Langsung ke konten utama

BUAT DIA YANG LUPA

Jam sebelas malam waktu itu kalau aku tidak salah ingat. Saat itu aku sedang berbaring santai di kamar sambil iseng membaca-baca artikel di handphone. Tiba-tiba ponsel yang aku genggam berdering. Sederet nomor yang aku tidak kenal muncul dilayar. Siapa yang menelepon malam-malam begini? Batinku. Kuangkat ponselku dan suara wanita yang terdengar parau mengalun ditelinga, sekilas aku seperti mengenal suara wanita ini.

“Nikki?” katanya. Suaranya gabungan antara orang yang sedang terkena flu berat dan habis menangis seharian.

“Iya, maaf ini siapa?” tanyaku berusaha meyakinkan.

“Ini  Amelia.”

Hening beberapa saat.

“Amelia yang mana, ya?” tanyaku lagi dengan nada sepolos mungkin.

“Amelia mantan pacar kamu waktu SMA  dulu, masih ingat?” suara wanita di seberang telepon  itu semakin  bertambah berat. Firasatku mengatakan ada sesautu yang besar sedang terjadi dalam episode hidup wanita ini.

“Iya, ada apa Mel?”

“Kamu bisa ke sini sekarang?”


“Ada apa?”

“Maaf… Nikki… Maaf…” tiba-tiba saja suara Amelia berubah menjadi histeris dan emosional.

“Maaf kenapa, Mel?”

“Maaf kalau dulu aku pernah melukai kamu, aku mencampakkan kamu dan laki-laki lain. Maaf Nikki.” Amelia mengatakan kata-kata itu dengan penuh emosi.

“Santai saja, Mel. Aku sudah memafkan ka…”

“Aku tidak pantas hidup Nikki. Aku mau bunuh diri”

Deg. Kenapa jadi aneh seperti ini. Wanita ini pasti sedang mabuk, pikirku.

“Tenang, Mel! Tenang!”

“Selamat tinggal Nikki.”

Tuuut…tuuut…tuttt.

Sambungan telepon diputus tiba-tiba. Aku menatap layar ponselku, berharap kejadian barusan cuma mimpi atau halusinasi. Ku cek panggilan masuk. Nomor yang tadi meneleponku masih tertera di sana.

Gawat, batinku. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Instingku bekerja lebih cepat dari nalarku. Dengan gerakan tercepat yang aku bisa, aku sambar jaket yang menggantung di gantungan baju, kurogoh kantungnya dan segera mengeluarkan kunci motor.

Tergopoh-gopoh kudorong motor keluar dari halaman karena takut membangunkan anggota keluarga yang lain. Sesampainya di tepi jalan dengan cepat kuputar kunci motor dan menjalankan starter. Suara motor menderu di malam yang sepi ini.

Tanpa pikir panjang kutarik kuat-kuat tuas gas. Perjalanan dari rumahku ke rumah Amelia membutuhkan waktu hampir empat puluh lima menit. Aku harus cepat. Aku harus cepat. Firasatku mulai merasa tidak enak. Gambaran-gambaran yang menakutkan mulai hadir dalam kepalaku.

Sial, karena terburu-buru aku lupa memakai jaket. Dingin sekali naik motor malam-malam dengan kecepatan penuh hanya memakai kaus dan celana pendek. Untunglah helm selalu aku aku sampirkan di gagang spion sehingga tidak terlupa.

Kira-kira setengah jam lebih, aku sampai di depan rumah Amelia dengan tubuh setengah menggigil. Keadaan sepi. Semua lampu mati. Semoga saja telepon tadi bukan akal-akalan untuk mengerjaiku.

Dengan ragu aku mendekati pintu lalu mengetuk pelan. Tak ada jawaban. Aku ketuk lagi. Nihil. Dengan rasa penasaran yang semakin memuncak aku coba memutar gagang pintu. Tidak dikunci. Pintu terbuka sedikit. Ruangan gelap, tak ada satu lampu pun yang menyala. Kubuka pintu sedikit lebih lebar. Melalui cahaya bulan yang menerobos lewat jendela kaca kutemukan Amelia tertidur di sofa.

“Mel,” bisiku dengan nada ditahan karena takut terdengar terlalu keras. Tak ada reaksi.
Kuberanikan untuk mendekat. Ada yang janggal. Posisi tidurnya tidak wajar. Kunyalakan lampu duduk yang ada di meja. Saat lampu menyala sebuah pemandangan yang tak pernah aku inginkan terpampang jelas.

Tubuh amelia yang putih kurus dengan rambutnya yang panjang menutupi sebagian wajahnya dan mulut yang berbusa. Aku panik, bingung apa yang harus aku lakukan. Kutampar-tampar saja wajahnya dengan panik, dia terbatuk dan menyemburkan busa yang ada di mulutnya. Berbutir-butir obat tidur berserakan di atas sofa dan lantai. Jelas sekarang dia tidak main-main dengan ancamannya.

