Langsung ke konten utama

TIBA-TIBA SAYA INGIN KE KAMAR MANDI

Tema tulisan kedua ini membuat saya menarik nafas dalam-dalam waktu pertama kali membacanya, entahlah dengan anggota yang lain, semoga mereka tidak kebingungan seperti saya. Bayangkan saya yang sudah berumur lebih dari seperempat abad ini harus mengais-ngais kembali memori tentang tayangan televisi anak-anak yang saya tonton dulu. Di rumah saya tidak ada anak kecil yang saya bisa jadikan rujukan sebagai bahan observasi, adik saya satu-satunya yang paling muda usianya juga sudah dua puluh empat tahun lebih dan tinggal di Papua. Bertanya secara langsung dengan anak-anak di lingkungan saya juga sulit, masalahnya saya tidak mudah akrab dengan anak-anak. Sebagai model pendekatan terbaik adalah saya harus mengalami sendiri, menonton, memahami dan membandingkan tayangan televisi sekarang dan masa kecil saya dulu dan mencoba menganalisa dampaknya terhadap perkembangan anak sekarang.

Satu masalah lagi hadir, saya sudah hampir dua tahun tidak menonton tayangan televisi lokal maupun nasional, saya sudah berlangganan TV kabel sejak dua tahun lalu, alasannya jenuh dengan tayangan televisi lokal maupun nasional yang itu-itu saja.

Sejak malamnya membaca tema yang diberikan saya langsung stay tuned, duduk manis di ruang baca, mengganti-ganti saluran televisi lokal dan nasional sambil terkantuk-kantuk menyaksikannya. Satu kata yang bisa mendeskripsikan perasaan saya saat menonoton tayangan televisi lokal maupu nasional: bosan.

Saya besar di era sembilan puluhan, saat acara televisi anak didominasi nyanyian Joshua dengan lagu diobok-obok-nya, Eno Lerian dengan lagu Du Di Du Di Dam (semoga tidak salah judul) atau lagu Trio Kwek Kwek. Saya sulit paham dengan lagu anak-anak zaman sekarang, mereka menyanyikan lagu bertema cinta-cintaan ala Justin Bieber atau Selena Gomez, berjoget-joget seronok ala Boy Band atau Girl Band Korea atau menari dengan gaya mirip koboi sambil diiringi lagu Gangnam Style.

Lalu paginya sambil sarapan saya coba intip lagi tayangan televisi lokal dan nasional, sarapan saya tidak selesai, acara televisi pagi itu sukses bikin saya mual. Saya lupa nama acaranya, intinya acara tersebut  bertemakan musik, tapi saya tidak merasakan sedikitpun semangat musik dalam acara tersebut, saya hanya melihat artis  yang mangap-mangap di depan mikropon, saya yakin sekali karena kadang-kadang suara nyanyian dan gerakan bibir si penyanyi tidak sinkron, dan pemain musiknya, ya ampun, mana bisa gitar listrik bunyi tanpa kabel? Intinya acara tersebut sukses bikin saya kekurangan nutrisi pagi ini.

Belum cukup sampai di situ, lalu acara diselingi dengan acara masak-memasak, kuis dan yang lebih aneh tiba-tiba acara dihentikan, ada artis yang ber ulang tahun hari ini, di bukan musisi, sebetulnya pernah mengeluarkan sebuah single di album kompilasi tapi tetap saja bagi saya bukan musisi, jadilah setengah jam ke depan mubazir dengan acara mengerjai si artis yang berulang tahun, ngobrol-ngobrol sambil potong kue dan lanjut lagi acara joget-joget, aduh. Ke mana musiknya? Sudahlah lupakan saja.
Saya jadi merasa asing, saya merasa gagap dengan situasi. Di zaman saya, di era kanal MTV musik adalah musik, bukan musisi mangap-mangap, bukan joget-joget apalagi masak-masakan, dan gitar listrik tanpa kabel itu… ah lupakan saja.

Untuk film, sewaktu kecil saya dijejali acara kartun Walt Disney, ada cerita tentang seekor tikus yang selalu dikejar-kejar seekor kucing yang tak pernah selesai kejar-kejarannya (iya bahkan sampai sekarangpun masih terus kejar-kejaran), ada satu keluarga bebek yang bisa berbicara, mereka memakai baju tapi herannya tidak pakai celana (waktu kecil saya tidak pernah memikirkannya, baru sekarang baru sadar, ahahhahaha). Saya bangga dengan tayangan televisi sekarang, anak negeri mampu merajai tayangan acaranya sendiri, termasuk acara anak-anak, beberapa malam sebelumnya saya sempat menonton acara sinetron buatan anak dalam negeri, judulnya saya lupa, intinya tentang kisah cinta antara kelelawar dengan serigala. Aneh? Absurd? Kalau Anda mengerutkan kening berarti Anda sependapat dengan saya.

