Langsung ke konten utama

MAL MORAL MORAL MAL



Jasadnya tanpa  nama. Mulutnya mengumur perih. Dia mati di pelataran parkir tadi pagi.

Kalau ada usaha yang paling menjanjikan dan memiliki prospek yang berkesinambungan itu adalah usaha jualan moral. Tidak perlu dijual terlalu mahal, obral murah saja, walau margin keuntungan tidak terlalu besar tapi pasti banyak yang membeli. Moral dewasa ini begitu banyak dibutuhkan orang-orang melebihi kebutuhan mereka akan nasi, gadget bahkan koneksi internet. Lebih dari itu moral memliki tingkat keluwesan yang tiada tara. Moral bisa dipakai dikepala sebagai pengganti topi atau rambut palsu, moral juga tampak indah dipakai sebagai alas kaki, saat orang-orang memakainya tingkat wibawa mereka bisa naik berkali-kali lipat.

Beberapa orang bahkan sedikit berimprovisasi dengan memasang moral di bibir, perut atau mata. Begitu hebat daya pikat moral ini.

Mereka yang tidak sanggup membeli atau memang tidak mau menipu diri sendiri akan tersingkir secara otomatis. Ditertawakan masyarakat, diasingkan dari pergaulan, malahan bisa juga jadi bahan bully-an teman-teman. Singkatnya moral adalah tameng eksistensi baru di abad yang katanya krisis moral ini.

Biasanya saya bertemu laki-laki ini mengemis setiap pagi di  pelataran parkir di depan sebuah Mal yang di klaim paling besar di Asia Tenggara. Saya yakin dia sudah berkali-kali diingatkan Satpam agar tidak mengemis di tempat itu. Mengurangi indahnya pemandangan. Tidak elok rasanya menyaksikan ada orang duduk-duduk berpakaian kumal sambil menengadahkan tangan dilatari pemandangan gedung pusat perbelanjaan setinggi hampir delapan lantai.

Lagi pula menurut saya orang ini salah tempat. Di dalam Mal besar ini tidak dijual moral. Di sana hanya ada restoran, bioskop, toko pakaian, toko perhiasan dan hal-hal keduniawian serupa lainnya. Jadi kecil kemungkinan akan ada orang yang memberinya sedekah. Orang-orang lebih suka memakai moral saat pergi ke kantor, ke sekolah, saat rapat, saat pergi apel ke rumah pacar atau saat bertemu mertua saja. Kalau dia mau sedikit berpikir, dia lebih baik mengemis di sebuah gedung di pusat kota, di tempat itu banyak orang-orang terhormat, orang-orang terpandang. Konon di dalamya mereka memakai moral hampir di seluruh tubuh. Dari kepala, leher, dada, perut, paha, lutut sampai telapak kaki. Mereka membelinya secara obralan di persimpangan jalan atau di kios-kios rokok di pinggir jalan. 

Yang lebih hebat bahkan mereka senang sekali menukar-nukar moral, membagi-bagikan kepada sesamanya. Semakin banyak mereka bertukar moral, maka semakin berwibawa mereka terlihat.

Bayangkan berapa banyak yang akan didapatkan si pengemis jika dia mau mengemis di tempat itu. Tidak seperti di tempat ini yang rasanya sulit sekali walau hanya untuk mendapatkan sekadar receh saja. Tak ada orang yang memakai moral saat masuk atau keluar dari gedung pusat perbelanjaan ini.

Tapi sayangnya selepas turun dari angkot saat menuju pusat perbelanjaan ini saya sempat membeli moral di tikungan jalan dan saya memasang moral yang baru saya beli di mata. Saat saya lihat mayatnya pagi ini di pelataran parkir, saya sempat merasa terganggu juga menyaksikan pemandangan itu. Untunglah hampir semua orang kecuali saya tidak sempat membeli atau memakai moral mereka, jadi mereka tidak merasa terganggu saat melihat mayat tergeletak di pelataran parkir. Begitu juga dengan Satpam dan orang-orang lainnya.

Coba saja tadi saya beli moral dua buah, yang satu saya pasang di mata dan satunya lagi saya pasang di dada, saya pasti sudah menangis sesegukan melihat mayat pengemis yang tergeletak di parkiran tanpa ada satu orangpun yang peduli.

Setelah saya melihat pemandangan itu saya lewat begitu saja, tidak menggubris, tidak sempat menengok lagi ke belakang. Pemandangan itu hanya menyakiti pandangan saya, tapi tidak sedikitpun melukai hati saya.

Hampir dua jam saya habiskan waktu dalam Mal. Saat keluar menuju parkiran saya masih melihat mayatnya di sana. Untunglah moral yang saya pasang di mata saya sudah berkurang kualitasnya. Saya lewat saja.

Saya yakin dalam satu atau dua minggu ke depan, mayat pengemis itu akan hilang dicacah belatung atau jadi santapan anjing liar. Dia salah tempat saat mengemis, lebih salah tempat lagi saat memutuskan tempat dia mati. Tak ada orang yang memakai moral di tempat itu. 

Jasadnya tanpa  nama. Mulutnya mengumur perih. Dia mati di pelataran parkir tadi pagi.



Komentar

Uncle Ik mengatakan…
terima kasih neya, saya memang udah cakep dari lahir
neya mengatakan…
Astagah...gue salah komen!!!
Uncle Ik mengatakan…
ga usah malu ngakuin gw cakep, gw sering di difitnah cakep, tapi gw ga pernah marah kok
neya mengatakan…
Kayanya lo terobsesi menjadi tampan ya, Iik??
Sedih gue ngeliatnya...
Uncle Ik mengatakan…
ahahahahhaha, becanda say
neya mengatakan…
Alhamdulillah, sadar juga.
Akakakakakka...
neya mengatakan…
Alhamdulillah, sadar juga.
Akakakakakka...

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s