Kadang ada beberapa titik dalam hidup saya ketika saya benar-benar lumpuh, tak bisa menulis lagi. Inspirasi saya mentok, saya kehabisan kata-kata. Kadang saya sebegitu herannya setiap ‘main’ ke toko buku dan menemukan puluhan buku baru dipajang di rak. Kok bisa ya penulis-penulis itu menghasilkan buku hampir tiap bulan, tangan mereka lincah seperti mesin pabrik berproduksi setiap harinya menghasilkan karya? Apa yang salah dengan saya?
Jujur saja saya kurang gaul, saya cuma orang udik yang tersasar di megahnya semesta sastra, bergaya-gaya seperti penulis jempolan, padahal setiap saya membaca salah satu karya yang dipajang di rak toko buku tersebut hati saya seketika ‘mengkeret’ menahan malu sekaligus takjub dengan karya yang barusan saya baca. Lalu timbullah rasa tidak percaya diri yang berlebihan kadarnya, saya mundur perlahan, masuk ke tempat gelap dan mengungsi dari dunia sastra karena takut dengan bayangan saya sendiri. Ironis.
Keadaan seperti itu bisa melumpuhkan saya sampai berbulan-bulan, menina bobokan saya dalam sebuah dunia yang apatis, statis, malas. Lagi pula tak ada alasan untuk saya menulis. Ketenaran? Uang? Sepertinya itu sudah tidak relevan lagi untuk saya sekarang. Bukan karena saya sudah memilikinya, tapi harapan luar biasa seperti itu nampak seperti impian di awang-awang, tak tergapai.
Saya ingat betul waktu itu sekitar awal bulan Ramadhan, sehabis tarawih saya biasa berkumpul dengan teman-teman di balkon studio musik yang menghadap langsung ke kali krukut yang airnya hitam. Di antara bekas puing-puing sisa pembongkaran rumah di sepanjang kali tersebut saya benar-benar melihat Jakarta secara utuh. Abang-abang penarik Bajaj yang berkerumun setiap malam sambil menyetel musik dangdut dari radio tua yang suaranya mulai kemerosok, anak-anak kecil yang duduk-duduk di tepian sungai sambil memandangi sampah yang terbawa arus sungai atau tukang tambal ban dan penjual bensin eceran yang nekat survive di atas sisa-sisa kios mereka. Inilah Jakarta, tempat saya lahir, bermukim sampai sekarang. Sepuluh tahun lalu jakarta memang sudah seperti ini, lima tahun lalu Jakarta masih seperti ini, dan malam itu pun Jakarta masih tetap seperti ini. Saya tidak mau ikut-ikutan latah dengan meyebut Jakarta sudah berubah.
Di antara kepulan teh susu panas yang jadi minuman utama dalam setiap pertemuan, tiba-tiba saja seorang teman menanyakan kelanjutan novel saya. Pukulan telak. Saya tidak bisa menjawab. Hanya bisa mengambil teh susu yang masih panas dan meniup-niup permukaannya. Mata saya menatap keluar balkon dan terbentur pada penjual nasi goreng yang sedari tadi sibuk memainkan gadget karena pembeli tak kunjung datang.
Saya menggeleng, rasanya malu sekali karena saya sudah mempersiapkan seremoni suntik mati untuk karya saya sendiri. Karya yang bahkan belum rampung. Big Bang 2 terpaksa harus kena aborsi karena saya malas menuliskannya. Ironis sekali.
Gerimis turun satu-satu, lalu semakin membesar, padahal ini bulan Juni, puncaknya musim panas. Tapi siapa peduli kalau bumi sekarang sedang anomali? Malam semakin bergeser mendekati titik kulminasi, saya masih asyik bermain-main dengan kata-kata dalam kepala saya sendiri. Big Bang 2 disuntik mati, haruskah? Saya sendiri ragu menjawabnya. Bukan perkara mudah memutuskan sesuatu berhak mati atau hidup.
Pikiran saya terus mengawang-awang. Hidup atau mati? Itu bukan persolan, ada yang mati dalam hidup, ada pula yang terus hidup dalam kematian. Manusia bukan apa-apa. Saya teringat dengan sebuah buku yang pernah saya baca yang intinya bukan masalah hidup atau matinya seseorang, tapi kesadaran dalam dirinyalah yang utama. Banyak manusia hidup tapi tidak pernah sadar kalau dia sudah mati, tidak sedikit pula manusia yang sudah mati tapi mereka tetap hidup dalam sebuah bentuk kesadaran baru. Eksistensi mereka terjaga kekal. Lewat apa? Tulisan!
Beeeeehhhh… waktu saya menuliskan kata TULISAN barusan, saya jadi merinding sendiri. Kalau saya berhenti menulis sekarang berarti bentuk kesadaran dalam diri saya nanti kalau saya sudah mati tidak bisa bertransformasi ke tingkat berikutnya. Kesadaran saya atas diri saya musnah, hilang tak tersisa dan tergerus waktu.
Saya sadar satu hal kalau saya berhenti menulis sekarang. Kepergian saya itu tidak akan menyisakan luka apapun, malahan akan mentahbiskan dunia pada sebuah pada sebuah ziarah yang mustahil. Kejam. Saya hanya akan mengguratkan nama saya pada nisan dan pergi dari hadapan dunia secara diam-diam. Tidak, saya tidak mau. Si anak udik ini juga ingin namanya dikenang, tidak melulu sebagai penulis. Setidaknya pernah ada anak udik yang berani melawan, tidak mau mengalah pada rasa malas, berhasil atau tidaknya itu urusan Tuhan, setidaknya saya menjadi martir untuk generasi sesudah saya yang berani memajang tulisan cakar ayamnya di rak toko buku.
Saya tersenyum dan menatap malam yang semakin pekat.
Tunggu saja. Dan malampun malu menatap anak udik yang terlanjur over confidence ini.
Gerimis turun lagi, penjual nasi goreng bersiap-siap merapikan gerobak dagangannya.
Komentar
Tetap semangat semoga karya-karya kita bisa ngeksis di rak-rak toko buku. Amiin..