Langsung ke konten utama

OPERA BIAWAK

sumber: cratecartel.campband.com


Mereka datang berbondong-bondong, jumlahnya bukan lagi ribuan, jutaan tapi puluhan juta. Keluar dari liang-liang, muncul dari selokan yang mampet, hadir dari laut, terbit dari gurun dan menampakan diri dari hutan-hutan.

Dengan mulut menganga dan tangan terkepal di udara mereka datang. Sebagian berlari, ada yang berjalan, merayap dan sebagian lagi menyeret tubuhnya di atas aspal panas.

Seorang dari golongan mereka naik ke mimbar, wajahnya pucat, mata semerah saga dan mulut bau alkohol.
“Aku datang! Aku datang!” bukanya, “Dengan tangan terbuka, menggenggam harapan… kini aku datang!”
Suara riuh memenuhi udara dari segala penjuru.

“Datanglah kepadaku, wahai kamu yang terusir dari tanah leluhurmu, kamu yang didera nestapa dan dibelenggu ketidak adilan. Datanglah! Datanglah!”

Suara-suara riuh mulai reda. Mulut mereka yang sedari tadi berkata-kata mulai diam. Telinga dipasang tinggi-tinggi, menyimak, berharap akan ada air sejuk yang keluar dari mulut orang yang sedang berdiri di mimbar.

“Kita akan bangun desa-desa. Kita perbaiki aliran airnya, supaya got-got dan selokan tidak lagi mampet. Kita bangun tinggi gedung-gedung agar anak-anak kita yang berbiak seperti berudu bisa punya tempat tinggal. Kita timbun laut lalu isi dengan tanah, kalau perlu sampai tembus ke Borneo sana.”

Beberapa suara mulai terdengar dari pojokan, mengelu-elukan namanya. Orang yang berdiri di mimbar sumringah, lalu berjongkok sambil diam-diam meneggak sisa vodka langsung dari botolnya.

Dia bangun, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh sisi alun-alun. Matanya berkilatan, harapan yang dulu seolah terasa di awang-awang sekarang tampak jelas di pelupuk mata.

“Tapi… tapi… tapi…” ulangnya dengan penuh penekanan, “tapi…”

Alun-alun mendadak hening, hanya satu dua suara tangisan anak yang terdengar.

“Negara yang besar dibangun dari belulang, kematian, jerami, darah, keringat dan pengorbanan. Maka mulai detik ini ayo kita kobarkan api di mana-mana, tumpahkan darah, nyanyikan puja-puji untuk nenek moyang dan kita berhola-hop- da-di-du-la-la-la bersama-sama!”

Massa yang berkerumun mulai bersemangat, ikut bersenandung, saling sikut, beberapa terjatuh bahkan mati terinjak-injak.

Orang yang berdiri di atas mimbar mulai panik, bukan ini yang diinginkannya. Massa terus bergerak ke arahnya. Nyanyian mereka nyaring terdengar dari semua sudut, bahkan dari pojok-pojok paling sempit hola-hop- da-di-du-la-la-la… hola-hop- da-di-du-la-la-la… hola-hop- da-di-du-la-la-la…

Dari bagian bawah mimbar mulai mengepul asap, bau hangus dan jelaga memenuhi udara, sauar nyanyian semakin santer memekakkan telinga hola-hop- da-di-du-la-la-la… hola-hop- da-di-du-la-la-la… hola-hop- da-di-du-la-la-la…

Beberapa orang naik ke atas mimbar, dengan belati terhunus dan bibir menyungging senyum yang tak bisa ditebak maknanya, lalu mendekati orang yang berdiri di atas mimbar.

Mereka menciumi bibirnya lalu menghujamkan belati ke tubuh setengah mabuk itu. Darah muncrat ke mana-mana. Membasahi dinding mimbar, lantai dan gagang mikropon. Lalu mereka melemparkan mayat orang yang tadi berdiri di atas mimbar ke massa yang berkerumun di bawah.

hola-hop- da-di-du-la-la-la… hola-hop- da-di-du-la-la-la… hola-hop- da-di-du-la-la-la…
hola-hop- da-di-du-la-la-la… hola-hop- da-di-du-la-la-la… hola-hop- da-di-du-la-la-la…

Mereka pulang berbondong-bondong, jumlahnya bukan lagi ribuan, jutaan tapi puluhan juta. Kembali ke liang-liang, menceburkan diri ke selokan yang mampet, pulang ke laut, menyepi di gurun dan menyamarkan  diri di hutan-hutan.

hola-hop- da-di-du-la-la-la… hola-hop- da-di-du-la-la-la… hola-hop- da-di-du-la-la-la…
hola-hop- da-di-du-la-la-la… hola-hop- da-di-du-la-la-la… hola-hop- da-di-du-la-la-la…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...