Aku menatap punggungnya yang dibalut jas warna abu-abu gelap. Di sepanjang lorong sempit ini aku sudah diperingatkan untuk tidak banyak berkata-kata. Sumber penerangan kami hanya cahaya temaram dari lampu-lampu berbahan bakar minyak damar yang dipasang di samping setiap pintu berpernis coklat gelap. Lantai berwarna hitam dengan motif heksagon putih berkilat-kilat memantulkan cahaya lampu kekuningan.
Roger berhenti di sebuah pintu, merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa anak kunci berwarna keemasan. Dia memberi isyarat agar aku masuk setelah pintu terbuka. Aroma minyak damar meruap jelas memenuhi seisi ruangan yang tidak terlalu besar ini. Aroma belerang sesekali tercium.
Roger mempersilakanku duduk di sebuah kursi. Di atas meja bulat kecil ada beberapa lembar kertas berwarna kecoklatan, sebuah belati dan garam yang diletakkan begitu saja di atas sebuah piring kecil.
"Tunggu sebentar." katanya, lalu menghilang di balik sebuah tirai berwarna putih yang memisahkan ruangan tempatku duduk dengan ruangan di sebelahnya.
Kuperhatikan ruangan dengan warna abu-abu pucat ini. Lembab. Ada hawa dingin yang tiba-tiba menyusup. Roger kembali dengan sebotol anggur dan dua buah goblet di tangannya.
"Maaf, membuatmu menunggu." katanya dengan senyum ramah yang sudah menjadi khasnya.
Roger menuangkan anggur ke dalam goblet. Cincin besar berwarna keemasan di jari manis sebelah kanannya berkilau-kilau memantulkan cahaya obor.
"Kamu adalah tamu kehormatan bagi kami. Banyak orang yang tidak sadar kalau di sebuah sudut di kota yang katanya tidak pernah tidur ini ada tempat seperti ini. Kamu adalah orang pertama di luar kami yang diperkenankan berkunjung ke tempat ini."
"Kenapa?" tanyaku sambil menegakkan posisi tubuh.
Roger tidak menjawab, hanya menarik nafas panjang sambil mununjuk ke arah pelipisnya. Aku mengangguk paham.
"Tolong rahasiakan tempat ini. Kami sudah memberikanmu kepercayaan yang tidak pernah kami berikan kepada orang lain. Lihat tempat ini. Hening, redup dan lembab."
Aku memicingkan mata. "Kenapa kalian tidak menyewa atau membeli tempat yang lebih besar dan megah di pusat kota. Aku yakin kalian pasti mampu."
Roger tergelak.
"Lihat, Nikki. Perhatikan. Ini adalah sebuah tempat yang sempurna. Tempat seperti ini mengingatkan kami akan suatu tempat."
"Tempat apa?"
"Pemakaman. Bukankah kita semua, lambat laun pasti akan menjadi penghuni pemakaman."
Aku mengangguk setuju
“Bagaimana dengan pertanyaaku tempo hari?"
Roger tidak segera menjawab. Raut wajahnya seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Ini, minumlah!" katanya sambil menyodorkan goblet yang setengah terisi.
“In vino veritas" ucapnya lirih.
Aku mengerutkan kening, mencoba memahami yang dia ucapkan.
"Dalam anggur tersimpan jawaban." katanya sambil tergelak dan meneguk anggur dari goblet-nya.
"Kamu tahu? Banyak dari kalian yang seharusnya bersyukur karena tidak mengetahui terlalu banyak rahasia. Seandainya kalian mengetahui kenyataan yang sebenarnya, hidup kalian tidak akan pernah sama lagi." Roger berbicara dengan nada serius.
Aku meneguk anggur dalam goblet-ku.
"Banyak dari kalian yang mencoba menggali rahasia, tapi tidak ada satupun yang benar-benar berhasil menemukannya. Bukan, bukan karena kalian kurang pintar. Lebih jauh dari itu, rahasia ini bukan hanya mengenai kepintaran, ini masalah penerimaan. Hati." katanya lagi menambahkan.
"Lalu bagaimana dengan tuduhan-tuduhan yang selama ini dialamatkan kepada kalian?" tanyaku.
Roger tersenyum, sepertinya dia sedang mempertimbangkan sesuatu.
"Apakah kami pernah menyangkal atau membenarkan tuduhan atas kami?"
Aku menggeleng. Roger tergelak.
"Yang mereka tuduhkan kepada kami itu benar sekaligus salah."
Aku memajukan posisi dudukku, merasa akan ada sesuatu yang luar biasa yang akan keluar dari bibir sahabat yang sudah kukenal hampir sepuluh tahun ini.
"Yang mereka butuhkan dari kami sebenarnya memang bukan sebuah pengetahuan. Mereka tetap menginginkan kami bungkam."
Aku semakin bingung, "Untuk apa?" tanyaku menyela ucapan Roger.
"Agar kalian tetap bisa merasa hidup untuk mempercepat evolusi pemikiran kalian. Mereka tidak butuh jawaban apa pun, mereka cukup bahagia dengan tumpukan pertanyaan tentang diri kami. Itulah yang sebetulnya mereka harapkan pertanyaan bifurkasional. Pertanyaan yang tidak menghasilkan jawaban pertanyaan eksponensial yang justru malah akan membenturkan mereka dengan rentetan pertanyaan baru." Roger mengangkat goblet-nya sambal tersenyum.
Aku paham yang dia maksud, kadang dalam diri manusia tersimpan sebuah cara penyembuhan mental yang aneh Manusia kadang bertanya bukan untuk mendapatkan jawaban, lebih jauh mereka bertanya hanya untuk menyenangkan rasa haus akan misteri yang -sebenarnya- mereka sendiri sadar, saat menanyakan pertanyaan tersebut mereka hanya akan mendapatkan jawaban berisi asumsi dalam ruang hampa pertanyaan bifurkasional. Pertanyaan yang berujung pada pertanyaan berikutnya yang tidak akan pernah putus.
“In vino veritas." kataku sambal mengangkat goblet-ku.
Roger memajukan duduknya.
"Selamat dating, Nikki." katanya dengan suara lembut tapi tegas. "Pertanyaan itu dapat kamu jawab bukan dengan cara bertranya kepadaku, tapi bertanyalah ke sini." Roger mununjuk dadaku.
“In vino veritas." katanya sambil meninggal sisa anggur yang tersisa dalam goblet-nya.
Komentar