Langsung ke konten utama

UNDANG-UNDANG REPUBLIK FIKSI TAHUN 2015



Ini serius. Ini ironi. Ini tragedi. Bukan parodi. Bukan komedi. Bacanya jangan sambil CENGENGESAN!!!

Pasal 34 Ayat 1
Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
 
            “Tidur saya belum lengkap pagi ini. Tapi perut saya yang lapar tidak bisa diajak kompromi. Lekas-lekas saya cari tempat sampah, berharap bisa mendapatkan sekedar sekerat roti untuk mengganjal perut pagi ini. Setelah mendapatkan sedikit makanan dari tempat sampah bekas acara resepsi perkawinan semalam, buru-buru saya melangkah ke arah perempatan, tidak lupa ‘kecrek ajaib’ saya sampirkan di pinggang. Belum juga saya dapat uang kamtib datang, saya dan beberapa teman saya digelandang. Saya yang mencoba melawan dikemplang, ditendang. Saya yang baru berumur enam tahun dipaksa menyerah dan dibawa ke penampungan. Di sana saya diceramahi, dimaki-maki, disuruh-suruh, lalu setelah beberapa hari saya dilepaskan. Percuma, semuanya tidak bisa bikin saya kenyang. Saya kembali ke perempatan lagi, tidak lupa ‘kecrek ajaib’ saya sampirkan di pinggang lagi. Belum juga saya dapat uang kamtib datang lagi, saya dan beberapa teman saya digelandang lagi. Saya yang mencoba melawan dikemplang lagi, ditendang lagi. Saya yang baru berumur enam tahun dipaksa menyerah lagi dan dibawa ke penampungan lagi. Di sana kami diceramahi lagi, dimaki-maki lagi, disuruh-suruh lagi, lalu setelah beberapa hari saya dilepaskan lagi.”

            “Tidur dia belum lengkap pagi itu. Tapi perut dia yang lapar tidak bisa diajak kompromi. Lekas-lekas dia cari tempat sampah, berharap bisa mendapatkan sekedar sekerat roti untuk mengganjal perut pagi itu. Setelah mendapatkan sedikit makanan dari tempat sampah bekas acara resepsi perkawinan semalam, buru-buru dia melangkah ke arah perempatan, tidak lupa ‘kecrek ajaib’ dia sampirkan di pinggang. Belum juga dia dapat uang kamtib datang, dia dan beberapa temannya digelandang. Dia yang mencoba melawan dikemplang, ditendang. Dia yang baru berumur enam tahun dipaksa menyerah dan dibawa ke penampungan. Di sana dia diceramahi, dimaki-maki, disuruh-suruh, lalu setelah beberapa hari dia dilepaskan. Percuma, semuanya tidak bisa bikin dia kenyang. Dia kembali ke perempatan lagi, tidak lupa ‘kecrek ajaib’ dia sampirkan di pinggang lagi. Belum juga dia dapat uang kamtib datang lagi, dia dan beberapa temannya digelandang lagi. Dia yang mencoba melawan dikemplang lagi, ditendang lagi. Dia yang baru berumur enam tahun dipaksa menyerah lagi dan dibawa ke penampungan lagi. Di sana dia diceramahi lagi, dimaki-maki lagi, disuruh-suruh lagi, lalu setelah beberapa hari dia dilepaskan lagi.”

Ini serius. Ini ironi. Ini tragedi. Bukan parodi. Bukan komedi. Bacanya jangan sambil CENGENGESAN!!!

Pasal 27 Ayat 2
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

            “Pagi. Umur saya dua puluh dua tahun, baru lulus dari sebuah universitas swasta. Dengan kemeja tangan panjang putih yang disetrika rapi saya percaya diri masuk ke sebuah kantor. Beberapa menit kemudian saya sudah keluar lagi. Amplop coklat besar saya genggam erat-erat. Lamaran kerja saya ditolak. Siang. Umur saya dua puluh dua tahun, baru lulus dari sebuah universitas swasta. Dengan kemeja tangan panjang putih yang yang mulai kusut saya kurang  percaya diri masuk ke sebuah kantor. Beberapa menit kemudian saya sudah keluar lagi. Amplop coklat besar saya genggam erat-erat. Lamaran kerja saya ditolak. Sore. Umur saya dua puluh dua tahun, baru lulus dari sebuah universitas swasta. Dengan kemeja tangan panjang putih yang sudah acak-acakan saya percaya diri masuk ke sebuah pasar. Beberapa menit kemudian saya sudah keluar lagi. Sebuah tas tangan seorang perempuan saya genggam erat-erat, saya baru saja mendapatkan pekerjaan pertama saya. Saya seorang jambret.”

