Makna kepahlawanan di era modern itu
apa, sih?
Suatu ketika ada seseorang yang
terkena kanker paru-paru lalu divonis oleh dokter umurnya tidak akan lebih dari
enam bulan lagi, tapi dia berusaha tegar, menjalani hidupnya secara normal.
Satu tahun kemudian dia masih baik-baik saja, malah dia menggabungkan dirinya
dengan kelompok pecinta alam. Puluhan gunung di negeri ini sudah berhasil dia
daki, bahkan dia menjadi salah satu anggota elit dalam kelompok pecinta alam dengan
misi menancapkan bendera merah putih di puncak-puncak gunung di seluruh dunia.
Saat pulang ke tanah air namanya harum. Dari ujung barat sampai ke ujung timur
mengelu-elukan namanya, dari ujung utara sampai ke ujung selatan mengenal
kehebatannya. Dia mulai disorot media, diundang wawancara di televisi nasional,
ditodong siaran di banyak radio. Banyak orang lain terinspirasi. Lalu dia mulai
menulis buku biografi, jadi best seller.
Produser tertarik, lalu kisah hidupnya difilmkan. Bioskop penuh, penonton
membludak. Setiap hari dia semakin terkenal.
Tapi
naas, suatu ketika saat lari pagi dia melihat seekor anak kucing di tengah
jalan, sifat hero-nya keluar. Dia
berlari menyeberang dengan gagah berani berusaha menyelamatkan anak kucing itu.
Seorang tukang ojek yang masih terkantuk-kantuk menyerempetnya, dia berusaha
menghindar, membantingkan dirinya ke samping. Lebih naas lagi, sebuah truk yang
kurang antisipasi langsung menghantam tubuhnya. Dia tewas seketika, anak kucing
itu juga.
Seantero
negeri mendengar kabar itu, tiba-tiba tumpah air mata di mana-mana, hari itu
jadi hari berkabung nasional secara tidak resmi. Ribuan orang mengantar
kepergiannya ke pemakaman. Dia dimakamkan satu lubang dengan anak kucing yang
hendak dia selamatkan. Selama berminggu-minggu televisi dan koran memberitakan
kisah hidup dan perjuangannya, dia jadi pahlawan zaman baru.
Tapi
orang itu bukan salah satu dari kami, kami hanya sepasang manusia yang tidak
penting. Kami hanya berusaha menjalani dan menikmati hidup apa adanya, tanpa
motif, tanpa ambisi. Saat orang itu berjuang melawan kanker paru-parunya
mungkin kami sedang sibuk di rental
play station, begadang sambil makan kwaci sampai berbungkus-bungkus. Waktu
orang itu berjuang melawan hawa dingin dan rasa lelah saat menaklukkan
puncak-puncak gunung di dunia, mungkin kami sedang bingung mau memotong rambut
dengan gaya apa, agar tidak dibilang ketinggalan zaman. Saat namanya harum dan
dibicarakan di mana-mana, kami mendengar, kami menonton, kami membaca, kami
tahu, tapi kami tidak peduli, kami malah sibuk berburu DVD bajakan, mencari
film-film action terbaru. Kami hanya
sepasang manusia yang tidak penting. Kami hanya berusaha menjalani dan
menikmati hidup apa adanya, tanpa motif, tanpa ambisi.
Ada
lagi cerita tentang orang-orang yang dinaungi dewi fortuna. Ada seorang kakek
di sebuah kampung terpencil. Hidupnya sudah susah sejak kecil sampai usianya
menjelang senja. Suatu ketika untuk mengganjal perutnya yang lapar dia masuk ke
dalam hutan. Bermodalkan cangkul dan keberanian, dia mencoba menggali tanah
untuk menemukan umbi-umbian liar. Setelah menggali lumayan dalam, bukan
umbi-umbian liar yang didapatnya. Mata cangkulnya terantuk pada sebuah benda
keras. Semula dia pikir itu adalah batu, lalu dia alihkan mata cangkulnya
ssedikit ke pinggir, lagi-lagi mata cangkulnya terantuk pada benda yang keras.
Dia penasaran dan terus menggali. Tidak disangka, ternyata dari dalam tanah dia
menemukan sebuah peti besi yang kalau dilihat dari tingkat karatnya mungkin
umurnya sudah ratusan tahun. Dengan perasaan senang bercampur takut dia angkat
peti besi itu, lalu dia bongkar kuncinya. Dengan mata terbelalak dia
menampar-nampar pipinya, ingin memastikan kalau dia tidak sedang bermimpi. Di
dalam kotak itu ada beratus-ratus koin emas, kalung, gelang, cincin dan
batu-batu mulia.
