Langsung ke konten utama

PUISI 15


Aku adalah seorang bajingan….
Anak jadah yang dilahirkan di bumi mulia…
Tapi aku selalu mensyukuri kehidupan ini..
Dan aku begitu jatuh cinta pada setiap sendi
sampai ke sum-sumnya…

Aku adalah seorang bajingan…
Aku seperti pelacur tua yang terseok di gang-gang becek
Pelacur tua penyakitan yang menyumpah serapah kehidupan…

Aku ketuk semua pintu, tapi tak ada jawaban…
Aku tendang pintu, dan pintunya roboh..
Lalu di dalamnya ada berjajar lagi ribuan pintu…
Aku terseok, aku menangis sejadi-jadinya… atas sebuah cinta yang tak pernah mampu aku ucap….

Aku pandang wajah zaman… dan roda waktu yang            
 perlahan menguap..
Tapi tak kutemu wajahku di dalamnya…
Aku tatap bianglala, dia perlahan mengerucuk, berbalik jadi kibasan pedang…

“ ini kawan, ini morphin… masukkanlah ke dalam tubuhku.. jangan lewat tanganku… tapi langsung dari nadi di leherku… agar semua pedih ini cepat-cepat menguap jadi fantasi….”

“ ini kawan… ini senapan…tembaklah aku, tapi jangan di dadaku… tembaklah tepat di keningku… kata orang disitu ada mata ketiga kita, dan saat aku mati nanti aku tak mau meliht apa-apa lagi…. Aku ingin sepi….”

Aku tenggak botol-botol anggur…
Aku tantang dunia…
Aku bakar dupa….
Aku panggil Tuhan…

Aku marah…                                                                
Aku benci…
Tanganku mengepal…
Lalu kukuku berubah jadi cakar…
Akulah orang yang sudah ditelantarkan peradaban…
Anak hina yang hadir dari puing semesta purba…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...