Langsung ke konten utama

A SING SING SO

Malam luruh di atas kotamu yang muram. Bulan pucat yang mengiba kenangan, pasrah ditusuki gerimis dan jelatang.

Sore di dermaga, memandangi rupa ombak tua yang jingga, renta, kusut masai dan terengah-engah menanti kematian.

Kelasi setengah mabuk berteriak-teriak dari arah haluan, “Turunkan layar! Kita jelajah samudera purba!” Lalu sebuah kapal berlayar harapan dan berdinding kenangan melesak dalam kabut jingga.

Di hadapanmu kini aku harus mengistirahatkan kata-kata.

Dunia itu sepi, Sayang. Ada enam miliar manusia tanpa tegur sapa.Enam miliar mulut tanpa kata-kata. Jangan berharap nama kita ada di sana. Hanya lewat matamu lah, aku bisa merasakan keindahan Sebuah rekreasi azali. Ke sebuah wilayah tanpa tepi.

Di hadapanmu kini aku harus menyatakan kebenaran.

Berhentilah bermain petak umpat dengan takdir. Jangan pernah membelakangi matahari. Kita tatap matanya yang garang dengan keberanian, kalau perlu sampai wajah kita terpanggang.

Genggam tanganku, tak ada yang perlu ditakutkan lagi. Cinta adalah sebuah peperangan, dan aku sudah mati sekarang. Tak ada yang perlu ditakutkan lagi. Bukankah lebih indah mengenang sebuah nisan dari pada mereguk getir empedu dari sebuah harapan yang tidak diperjuangkan?

Malam luruh di atas kotamu yang muram. Bintang-bintang genit berkelipan. Kelasi mabuk kelelahan, dengan layar kapal yang robek-robek merapat kembali ke pelabuhan.

Tak pernah ada kalah dalam perjuangan, hanya ada kemenangan dan pelajaran.

Ombak mulai tenang, malam meringkuk dengan gaun hitam kebesaran. Tak ada bulan tak ada bintang. Pelaut sesat di tengah lautan.

Seorang pengembara lelah, duduk bersandar di batu nisan.


Pekuburan.

Komentar

ipung.net mengatakan…
keren tulisannya..

www.ipung.net
FathinFar mengatakan…
Ya Allah ... Baru baca di awal aja uda melting T.T

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U