Langsung ke konten utama

TELUR SETENGAH MATANG DAN MIE INSTANT



Kalau aku mendengar mereka berbicara perihal indah tentang cinta, maka aku akan menutup telinga. Jika mereka berkeluh kesah dan menyesap empedu asmara, maka aku akan duduk di antara mereka dan menjadi pendengar setia. Tidak ada cinta yang lebih murni dan indah, selain cinta yang dikafani derita dan pedih cinta itu sendiri.

“Maafkan aku Jazz, kesalahan terbesarku adalah mengenalkan kamu dan dia. Mestinya kamu tidak usah aku kenalkan, jadi tak perlu kau tanggung derita ini sendirian.” Mata Jazz berkaca-kaca mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Marwa. Jika selama ini banyak orang yang berkasak-kusuk, mencibir dan menyebarkan gosip buruk tentang Nabil, Jazz akan pura-pura tuli, tidak mau mendengarkan. Tapi sekarang kata-kata yang tidak pernah dia harapkan malah keluar langsung dari bibir Marwa yang jelas-jelas teman dekat Nabil.

“Apa maksudmu, Marwa?” tanya Jazz dengan bibir gemetar. “Nabil itu tidak sebaik yang kamu pikir. Coba kamu ingat-ingat, kapan terakhir kali kalian bertemu? Atau setidaknya kapan terakhir kali dia menelepon kamu?” Jazz mencoba menngingat-ingat kapan terakhir kali Nabil meneleponnya, itu hampir tiga minggu yang lalu.

“Sekitar tiga minggu yang lalu.” Jawab Jazz pelan.

“Nah, apa kubilang. Tidak mungkin seseorang yang menyayangimu menelantarkan kamu tanpa kabar sampai tiga minggu kan?”

Menelantarkan. Mendengar kata-kata itu hati Jazz terasa di iris sembilu. Perih sekali.

“Mungkin dia sedang sibuk.” bela Jazz.

Marwa mulai tidak tahan.

“Kamu buta Jazz. Aku tahu kamu sangat mencintai Nabil tapi jangan jadi buta dan tuli seperti ini.” Marwa bangun lalu mengambil tasnya dan segera berjalan ke luar sambil membanting pintu kamar Jazz.

Jazz masih duduk diam, otaknya tidak bisa mencerna dengan cepat kejadian yang baru saja terjadi. Telur setengah matang untuk sarapan paginya sekarang sudah dingin, sudah tidak enak untuk dimakan. Selama ini Jazz begitu tahan dengan hatinya karena ada Marwa yang selalu menguatkan. Marwa dan Nabil adalah pondasi perasaannya. Telur setengah matang dan mie instantnya. Penguat batin dari amukan badai yang diciptakan orang-orang di sekelilingnya. Jazz sadar banyak orang yang tidak senang dan berusaha menghalang-halangi hubugannya dengan Nabil. Namun, Jazz selalu bertahan dengan harapan.

Tiba-tiba rasa kangennya membuncah. Ditekannya dua belas digit nomor harapan. Suara Nabil muncul. “Saya sedang di luar kota, silakan tinggalkan pesan….” Kata-kata yang sama yang sudah puluhan kali Jazz dengar setiap menekan dua belas digit nomor harapan. Tapi jazz menikmatinya, hanya cukup mendengar suara Nabil, tanpa bercakap-cakap. Setelah itu akan sayup-sayup terdengar lagu Beethoven dimainkan. Jazz hapal benar lagu itu dan biasanya dia akan mendengarnya sampai tuntas, tak peduli pulsanya terkuras. Namun, kali ini lagu itu terdengar begitu kosong, hening, tanpa nyawa. Jazz menekan tombol reject.

Dia paksakan memakan telur setengah matang yang dingin, walau rasa amis itu membuatnya mual. Jazz begitu menyukai telur setengah matang untuk sarapan dan mie instant untuk menemaninya begadang malam-malam. Telur setengah matang itu menyehatkan, mie instant panas yang disantap malam-malam itu menghangatkan. Tapi Jazz tidak pernah suka telur setengah matang yang dicampurkan ke dalam mie instant, itu bisa membuatnya mual, muntah. Gabungan telur dan mie instant itu tragis. Jazz benci luar dalam.

Hampir satu minggu Jazz tidak bertemu Marwa. Mungkin dia juga seperti Nabil, tiba-tiba jadi sibuk dan punya banyak urusan. Jazz melalui hari-hari sepinya dengan menceburkan diri ke dalam tulisan. Hanya dengan menulis dia bisa melepaskan kangennya untuk Nabil, tulisan bisa jadi pengganti Marwa, tempatnya berkeluh kesah selama ini. 

Berjilid-jilid tulisan sudah Jazz hasilkan. Jika ingin mengetahui seberapa besar cinta Jazz untuk Nabil atau seberapa banyak yang ingin diceritakan  Jazz pada Marwa, maka bacalah semua tulisan Jazz. Bertumpuk-tumpuk, ratusan lembar. Tak ada obat lain yang sebegitu kuat untuk menemani sepi Jazz selain tulisan.

Tiba-tiba ada kabar kurang mengenakan yang sampai ke telinga Jazz. Ada seorang teman yang bilang jika dia pernah melihat Nabil dan Marwa sedang jalan-jalan bersama di sebuah pusat keramaian. Jazz tidak percaya kalau Nabil dan marwa berselingkuh, dia malah merasa begitu bahagia, Nabil sudah pulang. Logikanya berkata kalau Nabil dan Marwa sedang mempersiapkan kejutan paling luar biasa untuknya. Satu hari, dua hari, hampir satu minggu Jazz menunggu, tapi kejutan itu tak pernah kunjung datang. Jazz bertahan.

Suatu malam karena kehabisan stock mie instant, Jazz berjalan-jalan ke taman mencari penjual makanan sambil menenangkan pikiran. Dia terkejut, kaget. Dia melihat Marwa dan Nabil di sana, sedang asyik ngobrol, sesekali tangan Nabil yang kekar merapikan poni Marwa yang jatuh ke kening, sesekali juga mereka mencuri-curi peluk, mencari kehangatan dalam dingin malam. Jazz merasa ada yang aneh, tidak mungkin Marwa dan Nabil bisa seakrab ini. Rasa lapar diperutnya hilang berganti dengan rasa mual yang sangat.

Telur setengah matang dan mie instant itu kini sudah dicampurkan. Campuran yang tragis yang membuat Jazz mual. Tapi Jazz dipaksa menelan itu semua.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U