“Aku hanya ingin sebuah kehidupan
yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat
hari gerimis.”
E-mail itu aku terima sekitar tiga
bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah
potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.
Jam
sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut
yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang
pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku
bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng. Lumayan, aku bisa mengecek e-mail
dan facebook sekalian browsing. Siapa
tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.
Menyedihkan
memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini,
tetap saja aku harus bersusah payah nebeng
hotspot tetangga untuk sekedar mendapatkan akses internet. Harga pulsa terlalu
mahal, untuk aku yang pengangguran ini jelas-jelas harganya tidak masuk akal.
Sampai
di depan gerobak nasi goreng Bang Anwar aku mengangkat jari telunjuk tangan
kananku. Bang Anwar mengangguk paham. Jari telunjuk itu adalah kode rahasia
antara Bang Anwar dan pelanggannya yang suka berhutang, aku salah satunya. Aku
lupa sudah berapa banyak hutangku pada Bang Anwar, sepertinya Bang Anwar
sendiri tidak pernah mencatat berapa hutangku, di antara kami sudah saling
memahami, saling percaya bahwa aku tidak akan pergi meninggalkan kewajibanku.
Kalau ada uang pasti aku bayar, tapi entah kapan.
Tiba-tiba
ada notifikasi e-mail masuk. Alamat
pengirim e-mail tidak kukenal. Hanya
tertulis pesan yang sangat singkat.
“Ada hal penting yang harus aku
bicarakan dengan kamu. Hubungi aku di nomor ini.”
Sesingkat itu, tapi berhasil membuat aku penasaran. Aku cek sisa pulsa yang ada di ponsel,
tersisa seribu rupiah, masih bisa untuk SMS beberapa kali. Kucoba mengirimkan
pesan ke nomor yang tertera di e-mail.
Beberapa menit berlalu, tak ada jawaban. Sampai Bang Anwar selesai memasak nasi
goreng pesananku masih belum ada SMS balasan. Mungkin cuma orang iseng,
pikirku. Lalu aku kembali ke kamar kostku sambil menenteng sebungkus nasi
goreng.
*****
Sekitar
pukul sembilan pagi aku terbangun, dengan mata setengah terpejam kuperiksa
ponselku. Ada SMS masuk sekitar pukul lima tadi pagi. Kubaca pelan-pelan sambil memulihkan
kesadaranku yang belum sempurna.
“Bisa
kita bertemu siang ini di Coffee Shop
seberang stasiun kereta?”
Aku
termenung sejenak, apa mau orang ini sebenarnya? Ragu-ragu aku membalas pesan
tersebut. Semoga bukan orang iseng yang kurang kerjaan, batinku.
Matahari
tepat di atas kepala, aspal di bawah kakiku terasa lumer, meleleh karena
jerangan panas yang luar biasa, dengan gerakan cepat aku berusaha berselap-selip
menyeberang jalan di antara semerawutnya lalu lintas di depan stasiun.
Orang-orang seperti beradu cepat menegejar sesuatu yang tidak pernah aku
pahami. Suara klakson bersahut-sahutan menambah riuhnya suasana siang yang
panas.
Dengan
nafas masih ngos-ngosan, akhirnya aku sampai juga di depan
coffee shop yang dimaksud. Saat
kudorong pintu kacanya, hawa sejuk yang menyembur dari pendingin ruangan dan
aroma kopi yang kuat langsung menyergap hidungku. Hawa panas dan bising di
jalan tadi langsung lenyap seketika. Aroma kopi memang selalu memiliki daya
magis yang menghipnotis.
Kuambil
ponselku dari dalam saku. Ada pesan masuk.
“Aku
ada di pojok sebelah kanan pintu masuk. Dekat jendela. Blazer coklat muda.”
Segera
kulayangkan pandanganku ke area yang dimaksud. Ada seorang gadis sedang duduk
di sana sambil menekuni layar ponselnya. Kupicingkan mata, otakku bekerja keras
untuk mengingat seraut wajah yang sedang duduk di pojok itu. Nihil, aku tak
pernah merasa mengenalnya.
Dengan
sedikit ragu aku melangkah ke arahnya. Sekitar tiga langkah lagi tiba-tiba dia
mendongakkan kepalanya, langsung menatap ke arahku. Aku berhenti, ada
keheningan dan kecanggungan yang tiba-tiba saja terbangun. Rasanya ingin sekali
aku berbalik arah dan segera pulang.
Gadis
itu tersenyum lalu berdiri.
“Nikki?”
Tiba-tiba saja dia menyebut namaku. Dari mana dia tahu namaku?
Aku
maju beberapa langkah lagi dan menyodorkan tangan kananku. Konyol memang, tapi
dalam pikiranku yang panik, hanya tulah tindakan paling logis dan aman yang
bisa aku lakukan.
Gadis
itu menyambut tanganku. Kami bersalaman.
