MEREKAM KENANGAN 4
~ Tanamkanlah di batinmu tunas nusa, kalimat tulang punggung negerimu. Penataran terlebih baik seusiamu, agar masuk merasuk tulang sum-sum~
Rita Ruby Hartland/ Bulu Garuda
foto oleh: finniafnilia.blogspot.co.id |
Surprise!!
Aku masuk kelas 1-4 dan Pak Sinaga adalah wali
kelasku. Beliau mengajar mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila)
sekarang sudah diganti menjadi PKn (Pendidikan Kewarganegaraan). Kami masuk
bersamaan ke dalam kelas.
“Sekarang kau cari posisi duduk yang enaklah!” kata
Pak Sinaga kepadaku.
Aku edarkan pandangan, menyasar kemungkinan posisi yang
paling strategis untuk aku tempati. Ternyata Si Poni satu kelas denganku, dia
duduk di deret ketiga dari arah pintu, baris ke dua dari depan. Kami bertatapan
sekilas.
“Ei, Bujang. Kenapa kau diam saja? Lekas ambil
posisi kau!” Suara Pak sinaga mengangetkanku. Dengan cepat aku berjalan. Ada satu
kursi kosong di bagian belakang paling pojok. Posisi yang paling aman, pikirku.
Tanpa aku sadari itu adalah keputusan yang segera akan aku sesali di hari-hari
selanjutnya. Aku duduk satu meja dengan Fikri.
“Oke. Lah.Perkenalkan dulu nama bapak adalah Sinaga.
Bapak yang akan jadi wali kelas kalian di kelas 1-4 ini. Bapak mengajar
pelajaran PMP.” Seisi kelas diam mendengarkan penjelasan dari Pak Sinaga.
“Sebelum kita pilih perangkat kelas, Bapak mau
kalian maju satu-satu sesuai nomor absen.”
“Anna,” gadis berbando biru yang duduk dekat pintu
mengangkat tangannya.
“Maju ke depan kelas, Nak!” panggil Pak Sinaga.
Anna maju ke depan kelas, wajahnya tampak malu-malu.
“Perkenalkan diri kau di depan teman-teman kau!”
“Nama saya Anna, saya tinggal di Kemurnian, saya
berasal dari SD Al-Muttaqien.”
“Sekarang bacakan Pancasila!”
Wajah Anna mendadak pucat.
“Ayo lah.”
Anna menundukkan kepalanya.
“Tidak hafal kau?” tanya Pak Sinaga sambil bangun
dari kursinya.
Anna menggeleng, wajahnya mulai memerah.
Pak Sinaga mengedarkan pandangan matanya ke seisi
kelas.
“Siapa lagi di kelas ini yang belum hafal Pancasila?”
Suara Pak Sinaga menggelegar, mengagetkan seisi kelas
.
“Sekarang begini saja lah,” katanya sambil
menggoreskan kapur di papan tulis. Teks pancasila terpampang besar-besar di
papan.
“Kalian tulis teks Pancasila ini lalu hafalkan. Sepuluh
menit dari sekarang kalian sudah harus hafal. Lebih baik Bapak tidak kenal
kalian dari pada Bapak kenal kalian, anak muda Indonesia yang tidak hafal
Pancasila. Bikin malu!” Tampak raut kecewa di wajah Pak Sinaga.
Seisi kelas buru-buru menyalin teks tersebut dan
mulai menghafal. Beberapa menit kemudian kelas mulai ramai dengan suara anak-anak menghafalkan teks pancasila secara berulang-ulang.
Diam-diam kuperhatikan Pak Sinaga tersenyum.
*****
Kutengok jam yang
tertera di sebelah kanan layar laptop. Jam setengah dua, tapi aku belum
ngantuk. Kopi yang kuseduh tadi sudah tandas tinggal ampas. Aku besandar di
sandaran sofa, mencoba meregangkan punggungku yang pegal.
Aku bergumam pelan, Pancasila… Satu…
Aku masih hapal betul teks itu, sebuah pelajaran paling
penting sudah diberikan Pak Sinaga di hari pertama kami masuk sekolah. Pelajaran
agar kami mengenal betul siapa diri kami. Malulah jadi cerdas, malulah jadi
kaya, malulah jadi terkenal kalau teks pancasila saja tidak hafal. Lima kalimat
yang menjadi dasar Republik Indonesia ini.
Terima kasih banyak pak, gumamku lirih tidak kepada
siapa-siapa.
Mataku perih, mungkin karena terlalu lama menatap
layar laptop. Kumatikan laptopku dan naik ke lantai dua menuju balkon. Hujan sudah
reda, tinggal tersisa hawa dinginnya saja. Dari atas balkon aku bisa menatap
jelas kelap-kelip kota Jakarta. Kota yang tidak pernah tidur.
Di sebelah tenggara rumahku, di sanalah letak
sekolahku dulu. Tidak terlihat dari balkon rumahku, walau jaraknya hanya
sekitar satu kilometer tapi sudah banyak gedung-gedung bertingkat baru yang dibangun.
Dulu aku masih bisa melihat gedung SMA berlantai tiga yang aku jadikan penanda
gedung SMP-ku. Jakarta sudah banyak berubah, batinku.
Aku menguap, tubuhku sudah mulai letih. Lebih baik
aku baringkan dulu tubuhku, jangan terlalu lelah agar proses penyembuhan
penyakitku bisa berjalan lebih cepat.
Selamat malam.
…bersambung…
Komentar
Btw ini real story ya yg cerita disekolah itu?
Btw ini real story ya yg cerita disekolah itu?