Langsung ke konten utama

MEREKAM KENANGAN-SI PONI

sumber : maaf, lupa




Pagi itu aku terbangun dengan keadaan kepala sakit. Pasti karena semalam tidurku terlalu larut, pikirku. Kulihat jam yang ada di meja, sudah pukul 06.30. aku bangun dari tempat tidur dan segera berjalan menuju ke arah jendela, kusibakkan tirai, sinar matahari pagi yang cerah masuk menerobos kaca jendela, perlahan-lahan suasana kamarku mulai terasa hangat.

Ini hari pertama dari cuti dua mingguku dan kurencanakan akan menulis sebanyak-banyaknya tentang masa laluku yang masih bisa kuingat.

Setelah cuci muka dan menggosok gigi aku pergi ke dapur untuk menyeduh kopi. Sambil duduk-duduk dekat jendela kucoba mengingat-ingat peristiwa di hari pertama aku sekolah di SMP. Buram. Kucoba lagi. Masih buram. Aku menarik nafas panjang. Memori masa laluku seperti ter-reset. Aku tak bisa menggapai satu kenangan pun.

Kugenggam gelas kopi yang masih panas.

Treeetttt.... Treeettt….

Alarm dari hape-ku berbunyi nyaring. Tiba-tiba pikiranku tersedot. Momen yang aku nanti-nantikan datang. Tanpa buang waktu lama segera kuraih laptop dan menyalakannya.

*****

Treeetttt.... Treeettt….

Bel istirahat berbunyi nyaring.

Jam istirahat di hari pertamaku sekolah di SMP. Sebagian anak-anak langsung beranjak ke kantin, sebagian lagi masih ada yang sibuk memasukkan buku ke dalam tas. Aku sendiri malas ke kantin, aku sedang ingin menghemat uang jajanku. Rencananya aku ingin membeli tamagochi dari uang jajan yang aku kumpulkan.

“Ke kantin nggak, Nik?” tanya Indra, teman sebangkuku.

Nggak dulu deh, masih kenyang.” jawabku.

Indra pun pergi meninggalkanku dan segera menuju kantin.

Nggak ke kantin?” Tiba- tiba saja ada suara perempuan yang menegurku dari samping.

Aku menengok. Si poni.

Nggak, masih kenyang.” jawabku.

“Ini.” katanya, sambil menyodorkan sapu tangan yang kemarin aku berikan kepadanya.

 Udah gue cuci kok.”

Aku hanya tersenyum, lalu mengambil sapu tangan dan langsung memasukkannya ke dalam tas.

“Nama lu Nikki, kan?”

Aku mengangguk.

“Yeni,” si poni meyodorkan tangannya.

”Nikki Kusuma,” balasku.

“Yeni Amelia Kusuma Ningrum. Tapi panggilnya Yeni aja ya.”

“Nama kita samaan ya, ada Kusuma-nya.”

Si poni cuma tersenyum.

“Hei.. Yeni! Ikut ke kantin, Yuk. Gue traktir deh.” Tiba-tiba ada suara dari arah jendela yang mengangetkan kami. Jendela kelas kami memang tidak dilapisi kaca, hanya ditutup menggunakan teralis besi.

Si poni tidak menanggapi suara itu.

“Ada yang mau nraktir di kantin, tuh.” selorohku.

“Males ah, norak anaknya.” Kami berdua tertawa.

Kutengok ke arah jendela. Lelaki itu masih berdiri di sana, tubuhya terbilang bongsor untuk ukuran anak kelas satu SMP. Dia memandang ke arahku, mata kami bertemu. Detik itu juga aku merasakan ada kecemburuan dari tatapannya.

“Baru sehari masuk sekolah, tapi lo udah punya fans, ya?” sindirku.

 “Iya dong, Yeni gitu, lho.” tawa kami berderai. Beberapa pasang mata memandang ke arah kami, tapi kami tidak peduli. Obrolan kami terus berlanjut.

“Sayang ya, lo nggak jadi ketua kelas.” ucapnya tiba-tiba menghentikan tawa kami.

“Siapa juga yang mau jadi ketua kelas? Dari tiga puluh delapan anak, cuma empat orang yang milih gue.” timpalku sambil tertawa.

“Padahal gue milih lo tadi pas pemilihan ketua kelas.” Tawaku berhenti.

“Kenapa lo milih gue?” tanyaku heran.

“Karena gue pikir lo cocok jadi ketua kelas.”

Tau dari mana kalau gue cocok?”

“Dari kemaren.”

“Hah?”

Lo inget gak waktu MOS kemaren?”

Emang ada apa waktu MOS?”

Si poni menatap ke arahku dengan pandangan heran.

Gue jitak juga nih kepala lo. Waktu MOS kemaren, kan cuma lo yang mau nolongin gue.”

“Oh cuma gara-gara sapu tangan itu lo milih gue?”

Emang nggak boleh?”

“Boleh sih…”

Lagian gue nggak merasa sreg sama si Tomi. Rada songong anaknya.”

Aku hanya manggut-manggut mendengarkan pendapatnya. 

“Tapi biar bagaimanapun juga, dia sah jadi ketua kelas. Kan tadi kita diajarin tentang demokrasi sama Pak Sinaga.”

“Iya juga sih, tapi bodo amatlah. Gue juga sebetulnya kaga niat jadi sekretaris kelas. Kerjaannya cuma nyatet doang, ahahaha..” Tawa si poni kembali berderai.

“Cieee yang baru diangkat jadi sekretaris kelas.” ledekku.

“Apaan sih?!” Si poni tiba-tiba cemberut.

Ada keheningan sejenak di antara kami. Lalu tawa kami meledak lagi. Beberapa pasang mata kembali melirik ke arah kami. Kami tambah tidak peduli. Kami terus tertawa.

Diam-diam aku memperhatikan si poni. Firasatku tiba-tiba saja aktif. Akan ada sesuatu yang besar yang akan terjadi di antara kami. Bukan hanya besar tapi sangat besar. Aku menunduk sejenak, berdoa semoga saja firasatku salah. Tapi takdir menjawab doaku dengan jawaban yang tidak pernah aku inginkan.

*****

Matahari pagi mulai naik. Punggungku hangat. Kopi di gelas sudah tinggal setengah. Laptop-ku sudah mulai habis baterainya. Aku bangun meregangkan punggung. Kutarik nafas dalam-dalam. Aku tersenyum , sambil berjalan menuju pintu tempat handuk disampirkan aku menyenandungkan lagu Come As You Are-nya Nirvana.

“Come as you are
As you were
As I want you to be
As a friend
As a friend
As an old enemy….”

Untuk bincang-bincang dan curhat (bukan tutorial ya) cuma ngobrol santai saja tentang kepenulisan silakan follow saya di:
Twitter: @achmadikhtiar
Facebook : Achmad Ikhtiar
Facebook Fan page : @achmadikhtiarauthor
Whatsapp : 0822 1056 4407
BBM : 5A8647EC
Instagram : achmadikhtiar
Line id: idiotroom

Free coffee 'till drop!
Ciao!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s