Mengingat
hidupnya yang getir selama ini, menyaksikan pemandangan seperti itu di depan
matanya membuat darahnya beku seketika, pandangannya kabur, dia pingsan di
tempat. Saat menjelang sore dia sadar dan menemukan peti besi dan isinya masih
ada di situ, lalu dia bawa pulang ke rumahnya. Sejak saat itu hidupnya berubah
seratus delapan puluh derajat. Dia bisa membeli rumah mewah, mobil mewah dan
naik haji bersama keluarganya. Hidupnya yang getir ditebus Tuhan dengan satu hempasan
mata cangkul. Dia sekarang kaya raya.
Ada
juga cerita tentang seorang anak dari negeri Paman Sam yang jauh di sana. Dia
iseng memasang nomor lotere, dan tanpa diduga ternyata nomor yang dia pasang
adalah pemenang utamanya. Hadiahnya tak tanggung-tanggung, bisa membuatnya
jalan-jalan keliling Eropa, membeli rumah dan mobil mewah, atau kalau dia
sedikit senewen dia bisa mengisi
kolam renangnya dengan whiskey, lalu
berenag-renang di dalamnya sampai mabuk berhari-hari.
Saat
ditanya reporter televisi apa yang akan dilakukannya dengan semua uang itu dia
hanya menjawab kalau setelah pulang dari mengambil jatah undiannya dia akan
tidur selama tiga hari dan saat bangun ingin memastikan kalau semua yang
didapatnya bukanlah mimpi.
Si
kakek dan anak dari negeri Paman Sam itu adalah orang-orang beruntung yang
hidupnya diberkahi kejutan yang luar biasa hebat, tapi sekali lagi kami tak
mungkin jadi salah satu dari mereka.
Kejutan
yang sering kami dapat biasanya hanya berupa hadiah gantungan kunci atau bros
dari dalam plastik bungkus chiki.
Syukur-syukur jika masih ada yang ingat hari ulang tahun kami. Pada hari itu
mereka akan berpura-pura baik lalu tanpa kami duga melempari kami dengan telur,
jika belum puas mereka lempari kami dengan bubuk terigu, masih belum puas juga,
lalu mereka guyur kami dengan air got. Kami terkejut, mereka bahagia, kami juga
harus pura-pura bahagia walau dengan badan bau amis dan tubuh belepotan lumpur.
Sesudahnya kami harus memohon-mohon pada tukang bajaj agar mereka mau
mengangkut kami pulang dengan badan kotor dan bau amis sepanjang jalan.
Itulah
kami. Kami hanya sepasang manusia yang tidak penting. Kami hanya berusaha
menjalani dan menikmati hidup apa adanya, tanpa motif, tanpa ambisi.
Dulu
kami memiliki teman kuliah. Wanita, cantik, luar biasa cerdas. Semua materi
kuliah dianggapnya mainan anak TK. Semua materi kuliah seperti sudah khattam dalam kepalanya. Dia lulus cum laude. Tanpa perlu sibuk
mengemis-ngemis pekerjaan seperti kebanyakan mahasiswa baru lulus lainnya,
beberapa perusahaan bonafide justru
rela mengemis-ngemis agar dia mau bergabung dengan perusahaan tersebut.
Sekarang dia sudah jadi orang hebat, orang penting yang mengendalikan nasib
perusahaan. Prestasinya bersinar, karirnya menanjak. Lalu dia resign dari perusahaan lamanya dan mendirikan
perusahaan baru dengan produk yang sama dengan perusahaan lamanya. Karena tak
mampu menyaingi otaknya yang encer, akhirnya perusahaan lamanya bangkrut,
ribuan orang kena PHK. Perusahaan yang dia dirikan kehilangan pesaing, semakin
berkibar dan besar.
Dia,
sahabat kami sewaktu kuliah, wanita, cantik, luar biasa cerdas, licik sekaligus
tak tahu terima kasih.
Dia
jelas bukan salah satu dari kami. Kami hanya sepasang orang yang tidak penting.