Ironi, mereka yang diceritakan dalam sinteron itu masih anak sekolah, tapi jarang sekali ada adegan belajar atau tukar pendapat, hampir semua adegannya di isi dengan pacaran, berkelahi atau nangis bombay ala India.
Kabar baiknya tadi pagi di depan rumah saya sempat mendengar ada lagu anak-anak diputar lewat sebuah pengeras suara, saat saya intip dari balkon ternyata ada odong-odong yang sedang mangkal. Beberapa anak-anak sedang asyik naik odong-odong sambil disuapi ibu mereka, beberapa dari mereka bahkan dengan fasih ikut menyanyikan beberapa lagu yang diputar. Seketika rasa nasionalisme dalam diri saya membuncah, mereka-para penarik odong-odong- ini tiba-tiba seperti menjadi pahlawan baru untuk generasi setelah saya, sambil berlelah-lelah mengayuh odong-odong mereka tanpa sadar sudah menjadi penyelamat satu generasi. Mereka secara implisit mengajarkan bahwa anak-anak harus disajikan hiburan dengan tema anak-anak. Bukan lagu cinta-cintaan, tarian seronok atau kisah cinta antara kelelawar dan srigala (aduh saya teringat sinteron itu lagi, buru-buru saya pergi ke kamar mandi).

Setidaknya bagi beberapa orang tua yang mulai sadar dan awas terhadap perkembangan mental anaknya, ini adalah sebuah peluang besar, mulailah dari pengetatan jadwal menonton anak, pilihkan untuk mereka tontonan yang berkualitas dan edukatif, acara Laptop si Unyil, Adit Sopo Jarwo dan Upin Ipin bisa jadi pilihan yang menarik sekaligus mendidik.

Jika ada waktu senggang, jangan biarkan anak-anak Anda berdiam diri di rumah, ajaklah anak-anak Anda untuk berkeliling mengenal lingkungan, main layang-layang atau bersepeda di taman, mengunjungi acara pasar malam sambil melihat atraksi tong setan (syukur-syukur anak Anda bertanya dan Anda bisa menjelaskan konsep fisikanya), yang terbaik ajak mereka ke dua tempat yang paling asing: Masjid dan perpustakaan. Kenapa saya katakan asing, silakan bertanya pada diri kita masing-masing, ahahahaha (saya tidak berusaha memancing perdebatan).

Demikian yang bisa saya paparkan walaupun saya sadar benar tulisan saya tidak berhubungan dengan tema yang diberikan, saya hanya bisa sejauh ini saja, dalam tema ini saya berdiri di tengah-tengah, bukan sebagai seorang anak ataupun orang tua yang memiliki anak, sebagai seorang pengamat? Ah, apalagi itu, jauh sekali. Saya hanya berperan sebagai salah satu manusia lemah yang mengamati, merasa miris dan ingin berbagi. Itu saja (tiba-tiba saya teringat sinetron dan acara musik tadi pagi, sayapun bergegas pergi ke kamar mandi).

Tulisan untuk ODOP #2
Jakarta, 3 Agustus 2015

Komentar

Anonim mengatakan…
kalau tahu "diobok-obok" dan dudidam" berarti tahu "Cilukbaa" "Arena 1 2 3" dan "Pak Raden" jg dong?.

Sepakat sama yang ini:"Jika ada waktu senggang, jangan biarkan anak-anak Anda berdiam diri di rumah, ajaklah anak-anak Anda untuk berkeliling mengenal lingkungan, main layang-layang atau bersepeda di taman, mengunjungi acara pasar malam sambil melihat atraksi tong setan (syukur-syukur anak Anda bertanya dan Anda bisa menjelaskan konsep fisikanya), yang terbaik ajak mereka ke dua tempat yang paling asing: Masjid dan perpustakaan"

kalau boleh saran biar teks rata kiri kanan di Alt+Shift+J aja
aireni mengatakan…
mas achmad mungkin kita satu era..berasa tau penyanyi yg disebutkan di era 90-an..hahaha

sekarang bisa dikatakan acara untuk anak2 memang hampir punah...makanya ponakan sya sediakan lagu anak bahkan filmnya teletubis (sekarang sudah tidak tayang lagi ya) di laptop =D

btw, hebat euyyy...ngalami bingung dengan tema ke-2 tapi selesai duluan (y)

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s