Langsung ke konten utama

NAY



Nay tidak tahu apa-apa. Dia hanya seorang gadis kecil berumur delapan tahun. Cara pandangnya terhadap dunia masih polos. Nay juga tidak tahu kalau hubungan ayah dan ibunya setiap hari bertambah buruk. Nay tidak mengerti mengapa setiap malam ayah dan ibu selalu bertengkar hebat. Awalnya hanya adu mulut biasa, tapi lama-lama berubah jadi adu fisik. Tampar, jambak dan ujung-ujungnya segala perabot dalam rumah jadi korban. Piring pecah, lemari terguling dan selalu diakhiri dengan tangisan ibu yang meraung-raung dan sumpah serapah ayah yang membuat telinga Nay panas mendengarnya.

Nay tidak paham itu semua. Biasanya Nay tidak mempedulikan mereka. Nay sibuk dengan dunianya. Bermain boneka atau main rumah-rumahan, membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang nyaman yang baginya nampak jauh di awang-awang. Tapi lama-lama Nay merasa tidak nyaman, ada sebuah rasa sakit yang tiba-tiba saja hadir di dada sebelah kirinya. Semakin hebat pertengkaran ayah ibunya, semakin bertambah sakit pula dada kirinya. Awalnya Nay menangis untuk mengurangi rasa sakit itu, tapi sia-sia. Semakin hebat tangisan Nay, rasa sakit itu malah semakin menjadi-jadi.

Suatu malam ayah dan ibu bertengkar lagi. Nay tidak tahan, di berlari ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan berpuluh-puluh gayung air. Masih belum puas, dia reguk air itu. Rasa air tanah berbau aroma besi membuat kerongkingannya tercekat. Dia berhenti minum. Nay hanya berkumur-kumur. Meludahkannya, lalu berkumur lagi. Nay melakukannya terus menerus. Tiba-tiba rasa sakitnya hilang. Dia mendapat ketenangan.

Entah kekuatan dari mana, kumur-kumur ternyata adalah obat mujarab untuk meredakan rasa sakit di dada kirinya. Nay terus berulang-ulang melakukannya. Semakin banyak dia berkumur, semakin dalam ketenanagan yang dia rasakan. Ada perasaan hening, sendiri. Tak ada suara lain kecuali suara dalam kepalanya dan deburan ombak dalam mulutnya.

Kenyamanan seperti ini membuatnya terjebak dalam lingkaran ekstase tiada henti, Nay ketagihan. Tidak perlu kabur dari rumah untuk mencari kesenangan. Bodohlah orang-orang yang mengenggak esktasi hanya untuk membanjiri otak dengan serotonin. Tak butuh coklat untuk panen endorpin. Semuanya bisa tercipta hanya lewat mulut dan segelas air. Inilah surga yang Nay ciptakan di kamar mandi.

Nay jadi lupa diri. Wajahnya semakin pucat karena dingin. Bibirnya membiru. Tubuhnya bergetar hebat, menggigil. Tapi terus saja dengan tenaga yang tersisa dia mencoba menggayung air dalam bak, menggelontorkan pada mulutnya dan dia kumur sekuat-kuatnya. 

Braakkkk.. !! pintu kamar mandi didobrak paksa. Nay kaget, dia melihat ayah dan ibunya menghampirinya. Nay tidak mau dipisahkan dengan air dalam bak, dengan kumur-kumurnya, dengan surga semunya. Ayahnya berlari cepat, lalu menarik tubuhnya dan mengguncang-guncang. “Jangan…!! teriak Nay. “Nay tidak mau.” Dia terus berteriak, tapi suara tangisannya seolah-olah tidak sedikitpun dipedulikan ayahnya. Ayahnya terus mengguncang-guncang tubuh Nay.

Ibunya yang berdiri dekat pintu terus menangis sesegukan. Bibirnya bergetar. Nay kasihan melihat ibunya seperti itu. Nay bangun dan berlari memeluk ibunya. Ibunya masih saja sesegukan. Nay melihat ke arah ayahnya. Nay menemukan tubuhnya di sana, dalam pelukan ayahnya yang juga ikut menangis sambil mengiba-iba. Terlambat,  bukan tangisan dan iba yang dibutuhkan Nay sekarang. Nay butuh doa.

“Jangan menangis ayah, jangan menangis ibu. Doakan Nay. Selamat tinggal.”

Komentar

Ngerasa kayak dipanggil ...^^
Mereka suka manggil aku 'Nay' ... Hihi

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...