Saat dia sibuk merayakan cum laude-nya
kami sedang cuti kuliah karena alasan yang tidak jelas. Saat puluhan perusahaan
berlomba-lomba menggaet-nya, kami
justru sedang mengasihani diri kami sendiri, stress karena nilai IPK yang hanya satu koma. Kami tidak secerdas
dia, dibandingkan dia intelegensi kami bergerak seperti siput yang berjalan
malu-malu sedangkan intelegensinya bergerak liar, berlari cepat bagai kuda
pacu. Kami hanya sepasang manusia yang tidak penting. Kami hanya berusaha
menjalani dan menikmati hidup apa adanya, tanpa motif, tanpa ambisi.
Tapi
jangan kalian pikir hidup kami ini membosankan, jika ada konser band gratisan
kami selalu hadir dan selalu ada di barisan depan. Jika ada game PC terbaru kami selalu update. Jika ada premiere film Box Office kami selalu memastikan
tiketnya sudah ada di tangan. Lagi pula kami berpikir buat apa sih mikir
keras-keras? Toh, kami tahu dan kami yakin otak kalau kami tidak bakal sanggup.
Buat apa belajar filsafat dan matematika? Kami yakin mereka tidak tahu enaknya
mandi lama-lama, nikmatnya bangun siang atau membaca komik sampai
berjilid-jilid sambil rebah-rebahan. Kami
hanya sepasang manusia yang tidak penting. Kami hanya berusaha menjalani dan
menikmati hidup apa adanya, tanpa motif, tanpa ambisi.
Seketika cita-cita kepahlawanan dalam diri kami susut, kami tidak mampu
sehebat dan setabah orang yang divonis kanker itu, kami tak akan pernah
seberuntung kakek tua pembawa cangkul atau si bocah dari negeri Paman Sam yang
menang lotere itu, juga kami sadar keterbatasan intelegensi kami. Mustahil rasanya
menyaingi teman kuliah kami yang luar biasa jenius sekaligus tidak tahu terima
kasih itu.
Bagi
kami dunia ini sempit. Tak ada yang lebih penting dari diri kami sendiri.
Menjaga sinkronisitas dan keajegan hubungan kami dalam dunia yang sedemikian
kompleks jauh lebih menantang. Kami harus selalu memastikan satu sama lain
kalau kami berseberangan. Kalau saya hitam maka pasangan saya harus putih.
Kalau pasangan saya positif maka saya harus menjadi negatif. Memahami kedalaman
perasaan satu sama lain tiba-tiba jadi begitu penting bagi sepasang manusia
yang tidak penting ini. Saya
selalu berusaha menjadi pahlawan untuk dia, dan dia setengah mati berusaha
menjadi pahlawan untuk saya.
Kami
hanya sepasang manusia yang tidak penting. Kami hanya berusaha menjalani dan
menikmati hidup apa adanya, tanpa motif, tanpa ambisi.
Pahlawan di era modern ini bagi kami adalah diri kami sendiri yang
berjuang mati-matian untuk eksistensi
kami yang terlahir dengan mental dan keterbatasan di sana sini. Orang tua kami
juga pahlawan di era modern ini, yang dengan kerelaannya yang tanpa batas mau
mengasuh kami yang luar biasa egois dan membimbing kami dengan sabar agar kami
mampu menemukan diri kami sendiri. Dan para guru sera dosen kami. Ya ampun,
kami itu dilahirkan Tuhan untuk mereka. Untuk mengetes sejauh mana tingkat
kesabaran dan dedikasi mereka. Kami sadar kalau kami ini bukan murid yang
patuh, rajin bolos, sering telat mengumpulkan tugas, paling heboh ngerumpi saat kelas berlangsung, tapi
saat sepi dan sendiri, diam-diam kami selalu mendoakan mereka. Bukan untuk
kesuksesan mereka, bukan pula untuk kesehatan mereka, toh kesuksesan dan
kesehatan itu cuma sebab akibat. Kami diam-diam selalu medoakan mereka agar
mereka selalu diberikan kesabaran dan ketabahan lebih dalam mendidik kami. Tanpa
kesabaran, ketabahan dan dedikasi yang luar biasa dari mereka, sepasang manusia
tidak penting ini akan terbengkalai lalu bermetamorfosa menjadi manusia yang
sangat tidak penting, yang lebih parah lagi mungkin kami akan bermutasi menjadi
sampah masyarakat. Kami, orang tua kami dan guru serta dosen kami adalah
pahlawan di era modern ini.
Kami
hanya sepasang manusia yang tidak penting. Kami hanya berusaha menjalani dan
menikmati hidup apa adanya, tanpa motif, tanpa ambisi.
Komentar