Langsung ke konten utama

Hujan???

Musim hujan. Musim berkah katanya, hujan itu rezeki. Sebagian lagi sibuk beres-beres berencana mengungsi. Hujan turun dari langit dengan deras, rezeki tercurah, menghanyutkan sebagian rezeki yang sudah ditimbun berbulan-bulan selama musim panas. Rezeki yang sudah dikumpulkan dengan darah dan keringat hanyut terbawa banjir. Sungai-sungai meluap terisi tumpahan darah dan keringat, larung ke laut. Disantap ikan. Ikan makan darah dan keringat. Ikan ditangkap nelayan. Lalu dimakan manusia. Manusia makan darah dan keringat manusia lainnya. Manusia jadi vampir, jadi zombie, ahahahahaha ( efek kebanyakan nonton film Resident Evil)

Ngelantur, skip... skip... skip...

Air laut, sungai, danau, selokan, got dan rawa-rawa menguap. Mengumpul di langit, terus menerus terakumulasi, langit begah menampung awan yang sedemikian banyak, kepayahan mendorong-dorong dari satu titik ke titik lainnya dan muntah.... Langit memuntahi manusia! Petir bersahutan, langit terbahak-bahak, senang sekali melihat manusia belarian menghindari muntahannya. (Kebanyakan nonton film Sun Go Kong)

Tambah ngelantur, skip... skip... skip...

Sumpah tulisan saya kali ini prett abis. Temanya aja hujan (standar banget).

Jakarta belakangan ini sepertinya sudah mulai masuk musim hujan, tapi belum merata. Kadang hujan turun seharian, kadang berhari-hari tidak hujan. Kadang pagi turun hujan tapi siangnya terik. Kadang hujannya harus dipanggil-panggil dulu baru mau turun, kadang waktu dipanggil-panggil hujannya pura-pura tidak kenal, jadilah hari itu cuaca panas sekali. Bahkan tidak jarang hujannya tidak konsisten. Pagi cerah, pas jam makan siang malah hujan, habis jam makan siang tiba-tiba cerah, pas mau pulang hujan lagi. Ampun. Bahaya, bisa bikin meriang dan panas dalam.

Setiap musim hujan, kota tempat tinggal saya (baca: Jakarta) memang langganan banjir. Saya sendiri bingung kenapa dulunya orang-orang Jakarta mau bikin member (langganan) banjir. Padahalkan lebih enak langganan koran, TV kabel atau internet, pasti lebih bermanfaat. Dan apesnya lagi daerah saya sejak dulu sudah jadi langganan tetap, saking setianya jadi langganan sampai-sampai hujan sedikit saja bisa banjir (mungkin itu bonus karena sudah jadi member selama puluhan tahun. Mungkin lho, ya!).

Pernah kejadian beberapa tahun lalu. Suatu malam tiba-tiba saja banjir, padahal tidak hujan. Kata orang-orang sih itu banjir kiriman dari Bogor. Masya Allah, padahal dari dulu saya maunya dikirimi asinan pala dari Bogor, tapi kenapa malah dikirimi air yang banyak kaya gini? Saya pikir orang-orang Bogor ini baik sekali ya. Di tempat saya harga satu pikul air saja sekitar empat ribu rupiah, sementara orang-orang Bogor waktu itu mengirim air banyak sekali, bisa jutaan pikul, belum lagi biaya ongkos kirimnya. Waktu saya coba kalkulasi tiba-tiba kalkukator saya hang.

Beberapa hari yang lalu hujan turun deras sekali sejak pagi. Untuk berangkat ke tempat kerja terpaksa saya harus pakai jas hujan. Waktu saya cari-cari kok jas hujan saya nggak ada ya? Padahal biasanya jas hujan itu selalu saya simpan di bagasi motor agar jika sewaktu-waktu dibutuhkan mudah mencarinya. Tapi sekarang hilang! Karena hampir telat terpaksa saya pinjam jas hujan ke tetangga. Lumayan, tapi waktu saya buka, Subhanallah, warnanya pink. Aduh, bukannya sok maskulin, tapi ini pink, ini pink, tambahan biar jelas.... INI PINK.

Tak ada pilihan lain. Berangkatlah saya dengan seragam tempur baru untuk melawan hujan. Jas hujan warna pink. Tidak apa-apa, kita harus menghargai barang pinjaman tetangga, kan? Lima menit lewat, saya masih di atas motor dengan seragam kebesaran saya (pasti sudah tahu lah seragam macam apa). Tiba-tiba saja hujan berhenti total, cuaca cerah sekali. Saya mulai gerah memakai jas hujan dalam cuaca seperti ini. Tiga menit kemudian saya tiba di lampu merah. Ini adalah check point yang saya suka. Lampu merah di sini canggih, ada penghitung waktunya, jadi saya merasa seperti Valentino Rossi yang sedang bersiap di garis start. Di titik ini saya merasa tampan dan macho, ahahaahhaha. Tapi dengan seragam kebesaran ini... Ah lupakan.

Angka di tiang lampu merah menunjukan angka enam puluh empat. Angka Valentino Rossi, mendengar nama Valentino Rossi saya jadi sumringah, saya di atas motor bersama puluhan motor lainnya yang antri di lampu merah. Tuas gas saya mainkan untuk menciptakan efek suara seperti pembalap siap start. Valentino Rossi wanna be is ready to start, dengan gas yang siap digeber sampai mentok, dengan seragam kebesaran warna pink ini? Lupakan... Lupakan.... Hadeh...

Beberapa detik berlalu, saya mulai mendengar ada orang yang mesem-mesem, ada juga yang tertawa di antara raungan suara motor. Saya celingukan ingin tahu apa yang terjadi.... Astagfirullah hal adzim. Mereka semua menertawakan saya. Cuaca panas, terik, saya pakai jas hujan, warna pink pula. Saya tengok lagi ke belakang ternyata cuma saya yang memakai jas hujan.

Ya Tuhan, segera keluarkan hamba dari neraka enam puluh empat detik ini. Valentino Rossi mau balik ke pit stop dan tidak mau berkarir lagi sebagai pembalap.

Banyak yang bisa ceritakan tentang hujan, tapi jari saya lelah. Valentino Rossi mau pesan wedang jahe dulu untuk menghangatkan badan. Cuaca lagi hujan nih sekarang. Bye.

#februarimembaratapiademlagikarenakesiramhujan

Komentar

Unknown mengatakan…
saya merasa seperti Valentino Rossi yang sedang bersiap di garis start. Di titik ini saya merasa tampan dan macho, ahahaahhaha. Tapi dengan seragam kebesaran ini... Ah lupakan.

Hahaha, kereeen kereeeen
Unknown mengatakan…
saya merasa seperti Valentino Rossi yang sedang bersiap di garis start. Di titik ini saya merasa tampan dan macho, ahahaahhaha. Tapi dengan seragam kebesaran ini... Ah lupakan.

Hahaha, kereeen kereeeen
Hiday Nur mengatakan…
Asyik banget buat dibaca. Renyah.. nggak eneg.. cool!!

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...