MEREKAM KENANGAN 3
Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa
di salah satu SMP negeri di sekitar jalan Blandongan. Hari terakhir aku memakai
seram putih merah. Banyak yang bilang saat yang paling indah adalah saat SMA,
tapi untukku aku bisa menikmati semuanya dari hari pertamaku masuk SMP sampai
tahun kemarin, tahun di mana aku dipaksa memahami bahwa takdir lebih kuat dari
cinta.
Aku kurang bisa menyimak sisa pidato dari kepala
sekolah. Perhatianku tertuju ke langit di atas sana, awan hitam semakin tebal
bergulung-gulung dan angin semakin hebat bergemuruh. Sebentar lagi pasti hujan,
batinku.
Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama.
Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak
mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik
Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang
untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi
tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula.
Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh.
Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir
tampak diiringi suara guruh yang samar.
“Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang
aku tahu itu pasti salah satu seniorku.
“Ini cewek tengil
amat. Mau beken di sini, hah?”
Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang
di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang
bersandar di pagar sekolah.
“Perut aku sakit, Kak.” katanya dengan nada memelas.
Wajah gadis itu pucat.
“Alasan saja. Cepat gabung ke barisan.” Teriak salah
seorang seniorku dengan wajah garang.
Gadis itu berjalan perlahan lalu masuk ke barisan,
tepat di samping kananku. Aku melirik sebentar ke arahnya. Dia menangis, suaranya
tangisnya ditahan, entah karena takut atau karena alasan lain.
“Ini, pakai ini.” kataku pelan. Gadis itu menengok
ke arahku. Aku mengangguk. Dia tampak ragu.
Aku sodorkan sapu tanganku.
“Buruan!” kataku dengan suara sedikit lebih keras.
Dia menerima sapu tangan yang kuberikan dan mulai mengelap air matanya.
“Ini,” katanya sambil menyodorkan kembali sapu
tangan tadi.
“Pake dulu
aja.” Dia mengangguk, poni yang
menutupi dahinya terguncang-guncang.
“Ehmm.. Tes.. Tes.. 1 2 3..” Suara kepala sekolah
terdengar dari pengeras suara. Semua mata memandang ke arah mimbar tempat
kepala sekolah berdiri.
“Anak-anak yang saya cintai dan segenap jajaran guru
yang saya hormati. Alhamdulillah, pada hari ini kita sudah berhasil
menyelenggarakan acara Masa Orientasi Siswa selama tiga hari di sekolah”
Nguuiiinggg…
Suara pengeras suara terdistorsi.
“Tes… Tes… Ehmmm… selanjutnya…..”
Hampir setengah jam kepala sekolah menyampaikan
pidatonya yang berapi-api, tujuannya tak lain adalah agar kami, para siswa baru
di sekolah ini memiliki semangat untuk memulai pendidkan kami di jenjang yang
baru ini.
Hari hampir maghrib. Lapangan sudah sepi, hanya
tinggal beberapa orang yang masih sibuk merapikan peralatan bekas upacara
barusan. Aku masih berdiri di koridor, gerimis sejak tadi belum juga reda.
“Hei, terima kasih ya sapu tangannya.” Tiba-tiba si
poni menyapaku.
“Eh, iya. Sama-sama.”
“Belum pulang?”
“Lagi nunggu gerimis
berhenti dulu.”
“Memanganya kamu pulang ke mana?”
“Tanah Sereal.”
“Wah, deket dong. Aku di Kampung Jawa. Pulang naik
apa?
”Jalan kaki, makanya nunggu hujan berhenti.”
“Mending pulang naik bareng angkot aja, kita kan searah.”
Kuraba saku seragamku. Aku menggelengkan kepala.
Uang yang diberikan ibuku sudah habis tadi siang untk beli tek wan di kantin.
“Aku janji sama teman mau pulang bareng.”
“Oh gitu, ya sudah kalau begitu aku pulang duluan
ya.”
“Oke.”
Adzan maghrib mulai terdengar, suasana semakin
gelap. Sekolah mulai sepi. Dengan langkah malas aku melangkah menuju gerbang. Gerimis
sudah mulai sedikit berkurang. Tas kugunakan untuk menutup kepala, sambil
berlari-lari kuterobos gerimis untuk pulang ke rumah.
…bersambung…
Komentar
...Bersambung...
...Bersambung...
...Bersambung...
.. Tamat..