            “Pagi. Umur dia dua puluh dua tahun, baru lulus dari sebuah universitas swasta. Dengan kemeja tangan panjang putih yang disetrika rapi dia percaya diri masuk ke sebuah kantor. Beberapa menit kemudian dia sudah keluar lagi. Amplop coklat besar dia genggam erat-erat. Lamaran kerjanya ditolak. Siang. Umur dia dua puluh dua tahun, baru lulus dari sebuah universitas swasta. Dengan kemeja tangan panjang putih yang yang mulai kusut dia kurang  percaya diri masuk ke sebuah kantor. Beberapa menit kemudian dia sudah keluar lagi. Amplop coklat besar dia genggam erat-erat. Lamaran kerjanya ditolak. Sore. Umur dia dua puluh dua tahun, baru lulus dari sebuah universitas swasta. Dengan kemeja tangan panjang putih yang sudah acak-acakan dia percaya diri masuk ke sebuah pasar. Beberapa menit kemudian dia sudah keluar lagi. Sebuah tas tangan seorang perempuan dia genggam erat-erat, dia baru saja mendapatkan pekerjaan pertamanya. Dia seorang jambret.”

Ini serius. Ini ironi. Ini tragedi. Bukan parodi. Bukan komedi. Bacanya jangan sambil CENGENGESAN!!!

Pasal 28D Ayat 1
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

“Saya seorang nenek, umur saya tujuh puluh tahun, seusia republik ini. Suatu sore saya lewat di depan kebun anak saya. Perut saya lapar, lalu saya melihat sebatang pohon singkong. Saya cabut dan saya ambil lalu saya bawa pulang sekedar untuk mengisi perut nenek tua yang keroncongan. Belum selesai singkong saya bakar, pintu rumah saya digedor-gedor. Di halaman ada anak saya dan dua orang polisi. Saya dituduh maling oleh anak saya sendiri. Saya dituduh maling karena mencuri singkong di kebun yang beberapa tahun lalu saya wariskan kepada anak saya. Saya diborgol lalu dibawa ke kantor polisi. Di sana saya di interogasi. Ditanyai macam-macam dengan bahasa yang saya tidak paham. Saya hanya bisa menangis. Lalu malam itu saya menginap di tahanan, perut saya lapar. Singkong yang saya cabut belum sempat termakan. Saya seorang nenek, umur saya tujuh puluh tahun, seusia republik ini. Malam ini saya tidur di bui. Saya kedinginan. Saya sedih, jangankan membeli hukum yang mahal, untuk saya yang miskin ini membeli moral saja saya tidak mampu.”

            “Dia seorang nenek, umur dia tujuh puluh tahun, seusia republik ini. Suatu sore dia lewat di depan kebun anaknya. Perutnya lapar, lalu dia melihat sebatang pohon singkong. Dia cabut dan dia ambil lalu dia bawa pulang sekedar untuk mengisi perut nenek tua yang keroncongan. Belum selesai singkong dia bakar, pintu rumah dia digedor-gedor. Di halaman ada anaknya dan dua orang polisi. Dia dituduh maling oleh anaknya sendiri. Dia dituduh maling karena mencuri singkong di kebun yang beberapa tahun lalu dia wariskan kepada anaknya. Dia diborgol lalu dibawa ke kantor polisi. Di sana dia diinterogasi. Ditanyai macam-macam dengan bahasa yang dia tidak paham. Dia hanya bisa menangis. Lalu malam itu dia menginap di tahanan, perutnya lapar. Singkong yang dia cabut belum sempat termakan. Dia seorang nenek, umurnya tujuh puluh tahun, seusia republik ini. Malam ini dia tidur di bui. Dia kedinginan. Dia sedih, jangankan membeli hukum yang mahal, untuk dia yang miskin itu membeli moral saja dia  tidak mampu.”

            “Mereka bilang saya penulis. Saya tengil,  sok idealis, sok ekstensialis. Mereka bilang saya sombong, sok paham, sok gagah-gagahan.”

            “Mereka bilang saya penulis. Tapi saya tidak merasa tengil, tidak merasa  sok idealis, tidak merasa  sok ekstensialis. Mereka bilang saya sombong, tapi saya tidak merasa sok paham, tidak merasa sok gagah-gagahan.”

            Persetan dengan pendapat mereka. Saya bukan penulis. Saya tidak tengil, tidak sok idealis, tidak sok ekstensialis. Saya tidak sombong,  tidak sok paham, tidak sok gagah-gagahan.

            Jangan buang-buang waktu memikirkan saya. Jangan CENGENGESAN! Jangan sampai si anak yang ditangkap kamtib di perempatan, jangan sampai si pemuda yang mencari kerja, jangan sampai si nenek yang dituduh mencuri menjadi rapat dalam satu barisan. Lalu mereka yang merasa memiliki nasib yang sama ramai-ramai turun ke jalan sambil berteriak lantang. ATIK MULEB AKEDREM. NAKRABIK AREDNEB HAGNETES GNAIT!!

            Ini serius. Ini ironi. Ini tragedi. Bukan parodi. Bukan komedi. Bacanya jangan sambil CENGENGESAN!!!

ODOP #4
Jakarta, 11 Agustus 2015


Komentar

Pu dan Ga mengatakan…
Keren. Seperti melihat pentas sebuah puisi teatrikal.

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s