Langsung ke konten utama

AMBILLAH LEPASKANLAH



Sebanyak apapun yang kamu mau, ambillah. Sesedikit apapun yang kamu benci, lepaskanlah.

            Jujurlah, jangan ingkar lagi. Akui saja kalau kita terlalu mabuk pada masa muda. Menganggap diri kita tak terkalahkan, raja diraja. Kita terlalu terlena menggenggam ilusi sampai-sampai kita lupa bahwa kita juga hanya segenggam  ilusi. 

            Kita ini hanya sepasang mahkluk finite yang berenang-renang dalam semesta infinite. Semesta ini abadi tapi kita fana. Kita tak bisa hidup selamanya tapi selalu ada kesempatan untuk dikenang selamanya.

            Jauh-jauh hari kata-kata ini mau aku katakan semua, tapi tampaknya anggur yang kamu reguk terlalu banyak sampai kamu luar biasa  mabuk. Saat kamu hampir terjaga ternyata waktumu hampir usai, waktumu banyak yang terlupa. Lalu dalam celah hatimu yang paling dalam kamu berharap punya sebuah kekuatan yang dapat memutar balik waktu. Kamu salah besar. Waktu itu kejam, kasar, kalau kamu tidak berbaik-baik padanya maka kamu akan direngkuhnya kuat-kuat sampai tulang rusukmu gemeletak. Tubuhmu lunglai, lelah dibebani bertonton penyesalan. Untuk mengurangi rasa sakitmu lalu kamu reguk anggur itu lagi, mabuk lagi. Mau sampai kapan?

Embun pagi belum lagi menguap tapi wajahmu sudah sembab. Binar matahari di matamu belum lagi cerlang tapi awan kelabu keburu datang menghadang. Hidup itu pilihan, tapi bagimu semua pilihannya berujung tragis, seperti buah simalakama. Bila buahnya dimakan kamu mati, bila buahnya tak dimakan kamu pun akan menemui ajal.

            Pada titik ini kamu akan bertanya-tanya soal keadilan. Lupakanlah. Sudah terlalu terlambat untuk menyesali keadaan, nikmati saja. Apa kamu pikir bunga-bunga yang mekar akan bertanya juga soal keadilan saat batangnya kamu petik atau nektarnya yang manis dijarah habis gerombolan lebah?

            Sini pegang tanganku. Pegang erat-erat jangan sampai terlepas. Kita akan berjalan-jalan melewati ladang bakung dengan baju putih berumbai-rumbai. Lalu kita akan sampai di taman yang keindahannya tak akan pernah bisa kamu bayangkan. Hijau, semuanya hijau sejauh mata-memandang. Terang, segalanya benderang tak ada lagi awan yang menghadang. Di tengah taman ada kursi kosong yang selalu aku sediakan untuk kamu.

            Duduklah dengan tenang di sana.  Jangan hiraukan apapun tetap pandang lurus ke depan sampai nanti aku siapkan cermin besar di hadapanmu. Berkacalah lekat lekat jauh ke dalam matamu. Tak ada keindahan yang melebihi dirimu. Tidak ada taman yang lebih luas melebihi keluasan semesta hatimu. Menyesal itu baik, tapi lebih baik sisakan sedikit ruang dihatimu, untukku. Hati kamu itu diciptakan hanya sebesar dua kepalan tangan, jadi jangan kamu sesaki dia dengan rupa-rupa perasaan.

            Dalam hati ada satu ruang kecil tanpa nama. Ruang itu sempit sekali, di situlah tempat bersemayamnya cinta. Cinta duduk diam, berhangat-hangat dalam ruang sempit tak bernama itu. Jangan kamu coba isi ruang sempit itu dengan dua, tiga apalagi empat cinta. Cinta akan kekurangan nafas, sesak dan akhirnya mati lemas. Simpan ruang sempit itu selalu untukku sampai nanti pada saat yang tepat akan aku beberkan semua dan seluruh keindahan taman ini akan terhisap mampat dalam matamu.

            Kapan waktunya? Entahlah karena sekarang ini akulah cermin yang kau tatap. Kamu bercermin padaku dan aku bercermin lalu tersesat dalam pekatnya semesta dalam matamu.

            Kapan waktunya? Entahlah…. Entahlah…. Entahlah….

           Kita hanya sepasang mahkluk finite yang berenang-renang dalam samudera infinite. Jangan paksa aku menebak-nebak satu kepastian yang sudah ditakdirkan.
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s