Langsung ke konten utama

PUISI 14


FOR WHO’S CRYING IN THE DRIZZLE                       

Malam itu malamnya daun rontok dan sumpah serapah di bentang di atas kota. Lampu neon di atas menara nanar, angkuh dan liar menyasar semua sisi sepi dan gelap. Gemericik arus sungai Seine liar mendendangkan lagu menghantar bercinta. Lantai dansa sudah sepi, hanya ada remah keju dan cipratan sisa anggur pada taplak meja. Seprai kamar nanar, acak-acakan. Lelaki memandang bulan dari balkon kamar menanti kapan sangkakala ditiup tandas, lelaki satunya lagi sibuk dengan  fantasi yang masih hinggap bekas kecupan asap dan dentingan gelas angur. Padahal malam masih begitu sepi

Lalu aku melihat di batas kota ada seorang gadis dengan rambut acak-acakan, menangis dalam pelukan gerimis…….

“ Kekasih, aku sedang berdandan dalam kematian, maukah kau menemani aku?”
“ Apa yang kau persiapkan untuk-Nya?”
“ Kekasihku, bukankah Ia begitu agung?”
“ Sekaligus menakutkan”
“ Kematian tidaklah lagi menakutkan bagiku”
“ Lalu untuk apa kau mempersiapkan kedatangan pada sesuatu yang tidak kau takuti?”
“ Karena ia adalah kekasih sejatiku”
“ Maksudmu?”
“ Dia adalah kekasih sejatiku. Di manapaun aku berada dia bersamaku. Dalam suka dan     duka dia ada. Dia begitu agung. Dia begitu mulia. Dialah yang akan menghantarkan aku pada sejujurnya. … AKU “
“ kekasih, maukah kau mengurai rambutku… untuk berdandan bersamamu…. Untuk menyambut-Nya?!”

Bulan begitu pucat…  balkon kamar sudah sepi. Gadis dalam gerimis menggigil. Seine tetap tenang dan anggun….. pagi tak pernah datang……

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...