Entah sudah berapa kali
kita berdua seperti ini? Berdiri telanjang kaki dalam keremangan malam. Di
belakang kita hutan sementara dihadapan kita suara ombak yang berdeburan. Kita
terjebak dalam empat unsur pembangun semesta. Tanah lembut di telapak kaki, udara
yang lembut lumat menyelimuti tubuh, air laut yang kadang-kadang nakal
berlari-lari ke tepi sambil mencuri-curi jilat pada ujung jari dan api unggun
yang liar menjuntai-juntai naik ke langit. Kita berdua sempurna di sini. Aku,
kamu dan semesta kosong yang menyelubungi.
Dalam keremangan api
unggun dan tatapan bintang ini aku harus selalu meyakinkan diriku sendiri kalau
kamu ada di sisiku, makanya selalu aku gengggam erat-erat tanganmu. Masih belum
yakin, sesekali aku peluk wajahmu. Jujur aku takut semua yang aku lihat hanya
sebuah ilusi walaupun menggenggam secara utuh pun tidak bisa meyakinkanku
secara pasti kalau kamu itu nyata.
Ini momen kejernihan
yang aku tunggu-tunggu, dalam kompleksitas dan rumitnya semesta yang
berpilin-pilin ini kita menemukan inti. Saripati dari diri kita dan semesta
yang meriah dan gemuruh ini.
Momen ini seperti
membelah batok kepala lalu melepas otak dan semua saraf yang terhubung ke
tulang belakang dan membenamkannya ke dalam cairan detergen. Pemikiran kita
seperti terlahir kembali. Segala yang rumit menjadi begitu sederhana. Lukisan Picasso
yang sedemikin rumit hanya kita pahami sebagai pertautan garis, tidak lebih. Gesekan
biola Paganini lebih tampak seperti akal-akalan turun naiknya frekwensi, bukan
lagi mahakarya megah apa lagi sebuah magnum opus. Gibran dan Tolstoy itu bukan
penyair atau penulis, mereka cuma budak. Buruh yang kerjaanya menyusun
huruf-huruf agar memunculkan citra dalam kepala kita.
Dalam momen ini tidak ada
yang hebat lagi di dunia ini, tidak Picasso, tidak Gibran, tidak Tolstoy apa
lagi Salvador Dali. Mereka semua runtuh, lumat dan luluh jadi kepingan-kepingan,
terus digerus waktu dan hablur jadi bedak. Lalu Tuhan mengabadikan mereka sebagai
pengingat. Bedak itu diterbangkan angin ke atas langit. Jadilah mereka abadi,
menggantung, berkelap-kelip saat malam. Mereka jadi Orion, mereka jadi
Magellan, mereka jadi Aurora.
Kita tatap mereka
setiap malam untuk mengingatkan betapa sederhananya kehidupan. Kitalah yang
menjadikan semuanya rumit. Sekeping sel yang menjelma jadi darah daging, lalu
tulang dan mulai mendenyutkan kehidupan. Lalu terciptalah triliunan sel yang
awut-awutan, tumpang tindih dan saling terkoneksi membentuk otak. Kita mau
rumit. Kita terbiasa rumit dan terjebak dalam kerumitan itu sendiri. Makanya aku
butuh kamu. Orang yang paling paham dengan diammu. Aku butuh kamu, si kutub
netral yang menstabilkanku. Aku butuh kamu si detergen tanpa merek yang mencuci
habis otakku dan menjadikan segalanya jadi begitu sederhana.
Hablur. Hablurlah kita
yang berpeluk erat ilusi ini. Habis. Habislah kita yang yang dikaruniai sekaligus
dikutuk karena memahami isi.
Komentar
Si "kamu" kalau baca tulisan ini pasti kelepek2. Hm...ini sisi melankoli seorang Achmad.
Justru si 'kamu' ngga boleh tau saya nulis ini, ahahahahaha...