“Anak-anak
mau muncak ke Semeru nih buat ikut upacara 17-an di sono. Lo mau ikut gak?”
Sekitar
dua minggu yang lalu seorang sahabat saya berkata seperti itu. Saya hanya
menggeleng.
“Bokek,”
gumam saya pelan.
Dia
pun ngeloyor pergi dengan muka masam,
ajakan jalan-jalannya (untuk yang kesekian kali) saya tolak. Setelah dia pergi,
saya segera beranjak ke kamar, menyiapakan seragam tempur. Jaket tebal anti
air, celana parka pendek dan sandal gunung, tidak lupa dua bungkus rokok
sekaligus pemantiknya. Bagi saya dan dunia saya sekarang, rokok ini adalah
bahasa dunia, bahasa yang dipahami oleh orang-orang yang saya temui. Bagaimana tidak, setiap saya bergentayangan di pasar dan
mengobrol dengan mamang-mamang
kuli pengangkut sayur, hanya rokok dan kopilah yang menjadi media penguhubung universal
antara saya dan mereka.
Kalau
saya memberikan sejumlah uang, terlalu menghina rasanya bagi mereka, jika saya
memberi tebengan hot spot, belum tentu mereka bisa memanfaatkan. Sejauh yang saya
lihat, mereka sudah cukup bahagia dengan handphone
berlayar monokrom dan ring tone polifonik
yang ada lagu Goyang Dumang-nya.
Kalau
pasar sedang sepi biasanya saya nongkrong di alun-alun, memandangi orang-orang
yang lalu lalang. Momen seperti ini saya manfaatkan untuk mengobservasi tingkah
laku manusia dalam bersosialisasi (keren kan istilahnya, padahal kerjaan saya cuma
duduk-duduk doang).
Banyak
hal unik yang saya temukan, yang paling utama saya rasakan adalah manusia
modern ini begitu haus akan eksistensi, mereka kurang kasih sayang, mereka
ingin diperhatikan. Dari beberapa kumpulan yang saya observasi, lebih dari
setengah anggota kumpulan mereka merasa harus mendominasi, harus menjadi alfa dalam kelompok. Caranya? Gadget harus mumpuni, tampilan semodis
mungkin, kendaraan harus kinclong.
Belum
cukup sampai di situ, agar terkesan lebih tajir
biasanya mereka merasa harus membela diri dengan memamerkan kemewahan yang
pernah mereka rasakan.
“Udah pernah ngopi di star*uck belom? Kopi
di sana mantap rasanya.”
“Lo pernah, nyobain es krim dari Belgia belom? Gila lembut banget dah!”
Atau,
“Kenapa
gue ngerasa hape aipon 6s yang baru gue beli di Singapura minggu kemaren rada lemot ya?” (mau nanya apa mau nyombong?”)
Biasanya
saat mendengar selentingan itu saya hanya senyun-senyum sambil menyetop ibu-ibu penjual kopi keliling
yang lewat di depan saya.
“Kopi
item satu sama bala-balanya tiga ya,
Bu!”
“Siap,
Den.”
Si
ibu tiba-tiba pergi.
“Mau
kemana, Bu?”
“Termosnya
kelupaan, belom dibawa. Titip dulu dagangannya ya!”
Hadeh,
si Ibu gima sih jualannya?
Sebetulnya
dari dulu saya ingin sekali belajar fotografi, mencoba menangkap momen-momen
indah, melukis cahaya, mengabadikan kenangan. Tapi apa mau dikata, harga kamera
monyong (baca: DSLR) mahal, paling murah sekitar empat jutaan! Namun, Tuhan
Yang Maha Baik dengan kasih-Nya yang tak pernah terhitung, menjawab doa saya
dengan begitu cepat.
“Gue perhatiin blog-lu kagak ada potonya.”
“Bokek,
kagak sanggup buat beli kamera.”
“Gue baru beli kamera, nih. Gimana kalau gue masukin poto-poto gue ke dalem tulisan lu?”
“Ide
bagus.”
Bayangkan,
tanpa harus membeli kamera, tiba-tiba ada yang menawarkan diri untuk mengisi
bagian poto untuk tulisan saya. Saya bisa dapet paket lengkap: kamera, hasil
poto sekaligus tukang potonya. Alhamdulillah.
(tulisan
ini tanpa poto karena tukang potonya lagi
pilek, katanya.)
Beberapa
hari yang lalu, teman saya yang mengajak muncak
ke Semeru sudah pulang. Dari hasil jalan-jalannya itu dia berhasil mengambil
ratusan poto. Keren-keren dan gagah-gagah deh
potonya. Ada poto para pendaki yang dengan gagahnya menggendong ransel besar di
punggung, ada juga poto pendaki yang sedang mencium bendera merah putih di puncak
Mahameru. Keren sekali, saya iri.
“Lo sih, kalo di ajak jalan kagak
pernah mau.”
“Bokek.”
kataku mencoba membela diri.
Saat
saya buka sosial media, di Instagram,
di facebook, di DP BBM, whatsapp, Path, Twitter dan
lain-lain, semua memajang poto yang sama, poto pendakian yang keren-keren. Saya
tambah iri. Belum lagi kalau setelah libur panjang, beranda saya penuh dengan
poto-poto liburan, ada yang selfie di
bandara, di Bali, di pulau eksotis, di rel kereta (yang ini saya nggak tahu tujuannya apa).
Tapi biarlah,
setiap orang mempunyai cara menikmati waktu luangnya dengan cara masing-masing.
Dan
kalau ada yang mengajak saya jalan-jalan ke tempat yang wah, saya pasti sudah siap menjawad secara diplomatis.
“Bokek!”
Dan
teman-teman saya pun berlalu dengan muka
masam.
“Bokek!”
Komentar