Ini
serius. Ini ironi. Ini tragedi. Bukan parodi. Bukan komedi. Bacanya jangan
sambil CENGENGESAN!!!
Pasal 34 Ayat 1
Fakir miskin dan anak terlantar
dipelihara oleh negara.
“Tidur saya belum lengkap pagi ini. Tapi perut saya yang
lapar tidak bisa diajak kompromi. Lekas-lekas saya cari tempat sampah, berharap
bisa mendapatkan sekedar sekerat roti untuk mengganjal perut pagi ini. Setelah
mendapatkan sedikit makanan dari tempat sampah bekas acara resepsi perkawinan
semalam, buru-buru saya melangkah ke arah perempatan, tidak lupa ‘kecrek ajaib’
saya sampirkan di pinggang. Belum juga saya dapat uang kamtib datang, saya dan
beberapa teman saya digelandang. Saya yang mencoba melawan dikemplang, ditendang.
Saya yang baru berumur enam tahun dipaksa menyerah dan dibawa ke penampungan.
Di sana saya diceramahi, dimaki-maki, disuruh-suruh, lalu setelah beberapa hari
saya dilepaskan. Percuma, semuanya tidak bisa bikin saya kenyang. Saya kembali
ke perempatan lagi, tidak lupa ‘kecrek ajaib’ saya sampirkan di pinggang lagi.
Belum juga saya dapat uang kamtib datang lagi, saya dan beberapa teman saya digelandang
lagi. Saya yang mencoba melawan dikemplang lagi, ditendang lagi. Saya yang baru
berumur enam tahun dipaksa menyerah lagi dan dibawa ke penampungan lagi. Di
sana kami diceramahi lagi, dimaki-maki lagi, disuruh-suruh lagi, lalu setelah
beberapa hari saya dilepaskan lagi.”
“Tidur dia belum lengkap pagi itu. Tapi perut dia yang
lapar tidak bisa diajak kompromi. Lekas-lekas dia cari tempat sampah, berharap
bisa mendapatkan sekedar sekerat roti untuk mengganjal perut pagi itu. Setelah
mendapatkan sedikit makanan dari tempat sampah bekas acara resepsi perkawinan
semalam, buru-buru dia melangkah ke arah perempatan, tidak lupa ‘kecrek ajaib’
dia sampirkan di pinggang. Belum juga dia dapat uang kamtib datang, dia dan
beberapa temannya digelandang. Dia yang mencoba melawan dikemplang, ditendang.
Dia yang baru berumur enam tahun dipaksa menyerah dan dibawa ke penampungan. Di
sana dia diceramahi, dimaki-maki, disuruh-suruh, lalu setelah beberapa hari dia
dilepaskan. Percuma, semuanya tidak bisa bikin dia kenyang. Dia kembali ke
perempatan lagi, tidak lupa ‘kecrek ajaib’ dia sampirkan di pinggang lagi.
Belum juga dia dapat uang kamtib datang lagi, dia dan beberapa temannya
digelandang lagi. Dia yang mencoba melawan dikemplang lagi, ditendang lagi. Dia
yang baru berumur enam tahun dipaksa menyerah lagi dan dibawa ke penampungan
lagi. Di sana dia diceramahi lagi, dimaki-maki lagi, disuruh-suruh lagi, lalu
setelah beberapa hari dia dilepaskan lagi.”
Ini serius. Ini ironi. Ini tragedi. Bukan parodi.
Bukan komedi. Bacanya jangan sambil CENGENGESAN!!!
Pasal 27 Ayat 2
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
“Pagi. Umur saya dua puluh dua tahun, baru lulus dari
sebuah universitas swasta. Dengan kemeja tangan panjang putih yang disetrika
rapi saya percaya diri masuk ke sebuah kantor. Beberapa menit kemudian saya
sudah keluar lagi. Amplop coklat besar saya genggam erat-erat. Lamaran kerja
saya ditolak. Siang. Umur saya dua puluh dua tahun, baru lulus dari sebuah
universitas swasta. Dengan kemeja tangan panjang putih yang yang mulai kusut
saya kurang percaya diri masuk ke sebuah
kantor. Beberapa menit kemudian saya sudah keluar lagi. Amplop coklat besar
saya genggam erat-erat. Lamaran kerja saya ditolak. Sore. Umur saya dua puluh
dua tahun, baru lulus dari sebuah universitas swasta. Dengan kemeja tangan
panjang putih yang sudah acak-acakan saya percaya diri masuk ke sebuah pasar.
Beberapa menit kemudian saya sudah keluar lagi. Sebuah tas tangan seorang
perempuan saya genggam erat-erat, saya baru saja mendapatkan pekerjaan pertama
saya. Saya seorang jambret.”
“Pagi. Umur dia dua puluh dua tahun, baru lulus dari sebuah universitas swasta. Dengan kemeja tangan
panjang putih yang disetrika rapi dia percaya diri masuk ke sebuah kantor.