“Nikki… Nikki… “ gumamnya. Syukurlah dia belum mati.

“Mel. Sadar Mel!” Kucoba mengangkat tubuhnya dan menyandarkan di sandaran sofa.

“Nikki, akhirnya kamu datang juga.” Suara Amelia terdengar lemah.


“Sudahlah, jangan banyak bicara dulu.”

Kupapah tubuh Amelia menuju motorku di halaman. Jujur saja aku tidak tahu apa yang harus kulakukan saat itu. Satu tempat yang kupikirkan hanya rumah sakit terdekat.

Untunglah kondisinya tidak terlalu parah, dia masih bisa duduk di atas jok motorku dengan stabil walaupun bobot tubuhnya terus dia sandarkan ke tubuhku. Sepanjang jalan dia bercerita tentang  cinta lama kami yang sudah kandas. Jelas sekali dia mabuk berat, aroma alkohol tercium jelas.   

Sampai di rumah sakit dia langsung dibawa ke UGD. Kata dokter, Amelia minum terlalu banyak obat tidur dan kandungan alkohol dalam darahnya terlalu tinggi. Untunglah dia bisa bertahan hidup. Aku bergidik membayangkan semua peristiwa yang aku alami dalam beberapa jam terakhir. Setelah keadaan kurasa cukup kondusif, kupaksakan untuk tidur di kursi tunggu. Beberapa menit kemudian aku sudah tertidur.

Pagi-pagi sekali, sekitar pukul lima aku terbangun. Punggungku terasa sakit sekali, mungkin karena alas tidurku semalam kurang nyaman. Dengan langkah malas kupaksakan untuk pergi ke toilet untuk membasuh wajah. Setelah itu aku tengok keadaan Amelia sebentar. Miris. Wajah Amelia yang dulu-seingatku-segar dengan pipinya yang tembam, kini terlihat tirus dan cekung. Tapi semua itu tidak sedikitpun menyembunyikan aura kecantikan dari wajahnya.

Amelia masih tertidur pulas dengan selang infus menancap di tangan. Kuputuskan untuk pulang ke rumah dulu sebentar, mengambil beberapa helai pakaian dan makan. Siangnya sekitar pukul sepuluh aku kembali lagi untuk menjenguk Amelia.

Di depan pintu kamar UGD keadaan ramai, aku masuk ke ruang tempat Amelia di rawat. Ada beberapa orang di sana. Kuduga keluarga Amelia yang datang menjenguk. Aku beranikan masuk dan menyapa semua oraang yang ada di sana.

“Maaf, Anda siapa ya?” tanya seorang ibu berusia sekitar separuh baya yang kuduga adalah ibunya Amelia.

“Saya Nikki, Tante.” Jawabku singkat.
“Temannya Amelia?” tanyanya.
Salahku dulu selama berpacaran dengan Amelia tidak pernah mau dikenalkan dengan orang tuanya.

“Saya yang membawa Amelia ke rumah sakit tadi malam, Tante.” jawabku sambil mataku terus melirik ke arah Amelia yang sibuk berbicara dengan seorang laki-laki. Kakaknya Amelia, pikirku waktu itu.

“Oh, terima kasih banyak, Nak Nikki atas bantuannya semalam. Kalau tidak ada Nak Nikki saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada Amelia.”

“Maaf Tante, kalau saya boleh tahu kenapa Amelia sampai bisa begitu nekat melakukan aksi bunuh diri.”

Ibunya Amelia melirik ke arah Amelia sebentar.

“Bisa kita bicara di depan Nak Nikki?” katanya dengan raut wajah seperti menutupi sesuatu.

Aku menganggukan kepala. Kami berdua berjalan ke arah koridor.

“Sebetulnya ibu tidak ingin menceritakan hal ini kepada siapapun selain anggota keluarga. Tapi, berhubung kami berhutang budi atas kebaikan Nak Nikki saya akan menceritakan semuanya,

“Beberapa minggu terakhir Amelia menderita depresi karena kami menjodohkannya dengan lelaki yang kami pilih.”

Deg.

“Lelaki yang sedang bercakap-cakap di dalam dengan Amelia adalah calon suami Amelia, kami sudah memberi pengertian pada Amelia, nampaknya dia mulai mengerti bisa mengerti dan bisa menerima.”

“Syukurlah,” kataku singkat sambil menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba aku merasa seperti ada beban yang menghimpit dadaku, tapi aku tak tahu apa. Entahlah.

“Boleh saya menemui Amelia, Tante?”

“Oh, tentu saja. Silakan.”

Dengan langkah gontai aku masuk beriringan dengan ibunya Amelia.

