Langsung ke konten utama

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3
Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone. Pantas saja punggungku terasa dingin.

Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa.

Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur.

Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya? Aku hampiri laptop dan membaca tulisan yang ada di sana. Si poni, batinku.

*****

Hari pertama mengenakan seragam putih biru. Aku masuk sekolah siang, hari ini adalah hari pembagian kelas dan pembagian jadwal belajar. Saat tiba di sekolah suasana sudah ramai, beberapa anak masih ada yang diantar orang tuanya, termasuk si poni.

Papan putih yang ditempeli kertas pembagian kelas dan jadwal itu dikerubuti siswa baru. Aku malas ikut-ikutan mengerubungi papan itu. Sambil menunggu papan pengumumman sepi, aku mampir ke kantin.

“Mbak, tek wan satu ya, pedas.” kataku memesan makanan di kantin yang terletak di samping tangga. Sekolah ini tidak terlalu besar hanya memiliki sekitar dua puluh ruangan, jadi jadwal belajar harus di bagi antara pagi dan siang. Kelas satu semuanya masuk siang, kelas dua dibagi dua menjadi jadwal pagi dan siang sedangkan kelas tiga mendapat jadwal pagi semua.

“Minumnya apa?” tanya ibu penjaga kantin.

“Teh manis aja, Mbak. Es nya jangan terlalu banyak.”

Sambil menunggu pesananku datang, iseng-iseng kuperhatikan keadaan sekolah yang akan kusinggahi selama tiga tahun ke depan. Sekolah ini terletak di tepi kali krukut, wajar jika setiap musim hujan ada saja libur dadakan karena sekolah tergenang banjir. Lapangan olah raga sekaligus tempat olah raga -yang kadang berubah fungsi jadi tempat parkir- terbilang sempit.

Di area sekolah ini ada dua sekolah, SMP yang kutempati dan SMA yang ada di depannya. Hanya dipisahkan oleh lapangan tadi, lapangan ini pun milik bersama, jadi harus di bagi waktu antara jadwal olah raga SMP dan SMA. Di dekat kantin ada taman kecil dengan air mancur yang di isi ikan mas warna-warni, di belakang taman ada musholla dan ruang BP. Kelas di bagi dua, ada yang di lantai satu dan di lantai dua.

Tek wan-ku datang. Belum sampai empat suapan tiba-tiba bel masuk berbunyi. Waduh salah perhitungan. Siswa yang tadi sibuk bergerombol di kantin dan dekat taman segera beranjak memasuki kelas mereka.

Aku? Bahkan aku belum tahu masuk kelas berapa. Segera kubayar makanan yang belum sempat kuhabiskan dan berlari ke arah lapangan tempat papan pengumuman diletakkan. Sial, pintu teralis menuju lapangan sudah ditutup. Hari pertama sekolahku sudah amburadul begini, tidak sampai tiga menit koridor langsung sepi.

Aku bingung, celingak-celinguk mencoba menguasai keadaan.

“Hei kamu, ngapain berdiri di situ? Buruan masuk ke kelas!” Tiba-tiba ada suara yang menegurku dari arah belakang. Seorang lelaki berperawakan kurus  tinggi dengan rambut keriting berdiri di hadapanku.

“Saya nggak tahu saya masuk kelas berapa, Pak.”

Bah, dari tadi kamu ngapain aja?”

“Makan di kantin, Pak.” jawabku dengan nada takut. Kutaksir orang yang kini berdiri di hadapanku adalah seorang guru, orang batak. Logat bicaranya jelas sekali, aku harus hati-hati.

“Baru masuk sekolah sudah tidak disiplin. Nyanyikan lagu Indonesia Raya!”

Hah?”

“Hafal tidak kau dengan lagu Indonesia Raya?”

“Hafal, Pak.”

“Cepat nyanyikan!”

Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku…..”

Lagu Indonesia Raya selesai aku nyanyikan.

“Bagus juga suara kau.”

“Iya, Pak.”

“Iya-iya, sekarang bacakan pancasila!”

Waduh..”