Beberapa menit kemudian dia sudah keluar lagi. Amplop coklat besar dia genggam
erat-erat. Lamaran kerjanya ditolak. Siang. Umur dia dua puluh dua tahun, baru
lulus dari sebuah universitas swasta. Dengan kemeja tangan panjang putih yang
yang mulai kusut dia kurang percaya diri
masuk ke sebuah kantor. Beberapa menit kemudian dia sudah keluar lagi. Amplop
coklat besar dia genggam erat-erat. Lamaran kerjanya ditolak. Sore. Umur dia
dua puluh dua tahun, baru lulus dari sebuah universitas swasta. Dengan kemeja
tangan panjang putih yang sudah acak-acakan dia percaya diri masuk ke sebuah
pasar. Beberapa menit kemudian dia sudah keluar lagi. Sebuah tas tangan seorang
perempuan dia genggam erat-erat, dia baru saja mendapatkan pekerjaan
pertamanya. Dia seorang jambret.”
Ini serius. Ini ironi. Ini tragedi. Bukan parodi.
Bukan komedi. Bacanya jangan sambil CENGENGESAN!!!
Pasal 28D Ayat 1
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
“Saya seorang
nenek, umur saya tujuh puluh tahun, seusia republik ini. Suatu sore saya lewat
di depan kebun anak saya. Perut saya lapar, lalu saya melihat sebatang pohon
singkong. Saya cabut dan saya ambil lalu saya bawa pulang sekedar untuk mengisi
perut nenek tua yang keroncongan. Belum selesai singkong saya bakar, pintu
rumah saya digedor-gedor. Di halaman ada anak saya dan dua orang polisi. Saya
dituduh maling oleh anak saya sendiri. Saya dituduh maling karena mencuri
singkong di kebun yang beberapa tahun lalu saya wariskan kepada anak saya. Saya
diborgol lalu dibawa ke kantor polisi. Di sana saya di interogasi. Ditanyai
macam-macam dengan bahasa yang saya tidak paham. Saya hanya bisa menangis. Lalu
malam itu saya menginap di tahanan, perut saya lapar. Singkong yang saya cabut
belum sempat termakan. Saya seorang nenek, umur saya tujuh puluh tahun, seusia
republik ini. Malam ini saya tidur di bui. Saya kedinginan. Saya sedih,
jangankan membeli hukum yang mahal, untuk saya yang miskin ini membeli moral
saja saya tidak mampu.”
“Dia seorang nenek, umur dia tujuh puluh tahun, seusia
republik ini. Suatu sore dia lewat di depan kebun anaknya. Perutnya lapar, lalu
dia melihat sebatang pohon singkong. Dia cabut dan dia ambil lalu dia bawa
pulang sekedar untuk mengisi perut nenek tua yang keroncongan. Belum selesai
singkong dia bakar, pintu rumah dia digedor-gedor. Di halaman ada anaknya dan
dua orang polisi. Dia dituduh maling oleh anaknya sendiri. Dia dituduh maling
karena mencuri singkong di kebun yang beberapa tahun lalu dia wariskan kepada
anaknya. Dia diborgol lalu dibawa ke kantor polisi. Di sana dia diinterogasi.
Ditanyai macam-macam dengan bahasa yang dia tidak paham. Dia hanya bisa
menangis. Lalu malam itu dia menginap di tahanan, perutnya lapar. Singkong yang
dia cabut belum sempat termakan. Dia seorang nenek, umurnya tujuh puluh tahun,
seusia republik ini. Malam ini dia tidur di bui. Dia kedinginan. Dia sedih,
jangankan membeli hukum yang mahal, untuk dia yang miskin itu membeli moral
saja dia tidak mampu.”
“Mereka bilang saya penulis. Saya tengil, sok idealis, sok
ekstensialis. Mereka bilang saya sombong, sok paham, sok gagah-gagahan.”
“Mereka bilang saya penulis. Tapi saya tidak merasa tengil, tidak merasa sok idealis, tidak merasa sok ekstensialis. Mereka bilang saya
sombong, tapi saya tidak merasa sok
paham, tidak merasa sok
gagah-gagahan.”
Persetan dengan pendapat mereka. Saya bukan penulis. Saya
tidak tengil, tidak sok idealis, tidak sok ekstensialis. Saya tidak sombong, tidak sok
paham, tidak sok gagah-gagahan.
Jangan buang-buang waktu memikirkan saya. Jangan
CENGENGESAN! Jangan sampai si anak yang ditangkap kamtib di perempatan, jangan
sampai si pemuda yang mencari kerja, jangan sampai si nenek yang dituduh
mencuri menjadi rapat dalam satu barisan. Lalu mereka yang merasa memiliki
nasib yang sama ramai-ramai turun ke jalan sambil berteriak lantang. ATIK MULEB AKEDREM. NAKRABIK AREDNEB HAGNETES GNAIT!!
Ini
serius. Ini ironi. Ini tragedi. Bukan parodi. Bukan komedi. Bacanya jangan
sambil CENGENGESAN!!!
ODOP #4
Jakarta, 11 Agustus
2015
Komentar