Langsung ke konten utama

Another One Bites the Dust



I had this perfect dream
Un sueno me envolvio
This dream was me and you
Tal vez estas aqui
*Barcelona- Freddie Mercury & Montserrat Caballe

Nyanyian itu terdengar sayup, timbul tenggelam. Tersamar antara desahan nafas yang tertahan dan degup jantung yang semakin cepat. Semua tulang di tubuh Eva terasa mencair. Otot wajahnya menegang hebat, sudah beberapa kali dia tersedak.

Wajah pucat tanpa darah yang megap-megap setengah mati mencari udara. Matanya membelalak liar menatap langit-langit kamar president suite yang dia sewa beberapa jam lalu.

Ada lukisan replika The Creation of Adam karya Michael Angelo. Ini mengingatkannya saat berkunjung ke Kapel gereja Sistine. Waktu itu dia malas tengadah terlalu lama untuk menyaksikan lukisan itu, tapi kali ini dia benar-benar mampu mnyaksikannya dengan jelas. Adam yang gagah dengan tubuh telanjang menyentuhkan jarinya ke jari Tuhan, dan Tuhan-pun berbaik hati memberikannya restu dan pengetahuan.

Jelas sekali, walau matanya kini sedikit buram karena desakan air mata yang tidak bisa di tahannya. Jelas, kalau Tuhan tidak pernah membenci Adam, lebih jauh, Tuhan tidak pernah membenci manusia. Tuhan rela dan memberikan restu untuk kebaikan manusia.

Air mata yang keluar bertambah hebat, bukan hanya karena rasa sakit yang kini ditanggungnya tapi juga didesak oleh rasa haru yang membuat dadanya serasa ingin meledak. Walau tenggorokannya semakin tercekat dia memaksa untuk terus tersenyum.

Oh, tidak. Ada sesuatu yang mendesak dari perutnya dan memaksa untuk keluar. Dia tahan sebisa mungkin, tak ingin rasanya bertemu Tuhan dengan keadaan kotor. Dia tahan sekuat tenaga walau akhirnya dia harus mengorbankan udara yang semakin perih masuk melaui hidung ke dalam tenggorokannya.

Keesokan harinya seorang room boy menemukan tubuh Eva tergantung di langit-langit kamar hotel sambil menatap The Creation of Adam.
Eva sudah bertemu Adam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...