Sejenak
kuperhatikan tampilan gadis ini secara keseluruhan. Kulit putih pucat, warna
rambut yang dicat kemerahan, mata kebiruan yang dihasilkan dari lensa kontak
serta warna kuku merah menyala. Persis seperti mannequin, batinku.
“Silakan
duduk,” katanya.
Aku
duduk di kursi yang berhadapan langsung dengannya. Di atas meja bulat di
hadapan kami terserak tablet, ponsel edisi terbaru dan dan komputer jinjing
yang kutaksir harganya cukup untuk biaya sewa kostku selama tiga tahun. Aku
menarik nafas, mencoba menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Maaf,
kalau sebelumnya aku berlaku tidak sopan,” katanya pelan sambil melipat
komputer jinjingnya. “Tapi ada yang perlu aku bicarakan dengan kamu.”
“Tentang
apa ya?” tanyaku dengan nada selidik.
Gadis
itu tergelak.
“Mau
minum apa?” tanyanya sambil melambaikan tangannya memanggil pelayan.
Aku
masih diam. Bingung dengan kejadian yang aku alami sekarang.
“Kata
orang, kopi adalah salah satu media yang paling jujur untuk mendefinisikan
siapa diri kita.”
Aku
mengerutkan kening, tidak paham dengan yang sedang dia bicarakan.
“Kopi
yang kita pilih tergantung dengan suasana hati dan karakter kita.”
Pelayan
datang.
“Black Ivory Coffee. Kamu?” tanyanya
kepadaku. Fasih sekali lidahnya saat menyebut nama kopi itu. Aku gelagapan,
bingung kopi apa yang mau aku pesan. Pengalaman terhebatku dengan kopi hanyalah
kopi sachet yang dijual di
warung-warung.
“Kalau
boleh aku pilihkan?” katanya lagi dengan nada sedikit menggantung seolah-olah
menunggu persetujuanku. Aku mengangguk.
“Kopi
tubruk satu, black ivory coffee satu
dan dua croissant.” Katanya mantap.
Pelayan
pergi setelah mengulang pesanan kami.
“Sekali
lagi saya minta maaf sudah membuat kamu tidak nyaman. Saat ini saya hanya butuh
teman untuk mendengar cerita saya. Saya tidak butuh saran atau masukan.
Sekarang saya hanya butuh untuk didengarkan. Itu saja.” Kata-kata itu terdengar
cepat dan tegas. Setelah mengucapkan kata-kata itu dia menarik nafas
dalam-dalam dan melepaskannya seketika sambil membuang pandangnya ke arah jalan
melalui kaca jendela.
“Kenapa
memilih saya? Mbak kan tidak kenal saya.” Kataku mencoba mengimbangi
perkataanya.
“Itulah
masalahnya.” Katanya, “Aku terlalu mengenal banyak orang. Aku terlalu banyak
dikenal orang.”
“Bukannya
enak Mbak kalau punya banyak teman?” tanyaku lagi masih tidak paham.
Gadis
itu tersenyum getir.
“Lihat saya!” katanya. “Lihat saya!” ulangnya
lagi. “Ini bukan saya.”
“Maksud
Mbak?”
Pelayan
datang dengan membawa dua cangkir kopi dan dua piring croissant. Obrolan kami tertahan sejenak. Aroma kopi yang kuat
langsung menggelitik indra penciumanku. Kopi mahal, batinku. Seumur-umur belum
pernah aku mencium aroma kopi yang begitu kuat. Ada aroma khas yang memenuhi
udara di antara kami.
“Ehhmm,”
gadis itu berdehem. Perhatianku teralihkan ke gadis itu lagi. Tapi suasana
sekarang menjadi beda. Kami diselubungi aroma kopi yang magis, menenangkan
sekaligus menguatkan di saat yang bersamaan.
“Kenapa
saya memilih kamu, Nikki? Karena saya tidak mengenal kamu, dan kamu tidak
mengenal saya, jadi saya bisa bercerita dengan bebas tanpa takut di judge yang tidak-tidak. Saya bisa bercerita sebagai diri saya
secara utuh, bukan sebagai saya yang mengecat rambut dengan warna kemarahan dan
berlensa kontak kebiruan. Saya bisa bercerita sejujur mungkin, sejujur kopi
tubruk yang kini ada dalam gelas yang kamu genggam.” katanya sambil menunjuk gelas
yang kini ada dalam genggamanku.
“Kenapa
kopi tubruk?” tanyaku heran.
“Kamu
tahu kopi ini?” tunjuknya ke arah gelas kopi yang dia pesan.
“Ivory black coffee” gumamku pelan.
“Adalah
kopi dengan cita rasa paling rumit sedunia. Untuk menikmatinya kamu harus
benar-benar paham luar dalam tentang kopi. Butuh usaha keras untuk bisa match dengan cita rasa kopi sekelas
ini.”
“Kalau
rasa kopinya rumit kenapa mbak pesan?”
“Itu
dia. Sama seperti hidupku sekarang. Awalnya aku hanya seorang gadis biasa yang
punya impian layar perak seperti gadis kebanyakan. Takdir berlaku baik. Aku sekarang
bisa menjadi apa yang aku impikan bertahun-tahun lalu.”
