Langsung ke konten utama

(SEMI) MANIFESTO PEROKOK (SUPER) AKTIF





“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”
Ir. Soekarno

Saya beberapa kali pernah melihat di beranda facebook saya. Ada poto seorang veteran yang sedang menyantap nasi bungkus sambil duduk di sebuah trotoar di depan  jajaran toko. Poto tersebut menjadi viral, di share ratusan bahkan ribuan kali. Ratusan komentar berjejer di bawahnya. Ribuan like! Dahsyat! Sekarang yang menjadi pertanyaan saya, apakah dengan share, like dan komentar-komentar itu lantas menjadikan sosok veteran itu menjadi lebih baik nasibnya? Coba pikir! Itulah mental kalian, mental bangsa pe-like, pe-share. Bangsa komentator!

Saya malas sebetulnya membahas perihal keumuman seperti ini. Tak ada manfaatnya, toh setelah saya maki-maki dan saya nasehati kalian, paling juga kalian langsung mengeluarkan tongkat selfie lalu memotret pakai ponsel kalian secara membabi buta. Tidak sampai seminggu lalu muncul tagar #savekewarasanuncleik. Timbul ratusan meme dengan wajah saya di edit di sana-sini. Penghinaan besar, sebuah argumen pribadi dibalas dengan assasination by community. Komunitas manggut-maanggut tanpa isi bermodal kuota dan jempol.  

Begini deh, kita langsung ke topik saja. Beberapa hari terakhir ini ketenangan saya mulai terusik, saya merasa gerah dengan berbagai pemberitaan tentang wacana kenaikan harga rokok sampai tiga ratus persen, tiga kali lipat. Gila! Apa-apaan sih ini?  Mau mengurangi jumlah perokok aktif di Indonesia? Saya dukung walaupun saya sebetulnya adalah seorang perokok (super) aktif. Tapi tidak harus dengan cara begini. Pikir dampak panjangnya. Haloooo? Setiap tahun kalian yang anti rokok juga menikmati keuntungan di sana-sini karena kami para perokok aktif. Lebih dari seratus empat puluh triliun rupiah kami sumbangkan kepada negara setiap tahun. Setiap hari kami rogoh kantung secara suka rela, kami telan asap pahit itu supaya negara tidak bangkrut! 

Uang dari kantung dan asap pahit yang harus kami telan itu menjelma jadi beras-beras murah yang kalian makan, jadi bahan bakar motor dan mobil kalian, jadi aspal yang kalian injak setiap hari, jadi jembatan, jadi listrik di rumah kalian. Maka jangan anggap lagi kami sebagai budak nikotin, hama peradaban. Diam-diam kami jadi seperti poto veteran yang sering kalian share itu. Kami pahlawan kesepian. Berjasa tapi dicampakkan, dihujat habis-habisan karena kami berbeda dari kalian. Karena kalian selalu ingin semuanya seragam.

Oke, lah kami coba berhenti merokok satu tahun. Kita lihat dampaknya. Total pekerja di industri rokok ada sekitar enam juta orang, kalau kami berhenti merokok lebih dari separuh dari mereka bisa kehilangan pekerjaan. Negara yang kalian cintai ini terbebani jumlah pengangguran gara-gara wacana sembrono yang kurang jelas ujung pangkalnya. Banyak proyek bakal mangkrak karena kurang biaya. Bakal banyak yang mati karena maintenance infrastruktur kacau, kurang biaya. Dan yang paling pasti bakal banyak yang jadi gila karena di bully habis-habisan oleh tim jempol. 

Ini kami, para budak nikotin, hama perdaban, yang kalian usir-usir dari mall karena tidak mau taat peraturan, yang dimaki-maki orang dalam bus karena tidak tahu diri merokok sembarangan. Salahkan kami, karena kami memang salah. Kami semua menanggung salah, mereka bukan oknum perokok, mereka perokok seperti saya. Paling malas kalau ada sutu perkumpulan atau komunitas membuat kesalahan, yang disalahkan malah si oknum A lah, atau oknum B lah. Katanya dalam suatu komunitas semuanya menjadi satu kesatuan. Saat ada kesalahan beberapa orang dituduh jadi kambing hitam. 

Begini saja deh, kami cinta negara ini, kami mau perekonomian negara ini terus berputar (makin cepat kalau perlu), kami tetap rela kalau harga rokok dinaikkan semau-mau kalian. Kami akan tetap merokok. Demi kami, demi negara yang kami cintai. Kami tidak akan ikut-ikutan latah karena dihujat di mana-mana lalu merubah diri kami menjadi persfektif yang masyarakat mau.

Dan untuk para pe-share, pe-like dan komentator amatiran silakan benci kami. Buat tagar sebanyak-banyaknya, buat meme sekonyol mungkin. Setelah itu kalian cari patung pahlawan atau monumen bersejarah dan ber-selfie ria sesukanya. Silakan.

#luapan marah penjual soto yang sering mangkal di pengkolan karena wacana kenaikan harga rokok dan di bully tim jempol. 

Komentar

Unknown mengatakan…
Sebagai perokok aktif Saya akan berkomentar sebagai diri Saya. Estimasinya adalah Jika Saya membeli sebungkus rokok berisi 16 batang seharga 15 ribu dalam sehari. Dengan cukai Rp.480/batang, berarti setahun terakhir Saya telah ikut andil menyumbang negara sebesar 16x480x365 = Rp.2.803.200 saya sejak delapan tahun yang lalu sudah merokok. 8X Rp2.803.200 = Rp. 22.424.000

Waahh.... Saya tidak pernah menyangka bahwa saya sedermawan itu. Nasionalisme yang tidak saya sadari. Saya jadi bangga sebagai perokok. Good
Uncle Ik mengatakan…
Ahahahaha, salam ngebul Mas Wahyu
Uncle Ik mengatakan…
Ahahahaha, itu cara pandang tukang soto langganan saya Mbak
Uncle Ik mengatakan…
Ahahahaha, itu cara pandang tukang soto langganan saya Mbak
Unknown mengatakan…
Ngrokok mati,gak ngrokok juga mati..marilah kita ngrokok sampai mati..😁
Uncle Ik mengatakan…
Gw sih gak pernah ambil pusing kalau si jokowi naekin harga rokok, gw tinggal beli rokok di warung Mang Dadang bukan beli di warung si jokowi, ahahahaha
Uncle Ik mengatakan…
Gw sih gak pernah ambil pusing kalau si jokowi naekin harga rokok, gw tinggal beli rokok di warung Mang Dadang bukan beli di warung si jokowi, ahahahaha

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U