Salah satu hal
paling menyedihkan yang terjadi pada seorang manusia adalah dia menderita
sebuah penyakit yang bahkan dirinya yang merasakan sendiripun tidak tahu
penyakit apa yang sedang dideritanya. Kalau penyakit serupa cacar atau keseleo
atau bahkan kurap saja masih mudah terlihat, mudah dicari obatnya, banyak
dokter yang bisa menyembuhkannya. Tapi bagaimana kalau penyakit yang diderita
ini adalah sebuah bentuk kemalasan? Tak ada tolok ukur pasti yang bisa
menjelaskan seberapa parah penyakit kemalasan yang menjangkiti seseorang. Susah
mengidentifikasi gejalanya, bahkan mungkin psikiater juga akan geleng-geleng
kepala, menyadari study-nya selama
ini ternyata sia-sia menghadapi penyakit semacam ini.
Hal yang lebih
menyedihkan lagi adalah ternyata penyakit malas ini menimpa saya. Lebih spesifiknya
lagi adalah penyakit malas menulis. Hampir tiga minggu lamanya saya tidak punya
gairah dalam menulis apa pun. Penulisan artikel saya tinggalkan, gairah puisi
saya lepas jauh-jauh bahkan semangat menulis cerpen pun saya bungkus
rapat-rapat dalam kantong plastik hitam lalu saya taruh di sudut paling gelap
di bawah ranjang. Singkatnya saya merasa patah arang dengan dunia tulis-menulis.
Beberapa teman
berusaha membangkitkan semangat saya, mengajak pelesir ke tempat-tempat yang
indah. Tapi sia-sia, tempat yang indah bukan cara ampuh untuk mengobati rasa
malas. Beberapa teman yang lain mencoba membuat asumsi, mendiagnosa kondisi
saya sebagai sebuah hiatus, sebuah masa kosong, nirinspirasi, miskin ide atau
lebih tepatnya saya mengalami down
syndrome temporer, tiba-tiba jadi dungu dalam menciptakan karya.
Saya tidak marah
dikatai dungu, miskin ide atau apa pun itu, toh saya memang tidak menghasilkan
satu huruf pun selama hampir tiga minggu ini. Saya tidak akan merasa sakit hati
kalau dicap sudah mengalami down sydrome
temporer. Teman-teman dekat selama ini mengenal saya sebagai orang yang aktif,
memiliki cara pikir out of the box,
cara pandang yang kadang-kadang mengejutkan dan tidak umum. Saya sadar betul
apa yang saya tuliskan selama ini banyak melenceng dari kaidah-kaidah dan
keumuman yang banyak berkembang dalam dunia tulis- menulis sekarang ini.
Saya tergabung
dalam beberapa kelompok kepenulisan baik secara online maupun offline,
banyak yang menawari saya untuk bergabung dengan kelompok penulisan, beberapa
lagi menawarkan menulis antologi. Saya tertarik, saya ikut bergabung. Duduk dengan
tenang dan membuka mata lebar-lebar menyimak baik-baik semua pemaparan mentor
tentang tema yang disajikan. Satu atau dua pertemuan saya masih merasa nyaman,
menginjak pertemuan ketiga dan seterusnya saya mulai gusar, saya merasa seolah diarahkan, harus begini, harus begitu. Penulis
itu harus menulis yang baik-baik, sebelum menulis harus membuat mind map, harus membuat out line naskah, penulisan harus runut,
judulnya harus memancing minat pembaca dan lain-lainnya.
Mudah saja saya
mengikutinya, mengerjakan setiap tugas yang wajib disetorkan setiap minggunya. Tapi
apa kalian tahu kalau setiap saya menuliskan semuanya, SAYA MERASA MEMASUKKAN JARI TELUNJUK SAYA KE DALAM KERONGKONGAN! Saya merasa mual setiap jari saya menyentuh
simbol-simbol di atas keyborad yang -sekarang-
rasanya sedingin es. Saya hilang semangat, langsung merasa impoten yang
berakibat mandulnya karya saya.