Gadis
itu berhenti berbicara sebentar lalu meneguk kopinya. Matanya terpejam
menikmati cairan hitam kental yang masuk ke kerongkongannya.
“Tapi
lihat sekarang!” sambungnya. “Semua yang berhasil aku raih malah memerangkap
hidupku dalam sangkar emas seperti ini. Kesuksesanku seperti dinding beton yang
menyekat diriku. Aku lelah. Aku sudah tidak mampu terus-terusan hidup seperti
ini.”
Pecah
sudah. Mata gadis itu sembab.
“Terus
mbak maunya bagaimana?” tanyaku pelan, takut menyakiti perasaannya yang kini
sudah koyak.
“Aku
ingin kembali seperti dulu.”
“Kenapa
mbak tidak mencoba kembali seperti dulu?”
“Rumit.”
katanya singkat sambil menunjuk gelas kopinya.
Aku
mengangguk paham.
“Boleh
minta kopimu?” tanyanya.
Aku
sorongkan gelasku ke hadapannya. Dia mengambil gelas kopiku dan meminumnya.
“Ah,
andai saja hidupku sekarang sesederhana dan sejujur kopi ini.” gumamnya pelan,
entah berbicara kepadaku atau kepada dirinya sendiri.
“Jadi…?”
kataku dengan nada menggantung seolah menunggu jawaban.
“Aku
mau mengakhiri semuanya.”
“Maksudnya?”
Aku kurang paham dengan yang barusan dia katakan.
“Selesai.
Bukankah setelah kita mencapai semua yang kita harapkan, itu adalah tanda kita
untuk kembali?”
Aku
mengangguk pelan, walaupun sebetulnya tidak begitu paham dengan yang dia
bicarakan.
“Baiklah,
terima kasih banyak atas waktunya.” Dengan gerakan cepat, gadis itu merapikan
semua barangnya dan bergegas pergi. Seperti itu saja, hanya ucapan terima
kasih, tak ada ucapan selamat tinggal atau informasi dari mana dia mendapat
alamat e-mail dan mengetahui namaku.
Aku
melangkah keluar dari coffee shop,
langit mendung. Kontras sekali dengan cuaca tadi siang. Belakangan ini cuaca
memang sering tidak tertebak.
*****
Pagi berikutnya aku bangun tidur
di kamar kostku. Cuaca di luar masih gerimis sisa hujan semalam. Mungkin karena
semalaman hujan membuat cuaca menjadi dingin. Enak sekali kalau merokok
pagi-pagi begini. Aku segera menuju warung Mang Dadang untuk membeli rokok.
“Sekalian ngopi nggak, Nik?”
tanya Mang Dadang.
“Ada kopi tubruk nih, enak pisan kalau diminum pagi-pagi. Mana
cauacnya gerimis begini. Pokoknya mah
TOP BGT lah.” Kata Mang Dadang sambil mengangkat jempolnya.
“Bolehlah. Satu ya.” pintaku.
Iseng-iseng kunyalakan televisi
untuk sekadar mendapatkan berita terbaru. Pagi-pagi begini banyak acara infotainment ditayangkan. Kupindah-pindah saluran televisi
sampai tiba-tiba mataku melihat wajah yang rasanya tidak terlalu asing. Gadis
kemarin yang bertemu denganku di coffee
shop! Tertulis headline dengan huruf besar. ‘MODEL TERKENAL MATI BUNUH
DIRI.’
Deg.
Kubesarkan volume televisi. Tidak
salah lagi. Dia gadis yang bertemu denganku kemarin. Pikiranku kembali mengingat
kata-kata terakhirnya. ‘Selesai. Bukankah
setelah kita mencapai semua yang kita harapkan, itu adalah tanda kita untuk kembali?’
Aku meringis mengingat semua
kejadian kemarin, tak pernah terlintas di pikiranku kata-kata ‘kembali’
ternyata sinonim dengan ‘mati’.
Kopi tubruk panas terhidang.
Aroma kopi yang kuat bercampur dengan aroma tanah basah. Magis, kuat sekaligus
menenangkan.
Kusesap sedikit kopi tersebut
sambil dalam hati berdoa, semoga Tuhan menyederhanakan sisa takdir yang harus
aku jalani. Sesederhana mungkin, sesederhana kopi tubruk yang kini tengah
kunikmati dalam suasana gerimis ini.
Oleh: Achmad Ikhtiar
Blog Post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory
Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Oleh: Achmad Ikhtiar
Blog Post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory
Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Komentar
Super! Good luck Buat cerpen hanya sebuah do'a sederhana.
Benang rumit akan mudah diselesaikan dengan memotongnya. Meski... ya, terlalu pintas!
#AchmadIkhtiarCupOfStory
Aamiin..😇😇😇
Tp kenapa harus diakhiri dgn bgitu, jgn ditiru ya ka klo udh sampe dititik itu.. hehee