Langsung ke konten utama

OCEHAN NGELANTUR TENTANG SURABI DAN GLOBAL WARMING



Waktu itu sekitar jam dua malam, seperti biasa kami sedang asyik makan surabi di pengkolan, ngobrol ngalor-ngidul sambil melihat kendaraan lalu lalang, Jakarta memang tidak pernah tidur. Lalu tiba-tiba salah satu teman saya nyeletuk, “Mungkin nggak, sih alien datang ke bumi dan memusnahkan peradaban manusia?” Sontak saja semua teman-teman yang mendengarnya mulai tertawa., ada yang cuma mesem-mesem, ada yang cengengesan bahkan ada yang sampai tertawa ngakak. Pertanyaan seperti itu cocoknya ditanyakan oleh anak berumur belasan yang masih suka nonton film Ultra Man atau Godzilla, tapi tidak urung pertanyaannya juga menimbulkan perdebatan.

Saya yang tidak mau kehilangan momen menikmati gurihnya surabi dalam setiap gigitan hanya mendengarkan sambil menyimak obrolan mereka dari pojokan. Bintang terdekat dengan tata surya kita saja, Alpha Centauri jaraknya tidak kurang dari 4,2 tahun cahaya, itu hampir setara dengan 39.398.400.000.000 km. Lalu bintang Aldebaran yang sangat dipercayai para pecinta konpirasi dihuni mahkluk berakal jaraknya sekitar 62 tahun cahaya, silakan hitung jaraknya jika dikonversi ke dalam satuan kilometer.

Lagi pula apa para alien itu sebegitu kurang kerjaannya menempuh jarak sedemikian jauh hanya untuk menghancurkan peradaban manusia? Teman saya yang tadi bertanya itu patut dicurigai masih sering menonton film science fiction tahun 80-an, di mana tema alien membantai manusia bumi sedang nge-trend. Bukankah para alien itu lebih baik datang baik-baik, silaturahmi, lalu mendaftar di production house untuk menjadi artis di Indonesia. Artis Indo yang hanya beda negara saja bisa begitu sukses memulai karir keartisannya di negeri ini, apalagi mereka yang beda planet? coba kalian bayangkan!

Berbicara tentang film dengan tema catastrophy, dari tahun ke tahun tidak pernah sepi peminat, hampir setiap dasawarsa mereka mengusung tema yang berbeda. Kalau di tahun 80-an banyak film mengangkat tema alien menginvasi bumi, di tahun 90-an tema bencana dari langit merajai tangga box office, lalu belakangan temanya bergeser lagi dari bencana kosmis jadi bencana mikro karena ulah manusia sendiri terhadap bumi.

Film dokumenter karya salah satu mantan  wakil presiden Amerika Serikat, Al Gore yang berjudul An Inconvenient Truth bisa jadi merupakan biang keladi ‘demam’ catastrophy baru. Dalam filmnya beliau berpendapat jika bumi semakin hari semakin menghangat, akibatnya es yang ada di kutub akan mencair lalu tinggi permukaan air laut akan meningkat drastis dan sebagian daratan di bumi akan tenggelam. Fantastis, seketika dunia geger, heboh, istilah global  warming dan efek rumah kaca jadi bahasa gaul di mana-mana, di kantor-kantor, sekolah, mall, salon, bengkel, warung kopi dan tukang surabi kata-kata global warming disebut berulang-ulang, singkatnya orang yang tidak tahu global warming cuma beruk dan orang udik yang kampungnya puluhan tahun tak pernah teraliri listrik.

Hal ini diperparah dengan munculnya film The Day After Tomorrow, dalam film itu dikisahkan negara-negar subtropis menerima dampak hebat dari global warming, suhu udara mendadak turun drastis, banjir besar, dan topan skala F5 terjadi di mana-mana, singkatnya Amerika dan sebagian Eropa kiamat.

Pikiran saya mulai melantur, mungkin karena kurang tidur dan efek gurihnya surabi yang sedang saya nikmati ini, tapi sesuatu melintas dalam kepala saya. Apakah sebegitu takutnya manusia kehilangan peradabannya? Apakah setiap malam saat tidur manusia terteror jika-jika saat bangun tidur ternyata hanya dia sendiri yang masih hidup karena sebuah bencana entah berantah tadi malam yang tidak dia sadari dan memusnahkan semua manusia selain dirinya? Kalau manusia sedemikian takutnya lalu apa yang sudah manusia lakukan untuk melestarikan bumi ini?

