Langsung ke konten utama

AIR PUTIH UNTUK CALON PENULIS

Sebagai orang yang suka menulis (bukan penulis), kadang saya dihadapkan pada situasi bertemu dengan orang-orang yang selalu ingin tahu segala hal dan suka bertanya macam-macam. Entah  itu teman, mentor, murid atau bahkan orang yang baru saja saya kenal di dunia nyata atau dunia maya. Pertanyaan yang paling sering mereka tanyakan adalah “kenapa mau jadi penulis?”

Yang lebih mengagetkan lagi, orang yang paling sering menanyakan hal itu adalah para mentor. Kadang saya mejadi bertanya-tanya, apakah sampai sekarang justru para mentor saya adalah orang yang paling tidak tahu alasan mereka menjadi penulis. Atau mungkin mereka tahu tapi mereka ingin mengetahui lebih banyak tentang alasan-alasan seseorang untuk menjadi penulis.

Sampai sekarang jujur saja saya tidak pernah tahu apa alasan yang membuat saya menggemari dunia tulis menulis. Jika seseorang bertanya kepada saya tentang alasan saya, biasanya jawaban saya diplomatis, “Karena saya suka”.  Dan seperti pada umumnya, mereka tidak akan puas dengan jawaban saya dan mendesak lebih jauh. Pada titik ini saya hanya akan diam. Tidak mau menerangkan sesuatu yang saya sendiri tidak tahu pasti.

Lebih kurang ajar sekaligus kurang kerjaan, pernah suatu malam, sekitar pukul sebelas, ada seorang teman yang mengetuk pintu rumah saya. Saya pikir ini darurat. Setelah berbasa-basi sebentar dia mulai mengutarakan maksud kedatangannya. Dia bilang dia juga ingin belajar jadi penulis, tapi ada satu yang mengganjal.

“Kalau boleh tahu apa?” tanya saya. Lalu dia bercerita panjang lebar kalau dia sekarang mulai ikut kelas kepenulisan dan mendapatkan tugas dari mentornya untuk menuliskan alasan ingin menjadi seorang penulis. Diketik di kertas HVS, 5 lembar.

“Mau pinjam laptop?” tanya saya mencoba menebak kebutuhannya. Dia menggeleng.

“Lalu?” tanya saya lagi. “Saya bingung mau menulis apa?” jawabnya.

“Tuliskan saja, alasan kamu ingin menjadi seorang penulis.” Saya menangkap ada kegamangan pada wajahnya.

“Kenapa?” tanya saya penasaran.

“Itulah masalahnya, sampai sekarang saya tidak tahu alasan apa yang membuat saya ingin jadi seorang penulis.”

Persis. Seperti ini juga yang selalu saya rasakan. Kenapa sih para mentor menulis selalu menanyakan hal yang sama pada orang yang mau belajar menulis?

“Baiklah, akan saya beri tahu alasan saya kenapa mau belajar menjadi seorang penulis.”

Wajahnya sumringah. Merasa ada angin segar untuk tugas pertmanya di kelas kepenulisan.

Saya bangun dan membawa empat gelas besar penuh berisi air putih.

“Silakan diminum.” kata saya.

“Saya tidak haus.” Jawabnya.

“Minumlah!” kali ini suara saya berisi penekanan .

Dia mulai minum air dalam gelas pertama sampai habis setengah, lalu meletakkannya kembali ke atas nampan.

“Habiskan!” perintah saya.

Dia menatap wajah saya. Saya tatap balik lagi sambil mengangguk pasti. Entah karena merasa tida enak atau karena merasa butuh jawaban saya, dia mengambil gelas tadi dan meminum isinya sampai habis.

“Bagaimana rasanya?” tanya saya.

“Begah,” jawabnya pendek. “Lalu bagaimana jawabannya? Apa alasanmu jadi penulis?” dia meneruskan kata-kataya.

Bukannya menjawab pertanyaan, saya malah menyorongkn gelas kedua ke hadapannya.

“Minumlah lagi, habiskan. Jawaban saya akan membuat kamu bingung. Kamu butuh cairan yang banyak agar kamu kuat dan tidak pingsan.”

Tampak ada keraguan di wajahnya tapi gelas itu berpindah tangan juga dan dia sekali lagi menghabiskan isi gelasnya sampai tandas.

“Lebih segar?” tanya saya. Dia mengangguk pelan.

Saya mengambil gelas ketiga dan menaruhnya di hadapannya. Dia sekali lagi melihat wajah saya. Pada titik ini saya yakin dia pasti berpikir kalau saya sedang mengerjai dia. Untuk meyakinkannya saya mengangkat gelas keempat dan meminum isinya sampai habis.

“Ayolah, kita satu gelas terakhir.”

Tanpa membuang waktu dia langsung mengangkat gelas dan menghabiskan isinya.

“Sekarang bagaimana perasaanmu?” tanya saya santai.

“Begah, mual, kepala saya mulai pusing karena minum terlalu banyak air.”

“Nah, itulah jawaban saya.”

Dia bengong mendapati jawaban yang tidak sempat diantiipasinya.

“Sampai perut kamu mual, sampai kepala kamu pusing, sampai gila mungkin kamu tidak akan bias meemukan alasan kamu menjadi seorang penulis. Kalau kekayaan, ketenaran dan kemahsyuran yang menjadi alasan, silakan. Tapi saya tekankan, semua itu bukan alasan. Itu semua dampak dari apa yang menjadi alasan kamu.”

Dia manggut-manggut.

“Lalu apa yang akan saya tuliskan di tugas saya?”

“Tulis saja, judul tugasnya, nama kamu dan sisanya kertas kosong sebanyak 5 halaman. Kamu sendiri tidak tahu kan alasan kenapa kamu jadi seorang penulis?”

Dia mengangguk.

“ Kalau nanti saya bertemu mentor saya bagaimana?”

“Bawa galon, beri mereka minum air putih yang banyak. Tampaknya mereka butuh itu.”

Saya berdiri.

“Mau tambah minum lagi?”

Dia panic, menggeleng-gelengkan kepala dan segera pamit pulang.

Komentar

Pu dan Ga mengatakan…
ahahaha....ya ya ya

Ya, karena saya suka. Itu saja!
aireni mengatakan…
hihihi...kasian temannya, tapi ngakak juga baca ini =D
Unknown mengatakan…
lumayan bikin ketawa
hahahaha
Bang Syaiha mengatakan…
Maafkan saya yang pernah nanya2... Hahahaha
Bang Syaiha mengatakan…
Maafkan saya yang pernah nanya2... Hahahaha
Uncle Ik mengatakan…
Ahahahaha, saya juga sering nanya kaya gitu ke penulis lain Bang, tapi biasanya saya minta kopi bukan air putih
Uncle Ik mengatakan…
Ahahahaha, saya juga sering nanya kaya gitu ke penulis lain Bang, tapi biasanya saya minta kopi bukan air putih

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U