Kalau aku mendengar mereka berbicara perihal indah
tentang cinta, maka aku akan menutup telinga. Jika mereka berkeluh kesah dan
menyesap empedu asmara, maka aku akan duduk di antara mereka dan menjadi
pendengar setia. Tidak ada cinta yang lebih murni dan indah, selain cinta yang
dikafani derita dan pedih cinta itu sendiri.
“Maafkan aku
Jazz, kesalahan terbesarku adalah mengenalkan kamu dan dia. Mestinya kamu tidak
usah aku kenalkan, jadi tak perlu kau tanggung derita ini sendirian.” Mata Jazz
berkaca-kaca mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Marwa. Jika selama ini
banyak orang yang berkasak-kusuk, mencibir dan menyebarkan gosip buruk tentang
Nabil, Jazz akan pura-pura tuli, tidak mau mendengarkan. Tapi sekarang
kata-kata yang tidak pernah dia harapkan malah keluar langsung dari bibir Marwa
yang jelas-jelas teman dekat Nabil.
“Apa maksudmu,
Marwa?” tanya Jazz dengan bibir gemetar. “Nabil itu tidak sebaik yang kamu
pikir. Coba kamu ingat-ingat, kapan terakhir kali kalian bertemu? Atau setidaknya
kapan terakhir kali dia menelepon kamu?” Jazz mencoba menngingat-ingat kapan
terakhir kali Nabil meneleponnya, itu hampir tiga minggu yang lalu.
“Sekitar tiga
minggu yang lalu.” Jawab Jazz pelan.
“Nah, apa
kubilang. Tidak mungkin seseorang yang menyayangimu menelantarkan kamu tanpa
kabar sampai tiga minggu kan?”
Menelantarkan. Mendengar
kata-kata itu hati Jazz terasa di iris sembilu. Perih sekali.
“Mungkin dia
sedang sibuk.” bela Jazz.
Marwa mulai
tidak tahan.
“Kamu buta Jazz.
Aku tahu kamu sangat mencintai Nabil tapi jangan jadi buta dan tuli seperti
ini.” Marwa bangun lalu mengambil tasnya dan segera berjalan ke luar sambil membanting
pintu kamar Jazz.
Jazz masih duduk
diam, otaknya tidak bisa mencerna dengan cepat kejadian yang baru saja terjadi.
Telur setengah matang untuk sarapan paginya sekarang sudah dingin, sudah tidak
enak untuk dimakan. Selama ini Jazz begitu tahan dengan hatinya karena ada
Marwa yang selalu menguatkan. Marwa dan Nabil adalah pondasi perasaannya. Telur
setengah matang dan mie instantnya. Penguat batin dari amukan badai yang
diciptakan orang-orang di sekelilingnya. Jazz sadar banyak orang yang tidak
senang dan berusaha menghalang-halangi hubugannya dengan Nabil. Namun, Jazz
selalu bertahan dengan harapan.
Tiba-tiba rasa
kangennya membuncah. Ditekannya dua belas digit nomor harapan. Suara Nabil
muncul. “Saya sedang di luar kota, silakan tinggalkan pesan….” Kata-kata yang
sama yang sudah puluhan kali Jazz dengar setiap menekan dua belas digit nomor
harapan. Tapi jazz menikmatinya, hanya cukup mendengar suara Nabil, tanpa
bercakap-cakap. Setelah itu akan sayup-sayup terdengar lagu Beethoven
dimainkan. Jazz hapal benar lagu itu dan biasanya dia akan mendengarnya sampai
tuntas, tak peduli pulsanya terkuras. Namun, kali ini lagu itu terdengar begitu
kosong, hening, tanpa nyawa. Jazz menekan tombol reject.
Dia paksakan
memakan telur setengah matang yang dingin, walau rasa amis itu membuatnya mual.
Jazz begitu menyukai telur setengah matang untuk sarapan dan mie instant untuk
menemaninya begadang malam-malam. Telur setengah matang itu menyehatkan, mie
instant panas yang disantap malam-malam itu menghangatkan. Tapi Jazz tidak
pernah suka telur setengah matang yang dicampurkan ke dalam mie instant, itu
bisa membuatnya mual, muntah. Gabungan telur dan mie instant itu tragis. Jazz
benci luar dalam.
Hampir satu
minggu Jazz tidak bertemu Marwa. Mungkin dia juga seperti Nabil, tiba-tiba jadi
sibuk dan punya banyak urusan. Jazz melalui hari-hari sepinya dengan
menceburkan diri ke dalam tulisan. Hanya dengan menulis dia bisa melepaskan
kangennya untuk Nabil, tulisan bisa jadi pengganti Marwa, tempatnya berkeluh
kesah selama ini.
Berjilid-jilid
tulisan sudah Jazz hasilkan. Jika ingin mengetahui seberapa besar cinta Jazz
untuk Nabil atau seberapa banyak yang ingin diceritakan Jazz pada Marwa, maka bacalah semua tulisan
Jazz. Bertumpuk-tumpuk, ratusan lembar. Tak ada obat lain yang sebegitu kuat
untuk menemani sepi Jazz selain tulisan.
Tiba-tiba ada
kabar kurang mengenakan yang sampai ke telinga Jazz. Ada seorang teman yang
bilang jika dia pernah melihat Nabil dan Marwa sedang jalan-jalan bersama di sebuah
pusat keramaian. Jazz tidak percaya kalau Nabil dan marwa berselingkuh, dia
malah merasa begitu bahagia, Nabil sudah pulang. Logikanya berkata kalau Nabil
dan Marwa sedang mempersiapkan kejutan paling luar biasa untuknya. Satu hari,
dua hari, hampir satu minggu Jazz menunggu, tapi kejutan itu tak pernah kunjung
datang. Jazz bertahan.
Suatu malam
karena kehabisan stock mie instant,
Jazz berjalan-jalan ke taman mencari penjual makanan sambil menenangkan
pikiran. Dia terkejut, kaget. Dia melihat Marwa dan Nabil di sana, sedang asyik
ngobrol, sesekali tangan Nabil yang kekar merapikan poni Marwa yang jatuh ke
kening, sesekali juga mereka mencuri-curi peluk, mencari kehangatan dalam
dingin malam. Jazz merasa ada yang aneh, tidak mungkin Marwa dan Nabil bisa
seakrab ini. Rasa lapar diperutnya hilang berganti dengan rasa mual yang
sangat.
Telur setengah
matang dan mie instant itu kini sudah dicampurkan. Campuran yang tragis yang
membuat Jazz mual. Tapi Jazz dipaksa menelan itu semua.
Komentar