Setiap tahun jutaan liter minyak ditambang dari dalam bumi, lalu dibakar ramai-ramai, akibatnya: global warming. Setiap tahun ribuan hektar hutan digunduli, kayunya dibuat lemari, kursi dan rumah, daya serap karbon dioksida dalam atmosfer melemah, akibatnya: global warming. Para pecinta alam ramai-ramai naik gunung, dari rumah sudah membawa kertas besar bertuliskan ‘SELAMATKAN HUTAN KITA’, dia lupa kalau kertasnya terbuat dari pohon yang tumbuh di hutan yang berusaha dia selamatkan, sepuluh ribu orang seperti mereka melakukan hal yang sama di seluruh dunia setiap bulannya, akibatnya: global warming juga.

Sadar atau tidak sadar manusia adalah monster yang hadir di bumi untuk menghabisi bumi itu sendiri. Kita ketakutan bumi kita hancur, kita ketakutan peradaban kita musnah tapi semua yang kita lakukan tak lebih hanya mengulang jargon-jargon belaka, minim aksi, tanpa tindakan.

Kalau diibaratkan bumi ini semacam bahtera besar yang menaungi lebih dari enam miliar manusia di dalamnya, bahtera ini sudah tua, umur bumi sekitar lima miliar tahun, kalau semisal angkot,  bumi kita ini sudah afkir, shock breaker nya sudah soak dan mengkerut sampai tak bisa berayun-ayun lagi, mesin dan as rodanya sudah karatan, dengan sekali hentak saja angkot kita ini bisa langsung wassalam, alangkah bijaksananya jika kita sebagai pengemudi menjalankannya pelan-pelan, sebisa mungkin hindari lubang. Perjalanan trayek angkot ini masih panjang, kita tidak bisa seenaknya ganti angkutan, syukur-syukur kita mengerti mesin dan bisa sedikit memperbaikinya.

Global warming sudah tidak terelakan, sudah terlalu terlambat kita sadar, tapi tetap tak ada salahnya kita sedikit berbenah, merubah gaya hidup kita jadi lebih ramah, satu tindakan kecil saja kalau dilakukan oleh enam miliar manusia bisa berdampak besar, tak perlu berlelah-lelah naik sepeda ke kantor, itu hanya trend yang digembar-gemborkan pabrik sepeda atau rela mengganti motor kita yang belum lunas kreditannya dengan motor listrik, itu juga hanya akal-akaln pabrik motor. Cukup sebuah gerakan kecil, jangan mencabut daun saja sudah cukup. Iya, jangan mencabut daun. Kita secara tidak sadar saat melintas di tepi jalan sering iseng mencabut daun di pohon-pohon yang menjuntai ke jalan, atau kalau sedang duduk-duduk di taman suka iseng mencabut rumput Entahlah, sampai sekarang ilmuwan masih belum mampu menemukan alasannya kenapa kita sering refleks melakukan hal itu. Patut dicurigai itu merupakan bakat warisan nenek moyang kita saat masa berburu dan meramu, pada masa itu nenek moyang kita mengumpulkan daun-daunan sepanjang jalan untuk persediaan mereka makan.

Tapi itu perkara ribuan tahun lalu, sekarang bumi kita -jujur saja- sudah luka parah, jangan menambah borok-boroknya. Kalau kita sudah bisa melakukan hal yang sebegitu sederhana, bukan tidak mungkin hal lain yang jauh lebih besar bisa kita lakukan untuk menyelamatkan bumi kita. Jika saja enam miliar manusia sadar dan melakukan hal yang sama, saya yakin kita bisa pergi dari dunia ini dengan senyum dan perasaan bangga karena meninggalkan warisan yang luar biasa untuk anak cucu kita.

Anak cucu? Tampaknya untuk saya masih lama. Ya, ampun saya sudah terlalu banyak berbicara dan tambah melantur arahnya. Sudahlah, terserah kalian saja, saya sebagai penulis hanya  bisa melontarkan opini, semuanya kembali kepada kalian yang menanggapi.

Salam hijau dan perbanyaklah makan surabi agar sering dapat inspirasi.

NEW ODOP #3
Jakarta, 6 Juni 2015








Komentar

Unknown mengatakan…
iya kek... cucumu ini yang berprofesi sebagai tenaga pendidik akan memperingatkan mereka yang merusak bumi dan akan selalu mengajari anak didiknya agar bisa mencintai lingkungan.
salam ODOP :D
Pu dan Ga mengatakan…
Bang Achmad sepertinya tahu banyak soal Global Warming. Postingannya sarat tips nih.
Oiya, tema katastropi maksudnya gmn ya? Bingung euy
Pu dan Ga mengatakan…
Bang Achmad sepertinya tahu banyak soal Global Warming. Postingannya sarat tips nih.
Oiya, tema katastropi maksudnya gmn ya? Bingung euy

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s