“Amelia. Nak  Nikki ini ternyata adalah orang yang sudah menyelamatkanmu tadi malam.”

Amelia menatap wajahku lekat-lekat.

“Terima kasih banyak, Mas.” ucap Amelia singkat.

“Sama-sama.” jawabku.

“Aku Nikki.” Entahlah, tiba-tiba saja aku berkata seperti itu. Aku merasa janggal dengan sikap Amelia.

“Oh, iya. Terima kasih banyak Mas Nikki.”

Suasana tiba-tiba terasa canggung. Seisi ruangan hening. Aku mengucapkan sesuatu yang seolah-olah menandakan aku ingin dihargai atas jasa-jasaku. Tapi tujuanku bukan itu, aku hanya ingin memastikan kalau Amelia masih ingat kepadaku. Memastikan kalau Amelia ingat kalau tadi malam dia sudah meneleponku, mengancam bunuh diri dan memintaku untuk datang.

Beberapa detik berlalu. Rasa canggung semakin kuat. Udara yang menyelimuti ruangan bagiku sekarang menjadi terasa seperti dinding tebal yang membuatku sesak.

“Baiklah kalau begitu saya permisi.” kataku cepat.

Dengan langkah kaki yang seolah mengambang kutinggalkan ruangan itu, segera menuju area parkir tempat kuparkirkan motorku.

Kuambil sebatang rokok dan kubakar. Asapnya kuhembuskan kuat-kuat. Asap rokok yang pekat membumbung lalu mulai pecah terurai.


Kutarik nafas dalam-dalam. Biarlah semua kenangan ini tetap menjadi kenangan. Dering telepon tadi malam, mulut yang berbusa, obat tidur dan selang infus cukup menjadi saksi. Entah kenapa pada titik ini aku justru malah merasa bahagia. Setidaknya Amelia, satu nama yang pernah menjadi sosok terpenting dalam hidupku kini sudah menemukan pegangan hidupnya, orang yang kuharap akan menemaninya sampai Amelia suatu saat menghembuskan nafas terakhirnya di atas ranjang yang hangat ditemani anak dan cucu yang mungkin suatu saat akan dia miliki.      

Komentar

Vinny Martina mengatakan…
Kang ikhtiar tuh merendah... apa ngeledek yah.. ini tulisannya bagusssss banget! Masa bilangnya gak bisa nulis fiksi yg ada dialognya.
Uncle Ik mengatakan…
Ahahahaha, itu diajarin temen Mbak buat bikin dialog nya
Unknown mengatakan…
Keren dan khas. Antiklimaksnya penuh tanda tanya. Penulis berhasil membuat saya (pembaca), bertanya-tanya. Apakah Amelia berpura-pura tidak kenal nikki? Atau Dia terbangun dalam keadaan Amnesia akibat alkohol ditambah obat tidur yang diminumnya? Entahlah. Ada kenalan dokter buat konsultasi nggak? 😁
Uncle Ik mengatakan…
Itu yang saya suka, ngajak pembaca ikut berpikir. Itu yang membuat saya merasa lengkap, pembaca ikut terlibat menyelesaikan tulisan yang hampir selalu saya buat seolah olah tidak selesai
Uncle Ik mengatakan…
Itu yang saya suka, ngajak pembaca ikut berpikir. Itu yang membuat saya merasa lengkap, pembaca ikut terlibat menyelesaikan tulisan yang hampir selalu saya buat seolah olah tidak selesai
Unknown mengatakan…
Seperti berakhirnya kolonialisme di Indonesia mas. Diselesaikan para pendahulu lewat Proklamasi kemerdekaan. Tapi seolah-olah tidak selesai, kita generasi bangsa selanjutnya pun ikut berpikir dan terlibat dalam meneruskan cerita selanjutnya. Arep dadi opo le.... 😑
Unknown mengatakan…
Seperti berakhirnya kolonialisme di Indonesia mas. Diselesaikan para pendahulu lewat Proklamasi kemerdekaan. Tapi seolah-olah tidak selesai, kita generasi bangsa selanjutnya pun ikut berpikir dan terlibat dalam meneruskan cerita selanjutnya. Arep dadi opo le.... 😑
Wiwid Nurwidayati mengatakan…
Keren...biasa nya tulisannya ngocol melulu
Wiwid Nurwidayati mengatakan…
Keren...biasa nya tulisannya ngocol melulu
Uncle Ik mengatakan…
Diomelin Mbak Wid, katanya mulai sekarang saya harus lebih serius nulisnya 😥
Unknown mengatakan…
Yeayy! Okaeri Ikhtiar~saaan :D
Uncle Ik mengatakan…
Okaeri juga intan~saan
Uncle Ik mengatakan…
Okaeri juga intan~saan

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s