Langsung ke konten utama

DEADEODEI

source: jamil21.blogspot.com



Aroma mesiu yang terasa mencekik nafas memenuhi udara. Tanah becek, air mata, keringat dan darah bercampur menjadi  lumpur. Belasan serdadu yang setengah-mati merintih, mengerang, berdoa. “Tuhan masih jauh… Tuhan masih jauh.”

Tumpukan mayat bergelimpangan, sebagian tidak utuh. Burung condor memamah usus dan jeroan mayat. Berkeok-keok, menari dan bernyanyi dalam pesta kematian.

“Air… to..long beri air… a..ir.” Seorang serdadu dengan suara terputus-putus merayap mendekatiku. Kuambil bayonet yang tesampir di pinggang lalu kutikamkan tepat di tenggorokannya, darah menyembur bagai air mancur, muncrat kemana-mana. Tubuh serdadu kelojotan lalu diam.

Aku tersenyum sambil menjentikkan korek api dan membakar sebatang rokok. Kuhisap dalam-dalam asap rokok pahit yang berpadu dengan pedasnya aroma mesiu. Nikmat.

Sambil bersandar di onggokan peluncur mortir karatan kusaksikan pemandangan sore ini. Tanah semerah darah senada dengan warna langit senja, merah, merah merekah, indah. Jerit dan erang nada putus asa dari serdadu terluka ditimpali keokan burung pemakan bangkai  yang sedang berpesta pora.

Seorang anak, kutaksir umurnya sekitar sepuluh tahun, tidak jauh berbeda dengan anakku yang sulung, datang dengan membawa seikat bunga.

“Kesini, Nak.” teriakku dengan suara parau.

Si anak datang mendekat. Bersandal jepit swallow hijau dan memakai jersey Arsenal. Senyuman polos khas anak-anak mengembang dari bibirnya, seolah batinnya sama sekali tidak terganggu dengan pemandangan sore ini.

“Paman memanggil saya?”

“iya, Nak. Duduklah sini.” ajakku.

“Itu bunga untuk siapa?”

“Untuk orang yang barusan mati, Paman.”

“Yang mana?” tanyaku. Ada ribuan mayat di sini. Sebagian sebegitu buruk rupanya sampai sulit sekali untuk dikenali.

“Yang itu.” tunjuknya, ke arah mayat yang sedang dimamah ramai-ramai burung pemakan bangkai.

“Kamu dari mana?” tanyaku lagi.

Dia tidak menjawab, hanya mengacungkan jari telunjuknya ke arah langit. Aku tersenyum.

“Berapa umurmu?”

“Ketahuilah, Paman. Aku berumur lebih tua dari apapun yang ada di dunia ini.”

“Mana teman-temanmu yang lain?”

Dia bangun lalu merentangkan tangannya. Sejauh mata memandang bertebaran anak-anak seusianya dengan baju berwarna-warni. Sebagian duduk bersimpuh di samping serdadu setengah-mati sambil membisikkan doa-doa, sebagian lagi memercik-memercikkan air dari bejana keemasan pada mereka yang mati dan sebagian lagi memberi minum serdadu terluka dengan jari-jari mereka.

“Paman sudah puas?” tanyanya tiba-tiba dengan wajah polos yang berbinar.

Aku menggelengkan kepala.

“Mau sampai kapan?”

Aku menunduk. Aku tak ingin berhenti, batinku. Pemandangan  seperti ini selalu membahagiakan. Menyaksikan darah tertumpah, menatap gelimpangan mayat dan memberikan santapan untuk burung pemakan bangkai sudah menjadi wisata yang selalu ingin aku kunjungi.

Anak itu membungkuk dan menepuk bahuku lembut.

“Saatnya sudah sudah tiba.” bisiknya sambil tersenyum.

Terdengar ledakan hebat dari langit, sebegitu keras melebihi akumulasi ribuan halilintar. Bumi bergetar hebat, mayat-mayat yang terbaring di tanah melonjak-lonjak. Gunung-gunung di balik hutan meletus. Hewan-hewan keluar dari persembunyiannya. Laut bergemuruh. Langit senja yang semula merah kini berubah hitam. Bulan pecah, bintang-bintang melompat dan bertabrakan.

Aku menatap anak itu lekat-lekat. Kuhisap rokokku dalam-dalam. Ini akan menjadi hisapan terakhir. Rokokku meletuk, lalu terbakar, apinya menjalar ke tanganku, lalu merambat terus menuju wajah dan tenggorokkan. Kunikmati saja hawa panas yang kini mengurung tubuhku.

Tidak sampai lima belas menit tubuhku gosong dan tinggal remah-remah, lalu hilang begitu saja tesapu angin.

Akhir zaman datang.

Selesai.

Jakarta, 21 Nopember 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s