Sebanyak apapun yang kamu mau,
ambillah. Sesedikit apapun yang kamu benci, lepaskanlah.
Jujurlah, jangan ingkar lagi. Akui saja kalau kita terlalu
mabuk pada masa muda. Menganggap diri kita tak terkalahkan, raja diraja. Kita terlalu
terlena menggenggam ilusi sampai-sampai kita lupa bahwa kita juga hanya
segenggam ilusi.
Kita ini hanya sepasang mahkluk finite yang berenang-renang dalam semesta infinite. Semesta ini abadi tapi kita fana. Kita tak bisa hidup
selamanya tapi selalu ada kesempatan untuk dikenang selamanya.
Jauh-jauh hari kata-kata ini mau aku katakan semua, tapi
tampaknya anggur yang kamu reguk terlalu banyak sampai kamu luar biasa mabuk. Saat kamu hampir terjaga ternyata
waktumu hampir usai, waktumu banyak yang terlupa. Lalu dalam celah hatimu yang
paling dalam kamu berharap punya sebuah kekuatan yang dapat memutar balik waktu.
Kamu salah besar. Waktu itu kejam, kasar, kalau kamu tidak berbaik-baik padanya
maka kamu akan direngkuhnya kuat-kuat sampai tulang rusukmu gemeletak. Tubuhmu lunglai,
lelah dibebani bertonton penyesalan. Untuk mengurangi rasa sakitmu lalu kamu
reguk anggur itu lagi, mabuk lagi. Mau sampai kapan?
Embun pagi belum
lagi menguap tapi wajahmu sudah sembab. Binar matahari di matamu belum lagi
cerlang tapi awan kelabu keburu datang menghadang. Hidup itu pilihan, tapi
bagimu semua pilihannya berujung tragis, seperti buah simalakama. Bila buahnya dimakan
kamu mati, bila buahnya tak dimakan kamu pun akan menemui ajal.
Pada titik ini kamu akan bertanya-tanya soal keadilan. Lupakanlah.
Sudah terlalu terlambat untuk menyesali keadaan, nikmati saja. Apa kamu pikir
bunga-bunga yang mekar akan bertanya juga soal keadilan saat batangnya kamu
petik atau nektarnya yang manis dijarah habis gerombolan lebah?
Sini pegang tanganku. Pegang erat-erat jangan sampai
terlepas. Kita akan berjalan-jalan melewati ladang bakung dengan baju putih
berumbai-rumbai. Lalu kita akan sampai di taman yang keindahannya tak akan
pernah bisa kamu bayangkan. Hijau, semuanya hijau sejauh mata-memandang. Terang,
segalanya benderang tak ada lagi awan yang menghadang. Di tengah taman ada
kursi kosong yang selalu aku sediakan untuk kamu.
Duduklah dengan tenang di sana. Jangan hiraukan apapun tetap pandang lurus ke
depan sampai nanti aku siapkan cermin besar di hadapanmu. Berkacalah lekat
lekat jauh ke dalam matamu. Tak ada keindahan yang melebihi dirimu. Tidak ada
taman yang lebih luas melebihi keluasan semesta hatimu. Menyesal itu baik, tapi
lebih baik sisakan sedikit ruang dihatimu, untukku. Hati kamu itu diciptakan
hanya sebesar dua kepalan tangan, jadi jangan kamu sesaki dia dengan rupa-rupa
perasaan.
Dalam hati ada satu ruang kecil tanpa nama. Ruang itu
sempit sekali, di situlah tempat bersemayamnya cinta. Cinta duduk diam,
berhangat-hangat dalam ruang sempit tak bernama itu. Jangan kamu coba isi ruang
sempit itu dengan dua, tiga apalagi empat cinta. Cinta akan kekurangan nafas,
sesak dan akhirnya mati lemas. Simpan ruang sempit itu selalu untukku sampai
nanti pada saat yang tepat akan aku beberkan semua dan seluruh keindahan taman
ini akan terhisap mampat dalam matamu.
Kapan waktunya? Entahlah karena sekarang ini akulah
cermin yang kau tatap. Kamu bercermin padaku dan aku bercermin lalu tersesat
dalam pekatnya semesta dalam matamu.
Kapan waktunya? Entahlah…. Entahlah…. Entahlah….
Kita hanya sepasang mahkluk finite yang berenang-renang dalam samudera infinite. Jangan paksa aku menebak-nebak satu kepastian yang sudah
ditakdirkan.
Komentar