“Lekaslah!”

“Iya, Pak. Pancasila… Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa… Dua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab… Tiga, Persatuan Indonesia…”

“Syukurlah, masih ada anak yang hafal Lagu Indonesia Raya dan pancasila. Sekarang lekaslah kau ke Kantor Tata Usaha, tanyakan kelas kau di sana!”

“Baik, Pak.” Kataku sambil melangkah pergi.

Beberapa langkah kemudian aku berbalik.

“Pak..”

“Ada apa lagi?”

“Kantor Tata Usahanya di mana?”

“Ampun lah kau ini. Lekas ikut Bapak.”

Aku mengekor guru yang belakangan kuketahui bernama Bapak Sinaga.

*****

Bapak Sinaga? Apa kabar Beliau sekarang? Tiba-tiba saja aku teringat nama yang sudah belasan tahun kulupakan. Kuangkat gelas kopi yang sudah mulai hangat, kugenggam erat tubuhnya yang bundar dengan kedua telapak tanganku, ada hawa hangat dari gelas yang tersalur ke tanganku.

Bapak Sinaga? Tiba-tiba pipiku menghangat dan tanpa bisa kutahan butiran bening merembes satu-satu lewat celah mataku. Tak perlu kutahan, batinku.

Ada beberapa saat dalam diri seorang lelaki di mana dia tidak bisa menahan tangisnya, dan itu terjadi padaku saat ini. Mungkin Tuhan sedang berbaik hati terhadapku dengan memberikan penyakit ini agar aku tidak melupakan kisah-kisah yang pernah Tuhan gariskan untukku. Dan aku sedang menangisi berkah Tuhan yang Maha Baik dan Maha Pengingat ini.

Semoga saja.


…bersambung…

Komentar

Unknown mengatakan…
Sebagai kakak kelas yang kebetulan menyaksikan kejadian itu, sepertinya ada bagian yang lupa ketulis sama dik Achmad sebelum mengekor pak Sinaga ke ruang tata usaha. Coba dik Achmad gali lagi memory tersebut.

Seingat saya.... Sich...
Emmm...
Apa ya....

Oh.... iya benar!!

UUD 1945!!
Unknown mengatakan…
Sebagai kakak kelas yang kebetulan menyaksikan kejadian itu, sepertinya ada bagian yang lupa ketulis sama dik Achmad sebelum mengekor pak Sinaga ke ruang tata usaha. Coba dik Achmad gali lagi memory tersebut.

Seingat saya.... Sich...
Emmm...
Apa ya....

Oh.... iya benar!!

UUD 1945!!
Ciani Limaran mengatakan…
Luar biasa hukuman utk murid yg tidak disiplin... Semoga bapak sinaga sehat ya, uncle ik.
Sasmitha A. Lia mengatakan…
Hey, pak sinaga itu kepala sekolahku sekarang loh mas..😅😅😅
Uncle Ik mengatakan…
Betulan apanya, Mbak? 😐
Uncle Ik mengatakan…
Wah, kalau UUD sampe sekarang saya nggak hafal Mas Wahyu
Uncle Ik mengatakan…
Amin, semoga saja Mbak
Uncle Ik mengatakan…
Amin, semoga saja Mbak
Uncle Ik mengatakan…
Betulan apanya, Mbak? 😐
Unknown mengatakan…
Si anak Demensia ini memperlihatkan bahwasanya tidak ada yang salah dengan 'tangisan seorang lelaki'
Uncle Ik mengatakan…
Ga apa apa nangis, asal jangan keliatan orang, malu. Ahahahaha
Unknown mengatakan…
ciee netesin air mata...
Uncle Ik mengatakan…
Cerita nya kan lagi sedih
Wiwid Nurwidayati mengatakan…
Betulnya INI cerita nyata?(logat ...)
Wiwid Nurwidayati mengatakan…
Betulnya INI cerita nyata?(logat ...)
Uncle Ik mengatakan…
Saya aja Bingung ngebedain ini nyata atau cuma khayalan, Mbak
Unknown mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U