Saya menyadari kesalahan saya, saya khilaf dan
terlalu bernafsu untuk mereguk ilmu kepenulisan sampai tandas, saya lupa kalau
menjadi penulis berarti pemegang tongkat estafet untuk membuka gerbang-gerbang
ilmu selanjutnya. Kalau saya membenamkan diri dalam megahnya dunia kepenulisan
yang ‘diatur-atur’ berarti saya sudah mengkhianati semangat saya sendiri.
Beberapa hari
terakhir saya sempat membaca tulisan-tulisan lama saya dan membandingkannya
dengan beberapa tulisan terkahir saya. Tulisan lama saya begitu acak-acakan,
liar, tidak beraturan tapi lepas, penuh gairah, sementara tulisan saya yang
baru begitu menyenangkan, rapi, bertiti nada, tapi tidak sedikitpun ada emosi di dalamnya. Tidak ada
terobosan. Saya seperti membaca tulisan yang sering saya temui di luar sana. Ribuan
jumlahnya dan temanya sama, gaya penulisannya sama, idenya sama. Saya seperti
melihat mereka yang serupa dengan saya. Menjemukan sekaligus menjenuhkan.
Pada titik ini
saya merasa depresi, dilema dengan pilihan yang sudah saya pilih. Tapi bagaimanapun
juga saya sudah berjanji dan saya sadar betul kalau dunia kepenulisan ini tidak
bisa serta merta saya tinggalkan begitu saja. Ini adalah salah satu sarana saya
dalam mempertahankan eksistensi.
Pada detik ini saya
tiba-tiba seperti mendapat suntikan energi. Mental saya tiba-tiba imun dalam
seketika. Saya hanya ingin menulis dan menulis saja. Apa yang saya ingin tulis
semua terserah saya. Saya hanya ingin menulis, melontarkan ide-ide dan
tanggapan atas semua stimulus yang diberikan dunia pada kedua puluh enam indra
saya. Baik tulisan saya nanti akan menjadi baik atau buruk, sehebat apapun
cercaan, hinaan dan makian atas apa yang saya tuliskan saya akan jadi kebas,
mati rasa. Saya tidak peduli, karena saya sudah berusaha menuliskannya sejujur
mungkin, seobjektif yang saya bisa. Tanpa ada paksaan, tanpa ada tekanan atau
apa pun yang mempengaruhinya selain dari diri saya sendiri.
Di huruf pertama
pada paragraf kesebelas tulisan saya ini saya tarik nafas dalam-dalam. Mengangkat
gelas kopi yang sudah dingin dan meminumnya sampai tandas. Saya ambil sebatang
rokok dan membakarnya. Asap membuncah, lalu dalam hati saya ucapkan ‘dadah’ sekaligus
welcome, saya menulis lagi setelah
masa hiatus yang kosong melompong. Ini tulisan pertama saya. Ini obat yang
melegakan. Saya kembali ke track,
menulis apa yang saya inginkan. Saya mengajak semua pembaca saya naik roller coaster, membuat jantung mereka dag dig dug, berteriak sekencang-kencangnya.
Saya ajak mereka mengucap sumpah serapah, memaki-maki, tertawa, tersenyum bahkan
menangis.
Saya menulis
bukan untuk mentor atau penilaian, saya menulis untuk diri saya sendiri, saya
menulis untuk para pembaca tulisan saya yang sering menyumpahi saya, marah-marah, memuji,
mengerutkan kening bahkan langsung keluar dari blog tanpa membaca.
Iya, saya
sekarang mulai bertransforasi jadi monster yang egois, tak ada yang lebih
penting bagi saya kecuali diri saya sendiri dan orang yang membaca tulisan ini.
Terima kasih. Itu
saja.
Komentar