Langsung ke konten utama

BIG BANG 2 PART 8

"Fenna..!!" Ada suara yang memanggil namanya dari arah reruntuhan. Tiba-tiba nyalinya ciut, tubuhnya bergetar. Hantu, pikirnya. Beberapa saat kemudia suara itu kembali memanggil namanya.

"Fenna!" Dia mengumpulkan keberanian dan berusaha menoleh. Di depan reruntuhan itu kini berdiri seorang wanita paruh baya dengan setelan cardigan abu-abu dan rok hitam panjang. Syal yang melilit lehernya tampak berkibar-kibar tertiup angin laut yang semakin kencang.

"Jangan takut sayang, kemarilah!" suara wanita itu kini terdengar lebih lembut.

Dengan perasaan ragu dia berjalan pelan ke arah wanita itu. Tadinya bisa saja dia memutuskan untuk berlari, tapi rasa penasaran dalam hatinya mengalahkan rasa takutnya.

Kini dia berhadap-hadapan dengan wanita itu. Fenna menatap dari ujung kepala sampai ujung kaki, mencoba memastikan kalau wanita yang ada di hadapannya ini bukanlah hantu. Wanita itu hanya tersenyum.

Fenna wanita itu kembali menyebut namanya. Fenna masih diam. Logikanya masih belum bisa sinkron dengan semua pengalaman yang dialaminya seharian ini.

"Dari mana kamu tahu namaku?" akhirnya Fenna berani membuka suara, walaupun masih terdengar gemetar.

"Banyak hal yang tidak bisa kita jelaskan dengan logika yang sederhana. Nama saya Oma Hilda. Apakah kamu sudah bertemu dengan kakekmu?"

Deg.

Dari mana wanita ini tahu kalau dia baru saja bermimpi bertemu dengan kakeknya?

Fenna diam. Dia gamang. Terlalu banyak hal ganjil yang dia temui seharian ini. Wanita itu tersenyum.

"Mungkin ini terlalu cepat, tapi waktu kita tidak banyak lagi."

Fenna semakin bingung. Wanita itu menyadari kebingungang Fenna.

"Ikutlah!" Kata wanita sambil berjalan ke tepi pulau yang sedikit terjal. Fenna ragu, dia masih mematung di tempatnya berdiri.

Ikutlah, tidak perlu takut. Kata wanita itu lagi sambil menyorongkan tangannya ke arah Fenna.

Fenna maju mengikuti wanita itu. Dari tepian ini dia bisa melihat laut yang gelap dan suara deburan ombak menghantam pemecah gelombang di tepian. Angin semakin keras, langit gelap total, tak ada satu bintang pun yang tampak. Sepertinya akan ada badai.

Komentar

Unknown mengatakan…
Hadeuh.. bikin otot tegang bacanya..
Bang Syaiha mengatakan…
Kayak sinetron nih. Dipotong lagi seru2nya..

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s