Langsung ke konten utama

BIG BANG 2 PART 9

"Kamu suda siap?" tanya wanita itu. Fenna diam, tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia melemparkan pandangan ke arah lautan yang gelap. Hatinya berdebar-debar, ada rasa takut luar biasa yang dia rasakan, tapi di samping wanita yang baru saja dikenalnya ini dia merasakan kedamaian.

"Apakah kamu sering bertanya-tanya dalam hati kenapa kamu sering melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang kebanyakan orang lain tidak bisa rasakan?" wanita itu bertanya lagi.

Deg. Lagi-lagi wanita itu menanyakan suatu hal yang hanya dirinya sendiri yang yahu jawabannya. Siapa sebenarnya wanita yang kini berdiri di sampingku ini? batin Fenna.

"Dari mana kamu tahu itu? Siapa kamu sebenarnya?" Rasa penasarannya sudah tak bisa dia bendung lagi.

"Ketahuilah Fenna, ada banyak hal yang tidak mungkin dijelaskan saat ini. satu hal yang harus kamu tahu kalau kamu dan beberapa orang lainnya yang sudah terpilih harus dipersiapkan sesegera mungkin." Fenna semakin tidak mengerti.

"Kamu mewarisi semua kemampuanmu dari Huta." Fenna mundur beberapa langkah saat mendengar nama kakeknya yang sudah lama meninggal disebut oleh wanita yang baru saja dikenalnya ini.

"Jelaskan semuanya sekarang atau aku akan pergi!" Fenna mulai kehilangan kesabarannya dan sedikit mengancam.

Wanita itu mengalihkan pandangannya ke arah Fenna,  menatap matanya dalam-dalam. Ada kekuatan yang tak mampu dia lawan. Tatapannya lembut tapi sarat makna. Ada berlapis-lapis rahasia yang sulit sekali dia kupas, dengan kemampuannya yang di atas manusia yang lainpun tetap saja sia-sia. Fenna tak mampu sedikitpun membaca pikiran wanita ini.

"Baiklah, akan aku jelaskan semuanya." Wanita itu berkata, entah karena takut pada ancaman Fenna atau karena dia bisa membaca apa yang ada dalam benak Fenna.

"Ketahuilah," wanita itu memulai penjelasannya. "Ada empat jenis manusia berdasarkan kadar intelektual dan spiritualnya. Yang pertama, manusia yang kadar intektual dan spiritualnya rendah, maka jadilah mereka manusia rata-rata. Manusia kebanyakan. Mereka harus berusaha keras untuk mempelajari sesuatu, harus diiming-imingi janji Tuhan akan surga atau harus diancam akan dibenamkan dalam neraka agar mereka mau mengakui dan beriman kepada Tuhan. Yang kedua, manusia yang kadar intelektualnya rendah, tapi secara spiritual luar biasa, sayangnya karena intelektualitas mereka rendah dan kurangnya nalar dalam menganalisa sesuatu secara logis kebanyakan mereka jadi dukun, paranormal, tukang tenung dan lainnya." Wanita itu berhenti berbicara sebentar, mengalihkan pandangannya lagi ke arah laut.

"Kamu sudah paham?" Tanya wanita   Itu lagi tanpa memalingkan wajahnya ke arah Fenna.

"Lalu yang dua lagi?" Fenna semakin merasa penasaran.

Fenna bisa melihat ada senyum tipis di bibir wanita itu walau dia melihatnya dari arah samping.

"Golongan yang ketiga, mereka yang kadar intelektualnya tinggi tapi sayang secara spiritual rendah. Mereka luar dalam memahami logika, mereka tak percaya ada hal-hal yang memang kadang tidak pernah bisa dipecahkan oleh logika sederhana, kebanyakan mereka jadi ilmuwan, mereka tidak percaya Tuhan dan hal-hal terselubung lainnya. Tuhan mereka ada di atas kertas atau di dalam tabung-tabung laboratorium. Mereka adalah Tuhan untuk diri mereka sendiri. Dan golongan yang terakhir adalah kamu, Huta dan beberapa orang lainnya yang tersebar di luar sana,

"Kalian memiliki intelektualitas dan spiritualitas dalam level yang sempurna, tergantung ke arah mana kalian membawanya. Kalian diberi kelebihan sekaligus kutukan dan beban yang lebih berat yang harus kalian pikul melebihi manusia kebanyakan."

"Siapa sebetulnya dirimu?" tanya Fenna. Kini nadanya lebih tinggi.

"Aku Oma Hilda."

"Bagaimana kamu bisa mengenal kakekku?"

"Majulah!"

Komentar

Unknown mengatakan…
Bravoooo
Kutunggu lanjutannya kaka :)))
Unknown mengatakan…
Keren.. jadi pengen baca cerita sebelumnya euy
Bang Syaiha mengatakan…
Manusia dibagi menjadi empat golongan. Ide yg menarik..

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U