Langsung ke konten utama

BIG BANG 2 PART 10

Fenna dan wanita itu kini berdiri sejajar. Wanita itu menatap dingin ke arah laut, pandangannya tajam, wajahnya yang semula ramah berubah tegang, matanya terbelalak dan mulutnya komat-kamit seperti merapal sesuatu yang tidak bisa didengar oleh Fenna. Sudah tiga puluh detik berlalu, wanita itu masih saja bertingkah seperti tadi, Fenna terus memperhatikan semua yang dilakukan wanita itu sambil bertanya-tanya dalam hati.

Tiba-tiba saja, tanpa dia duga ada sebuah energi besar yang terangkat dari dalam laut, bergerak dengan cepat dan menghujam tepat ke dadanya. Ini persis seperti kejadian tadi pagi. Dadanya langsung terasa sesak, rasa sakit mulai menjalar dengan cepat ke ulu hatinya. Fenna terbatuk-batuk. Wanita itu masih saja berkomat-kamit. Tatapannya semakin tajam dan menakutkan. Laut bergemuruh hebat, angin semakin kencang bertiup.

Duar..!!! Tiba-tiba guntur menyambar memecah udara. Pandangan mata Fenna mulai buram. Tubuhnya ambruk ke tanah, menggelepar-gelepar menahan sakit yang semakin menjadi-jadi di ulu hatinya.

Hampir saja dia pingsan saat sebuah tangan tiba-tiba memegang pundaknya, dia mendongak ke atas. Wanita tadi sedang memegang pundaknya. Ada rasa hangat yang menjalar tiba-tiba ke sekujur tubuh Fenna, pelan-pelan merambat dan semakin kuat. Fenna hampir menguasai dirinya lagi sekarang. Dia menatap lekat-lekat ke arah wanita itu seolah meminta penjelasan atas peristiwa yang dialaminya barusan. Wanita itu kembali menatap lautan tapi dengan wajah yang lebih tenang, bibirnya tidak berhenti komat-kamit.

Secepat rasa sakit datang menyerang, secepat itu pula rasa sakit itu pergi. Tubuh Fenna segar seperti semula sekarang. Aneh. Dia duduk sambil terbatuk-batuk. Wanita itu ikut berjongkok, menatap wajah Fenna dengan tatapan seorang ibu.

"Itulah kelebihan yang kamu miliki," Fenna masih diam. "Selain bisa membaca pikiran orang lain, kamu juga bisa merasakan energi yang terpancar dari alam." Wanita itu duduk di samping Fenna. Mereka berdua duduk sambil menatap lautan. Angin masih bergemuruh hebat, ombak menampar-nampar pemecah gelombang, menciptakan loncatan air dan buih yang berputar-purar dan guntur masih terus menyambar nyambar dengan frekwensi yang semakin intens. Tapi di samping wanita ini Fenna mendapatkan kehangatan sekaligus kedamaian yang sangat. Seperti ada gelembung yang melindungi mereka berdua dari riuhnya keadaan di sekeliling mereka.

"Itulah yang akan menjadi musuh sekaligus penolong manusia," kata wanita itu lagi. Pandangannya masih menatap laut dengan kengerian yang dalam. "Dari sanalah segala petaka dimulai dan dari sana pula penyembuh dapat kita temukan."

"Laut?" tanya Fenna.

Wanita itu menggeleng.

"Air." Bisiknya pelan.

"Lalu apa peran yang harus aku mainkan?" Mata Fenna merah. Ada rasa takut yang dia rasakan saat mengajukan pertanyaan itu.

Wanita itu tersenyum.

"Ada waktunya saat kita semua akan dipertemukan, bersabarlah sedikit. Perbanyaklah berdoa dan usahakan untuk selalu berpikir positif. Hanya itulah saat ini yang bisa mengurangi rasa sakitmu dari peristiwa yang kamu alami tadi pagi dan barusan."

Fenna semakin merasa ngeri dengan wanita yang ada di sampingnya ini. Dari mana wanita ini tahu kalau dirinya memiliki kemampuan khusus yang melebihi manusia umumnya? Dari mana dia tahu jika dirinya baru saja bermimpi bertemu dengan kakeknya, Huta? Yang lebih menakutkan adalah bagaimana dia bisa tahu kalau dirinya baru saja merasakan rasa sakit yang begitu luar biasa tadi pagi seperti yang baru saja dirasakannya? Fenna bergidik membayangkan apa yang akan dialaminya nanti.

Komentar

Unknown mengatakan…
Sudah banyak aja nih cerita ternyata, keren kereeeen
Unknown mengatakan…
Sudah banyak aja nih cerita ternyata, keren kereeeen
Bang Syaiha mengatakan…
Lanutkan mas.. Setia mengikuti nih..
Bang Syaiha mengatakan…
Lanutkan mas.. Setia mengikuti nih..

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s