyu. Iya wahyu yang langsung diturunkan Tuhan ke manusia lewat perantara nabi dan rasulnya. Dengan berpegang sama itu saya jadi kuat. Jadi tau tujuan hidup saya apa.

Kata guru ngaji saya, bunuh diri itu dosa, karena sudah memutus nikmat yang diberikan Tuhan sama kita. Lagian juga tujuan kita lahir ke dunia juga bukan cuma buat mengukur seberapa hebat eksistensi kita di mata manusia, itu pendapat saya ya. Eksistensi kita justru diukur dari sehebat apa kita di mata Tuhan, jadi tolak ukurnya itu lebih sempit. Hanya antara saya sama Tuhan aja. Sampe sini saya jadi lebih tenang, nggak harus ngumpet-ngumpet kabur ke hutan Aokigahara buat bunuh diri karena gagal ujian, nggak harus lompat dari lantai dua belas karena cinta ditolak atau menghadang kereta Argo Lawu karena jadi jomblo kelamaan.

Balik ke lagu Guns N’ Roses tadi, di lirik lanjutannya yang kalau diartiin kayak begini, “Jadi nggak akan ada seorangpun yang ngasih tahu sama kamu apa yang akan terjadi, kamu hanya harus menunggu dan melihat” kira-kira gitu lah artinya. Ada pengertian seburuk apapun keadaan kita sekarang, jangan gampang nyerah. Inget iklan keripik kentang yang jargonnya Life is never flat, karena kalau hidup kita flat, secara medis kita udah mati (keinget adegan dalem pelem yang di layar monitor ruangan di rumah sakitnya ada grafik detak jantung, kalau detak jantungnya rata, maka keluarganya pada nangis).

Jadi intinya gini, seseram, sesedih, semencekam, seputus asa apa pun selalu ada kawan di titik-titik hidup kita yang paling rawan. Siapa temannya? Sebentar, saya mau main tebak-tebakan dulu.
Saya pernah baca puisi yang dibikin sama seorang anak yang masih ABG, puisinya kalau ditafsirkan kayak gini.

“Selama ini kita selalu diajari oleh orang tua, masyarakat, agama dan lain-lain kalau selalu ada Tuhan di samping kita. Suatu ketika si anak sedang berjalan-jalan di tepi pantai, waktu nengok ke belakang dia melihat ada empat bekas jejak kaki di pasir, dia tersenyum, dia sadar itu adalah jejak kaki dia dan Tuhan. Suatu ketika saat dia ada dalam kesulitan, dia jalan-jalan lagi ke pantai sambil nangis-nangis, waktu dia nengok ke belakang dia hanya melihat dua buah jejak kaki, dia tersenyum lagi. Dua jejak kaki itu bukan bekas jejak dia, tapi itu jejak kaki Tuhan yang sedang menggendong dia yang sedang dalam kesulitan. Itulah kasih sayang Tuhan.”

Anak ABG aja udah bisa bikin puisi yang dalem kayak gini.

Sekarang sudah jelas kan siapa sebenarnya kawan dikala rawan? Rasanya saya sudah tidak perlu menjelaskan lagi…  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s