Malam
luruh di atas kotamu yang muram. Bulan pucat yang mengiba kenangan, pasrah
ditusuki gerimis dan jelatang.
Sore di dermaga,
memandangi rupa ombak tua yang jingga, renta, kusut masai dan terengah-engah
menanti kematian.
Kelasi
setengah mabuk berteriak-teriak dari arah haluan, “Turunkan layar! Kita jelajah
samudera purba!” Lalu sebuah kapal berlayar harapan dan berdinding kenangan
melesak dalam kabut jingga.
Di
hadapanmu kini aku harus mengistirahatkan kata-kata.
Dunia
itu sepi, Sayang. Ada enam miliar manusia tanpa tegur sapa.Enam miliar mulut
tanpa kata-kata. Jangan berharap nama kita ada di sana. Hanya lewat matamu lah,
aku bisa merasakan keindahan Sebuah rekreasi azali. Ke sebuah wilayah tanpa
tepi.
Di
hadapanmu kini aku harus menyatakan kebenaran.
Berhentilah
bermain petak umpat dengan takdir. Jangan pernah membelakangi matahari. Kita tatap
matanya yang garang dengan keberanian, kalau perlu sampai wajah kita
terpanggang.
Genggam
tanganku, tak ada yang perlu ditakutkan lagi. Cinta adalah sebuah peperangan,
dan aku sudah mati sekarang. Tak ada yang perlu ditakutkan lagi. Bukankah lebih
indah mengenang sebuah nisan dari pada mereguk getir empedu dari sebuah harapan
yang tidak diperjuangkan?
Malam
luruh di atas kotamu yang muram. Bintang-bintang genit berkelipan. Kelasi mabuk
kelelahan, dengan layar kapal yang robek-robek merapat kembali ke pelabuhan.
Tak
pernah ada kalah dalam perjuangan, hanya ada kemenangan dan pelajaran.
Ombak
mulai tenang, malam meringkuk dengan gaun hitam kebesaran. Tak ada bulan tak
ada bintang. Pelaut sesat di tengah lautan.
Seorang
pengembara lelah, duduk bersandar di batu nisan.
Pekuburan.
Komentar
www.ipung.net