Langsung ke konten utama

SIMFONI

sumber: google




Satu kelokan lagi dan kita akan sampai di sebuah pintu tertutup jelaga: porta nigra.
Padahal dari awal aku sudah enggan. Nuraniku selalu merasa dibentur-benturkan setiap menyinggahi  tempat ini. Ada kenangan masa lalu dan harapan masa depan yang baur, berebutan mengisi batok kepala.
Sudahlah pasrah saja, nikmati simfoni pahit-manis-sepat yang disuguhkan takdir untuk kita ini.
Siapa suruh untuk menanggung beban batin tanpa kesudahan? Air matamu juga ada batasnya.

Di sana dulu aku biasa main ayunan, tunjukmu pada sebatang pohon yang menyendiri dan merana.
Di hadapanku waktu mengerucut, longsor dan menimbun kenangan.
Antara aku yang dulu sering bermain kuda-kudaan dengan pelepah pisang dan aku yang sekarang sudah ubanan rasanya tak ada beda. Masih sama-sama suka berkelana.
Sedangkan kamu, gadis berambut tembaga dan bermata sebiru samudera, masih saja bermain peran seperti pribumi.

Untuk apa leluhur kita membangun candi? Tanyamu dengan wajah jenaka.
Aku menggeleng. Aku sering alfa saat ditanya sejarah. Terkenang belasan abad lalu nenek moyangku mencampur darah dan keringat lalu menimbun batu purba sebagai pengingat kalau semangat mereka terpilin hebat, terjepit dan mengisi celah untuk anak cucu yang ditinggalkan.

Siapa yang mencipta kita?
Tuhan
Siapa yang membangun pusara kenangan?
Takdir
Siapa yang membelit kita?
Waktu
Siapa yang berjudi dengan Sang Takdir?
Aku
Siapa yang mengisi malamku dengan air mata dan siangku dengan fatamorgana?
Kamu

Aku ingin minum air kenangan, katamu.
Lalu kuhadirkan hujan. Langit bengkah, awan terbelah. Kenangan buncah, turun menghujam bumi. Kita pasrah berlinang-linang air mata mengenang kenangan yang tanpa sengaja terkenang.

Siang jatuh di balik gunung. Malam datang berselendang kelam.
Gelap. Sejauh mata memandang hanya kutemu bulan, bintang dan biji matamu yang berkilatan.
Kita gigil menyadari ada angin dingin yang tersisa di bunga rerumputan.

Ayo kita pulang, pintaku.
Kamu menggeleng. Si anak belum lelah mencari kunang-kunang harapan yang hilang.
Aku duduk di balik kabut sambil memandangi kamu yang sibuk mencari urat-urat kebahagiaan dalam lara yang tak jua kunjung sirna.

Menjelang pagi, kureguk habis air matamu yang menyatu dengan butir embun di daun jambu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s