Langsung ke konten utama

KARTUNYA KURANG SAKTI



Bangun pagi. Padahal semalam tidur pagi. Masih ngantuk. Tidur lagi.
Bangun pagi. Padahal semalam tidurnya pagi. Masih ngantuk. Coba seduh kopi.
Bangun pagi. Padahal semalam tidurnya pagi. Tidak ngantuk lagi. Kan minum kopi.
Bangun pagi. Padahal semalam tidurnya pagi. Minum kopi. Enaknya sih sambil makan surabi.
Bangun pagi. Minum kopi. Makan surabi. Tapi kata orang surabi nggak bergengsi.
Bangun pagi. Minum kopi. Surabi diganti roti. Biar gengsi.
Bangun pagi. Minum kopi. Makan roti. Biar gengsi.
Bangun pagi. Minum kopi. Makan roti. Perut mulas.
Bangun pagi. Minum kopi sama roti. Gara-gara gengsi.
Ini yang bikin malas. Gara-gara gengsi. Perut jadi mulas.
Bangun pagi. Tidak minum kopi. Tidak makan roti. Perut tetap mulas.
Bangun pagi. Perut mulas. Pergi ke kamar mandi. Tapi tidak mandi.
Tidak terasa hari mulai siang. Perut mulas belum hilang.
Tanya teman. Coba cek ke puskesmas.
Periksa dompet. Tak ada uang. Ada kartu sakti. Aman.
Pergi ke puskesmas. Antri. Satu jam antri. Dua jam antri. Tiga jam antri.
Perut masih mulas. Masih antri. Masih antri. Masih antri.
Masih antri. Tadi orang yang antri di belakang saya mati. Waktu antri.
Mungkin kelamaan antri. Makanya dia mati waktu antri. Dia di belakang saya waktu saya antri.
Nama dipanggil. Saya masuk ruangan.
Dokter tanya masalah itu dan ini. Cek badan saya di bagian itu dan di bagian ini.
Saya dikasih resep. Disuruh ambil obat. Antri.
Satu jam antri. Dua jam antri. Tiga jam antri.
Masih antri. Masih antri. Masih antri. Masih antri.
Masih antri. Tadi orang yang antri di belakang saya mati. Waktu antri.
Mungkin kelamaan antri. Makanya dia mati waktu antri. Dia di belakang saya waktu saya antri.

Obat diambil. Isinya cuma vitamin.
Pulang ke rumah minum obat. Ngantuk. Tidur.
Bangun pagi. Tidak ngantuk karena tidak tidur pagi. Tidak bikin kopi.
Tidak makan surabi. Tidak makan roti. Tidak belaga gengsi.
Tapi perut masih mulas. Ke kamar mandi. Tapi tidak mandi.
Keluar kamar mandi. Masih tetap mulas. Ke kamar mandi lagi.
 Tidak terasa hari mulai siang. Perut mulas belum hilang.
Tanya teman. Coba cek ke puskesmas.
Periksa dompet. Tak ada uang. Ada kartu sakti. Aman.
Pergi ke puskesmas. Antri. Satu jam antri. Dua jam antri. Tiga jam antri.
Perut masih mulas. Masih antri. Masih antri. Masih antri.
Masih antri. Tadi orang yang antri di belakang saya mati. Waktu antri.
Mungkin kelamaan antri. Makanya dia mati waktu antri. Dia di belakang saya waktu saya antri.
Sudah tiga orang mati dua hari ini. Waktu antri.
Nama dipanggil. Saya masuk ruangan.
Dokter tanya masalah itu dan ini. Cek badan saya di bagian itu dan di bagian ini.
Saya dikasih resep. Disuruh ambil obat. Antri.
Satu jam antri. Dua jam antri. Tiga jam antri.
Masih antri. Masih antri. Masih antri. Masih antri.
Masih antri. Tadi orang yang antri di belakang saya mati. Waktu antri.
Mungkin kelamaan antri. Makanya dia mati waktu antri. Dia di belakang saya waktu saya antri.
Sudah empat orang mati dua hari ini. Waktu antri.

Bangun pagi. Minum kopi. Makan surabi. Makan roti. Iya dong, kan gengsi.
Perut mulas lagi. Pergi ke kamar mandi. Tapi tidak mandi.
Tidak terasa hari mulai siang. Perut mulas belum hilang.
Tanya teman. Coba cek ke puskesmas.
Periksa dompet. Tak ada uang. Ada kartu sakti. Aman.
Pergi ke puskesmas. Antri. Satu jam antri. Dua jam antri. Tiga jam antri.
Perut masih mulas. Masih antri. Masih antri. Masih antri.
Masih antri. Tadi orang yang antri di belakang saya mati. Waktu antri.
Mungkin kelamaan antri. Makanya dia mati waktu antri. Dia di belakang saya waktu saya antri.
Lima orang mati dalam tiga hari ini. Waktu antri.
Nama dipanggil. Saya masuk ruangan.
Dokter tanya masalah itu dan ini. Cek badan saya di bagian itu dan di bagian ini.
Kata dokter saya kena kanker.
Saya dirujuk ke rumah sakit besar.
Saya lihat dompet. Tak ada uang. Ada kartu sakti. Aman
Lapor sana. Lapor sini.
Minta surat itu. Minta surat ini.
Mohon sana. Mohon sini.
Surat lengkap. Antri.
Satu jam antri. Dua jam antri. Tiga jam antri.
Waktu antri orang di depan dan di belakang saya mati.
Mungkin terlalu lama antri. Makanya mereka mati waktu antri. Mereka mati di depan dan di belakang saya waktu antri.
Di rumah sakit besar. Dokter cek sana cek sini. Tanya itu tanya ini. Diagnosa begitu diagnosa begini.
Setelah itu saya disuruh ambil obat. Antri
Satu jam antri. Dua jam antri. Tiga jam antri.
Waktu saya antri. Orang di depan dan di belakang saya mati. Mungkin terlalu lama antri. Mereka mati di depan dan di  belakang saya. Waktu antri.
Kok bisa mati? Kan antri.
Setiap hari begini. Ini sama saja depopulasi.
Makanya antri.
Tak terasa hari siang. Rasa mulas mulai hilang. Saya pulang.
Walau di dompet tak ada uang. Kan ada kartu sakti. Aman.
Di depan pintu rumah banyak orang. Ada yang mati.
Saya cek nisan. Saya yang mati.
Kapan? Tadi pagi.
Kok bisa? Kan saya mati waktu antri.
Setiap hari begini. Ini sama saja depopulasi.
Makanya antri.

Bangun pagi. Padahal semalam tidurnya pagi. Masih ngantuk. Tidak niat tidur lagi.
Kan sudah mati. Masak tidur lagi.
Bangun pagi. Padahal semalam tidurnya pagi. Tidak minum kopi.
Kan sudah mati. Masak minum kopi.
Bangun pagi. Padahal semalam tidurnya pagi. Tidak makan surabi.
Kan sudah mati. Masak makan surabi.
Bangun pagi. Padahal semalam tidurnya pagi. Tidak makan roti.
Kan sudah mati. Masak makan roti.
Bangun pagi. Padahal semalam tidurnya pagi. Tidak ke kamar mandi.
Kan sudah mati. Masak mandi sendiri.
Bangun tidur. Lihat dompet. Tidak ada uang. Ada kartu sakti. Tidak aman.
Kartu sakti tidak bisa buat biaya penguburan

NEW ODOP#5
Jakarta, 13 Agustus 2015

Komentar

Ainayya Ayska mengatakan…
Keren betul.
Ainayya senyum2 baca ni tulisan. Lucu keren gitu dah

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...