Langsung ke konten utama

DIA

Sudah beberapa hari ini aku selalu merasa ada sesuatu atau seseorang yang terus-menerus mengikutiku kemanapun aku pergi. Aku tak bisa memastikan yang mengikutiku itu adalah seorang manusia, hewan, hantu atau mungkin hanya sebentuk rasa paranoid yang tiba-tiba hadir dari pikiran bawah sadar. Seperti barusan saja terjadi, setelah aku menuntaskan tugasku dengan melesakkan sebutir timah panas ke pilipis korban yang yang sudah kuincar selama empat hari ini, aku merasa ‘dia’ ada di dekatku, menyaksikan semua yang kulaukan. Begitu juga saat dengan santainya belatiku memotong-motong tubuh korban agar tidak bisa dikenali, aku merasa ‘dia’ masih memelototiku dengan tatapannya yang dingin.

Tubuh yang sudah terpotong-potong itu kumasukkan ke dalam beberapa karung terpisah. Seperti biasa, aku arus memisah-misahkan bagian tubuh korbanku agar polisi tak bisa mengenali. Teknik yang paling kusukai adalah mencor tubuh korban dalam peti, dan semen yang sudah mengering itu kubawa ke tengah laut dan kulungsurkan ke dasar. Bukankah aku juga seorang pembunuh bayaran yang ramah lingkunagan? Beton itu nanti akan jadi tempat ikan-ikan kerapu bersarang dan beranak pinak, dan yang paling utama, tak akan ada yang pernah menemukan mayatnya.

‘Dia’ masih di sana, aku dengan jelas sekali bisa merasakannya. Dia duduk di kursi tengah mobilku. Sesekali aku mengintip lewat kaca spion tengah tapi aku tak menemukan apa-apa selain kursi kosong. Tapi aku sangat yakin ‘dia’ ada di sana, sementara di bagian mobil paling belakang karung yang berisi potongan tubuh bergoyang-goyang semakin hebat saat aku mulai memasuki wilayah hutan bakau. Rencanaku sederhana, buang mayat korban secara terpisah dan biarkan bagian tubuh itu dicacah biawak, di kunyah buaya atau habis dicerna belatung. Daerah ini cukup sepi, tak ada orang yang berani masuk wilayah  ini karena predikat keangkerannya.

Tugas selesai, aku mengganti kaus dengan jas. Dengan yakin melajukan mobilku ke daerah keramaian. Tujuanku pasti dan jelas: bar. Setelah tugas ini selesai aku ingin bersantai, mengecek uang transferan dari bosku sambil mabuk-mabukan.

Tiba di depan bar yang bagai lampu menarik laron di pusat kota ini, aku disambut pihak keamanan. Predikatku sebagai orang yang rajin’buang-buang duit’ membuatku mendapat penghormatan lebih di tempat ini.

Baru saja pantatku menjejak di kursi tinggi bar, lima wanita yang tiga diantaranya kukenal datang menghampiri.

“Lagi mau ditemenin, Boss?” sapanya sambil menghembuskan asap rokok dari bibir yang sengaja dimanyun-manyunkan untuk memancing birahiku.

Aku menggeleng.

“Mereka siapa?” tanyaku sambil menunjuk ke dua orang baru yang sejak tadi kuperhatikan menunduk malu-malu.

“Oh, itu si Mirna sama Wati. Baru dua hari di sini, masih gress Boss. Mau coba?” tanya perempuan yang memakai kalung emas imitasi besar berjuntai panjang, sehingga orang yang melihat kaling itu selalu terpancing untuk memandang ke arah dadanya yang membusung.

Aku menggeleng. Mereka cemberut.

“Gini aja, lo bebas mau minum aja. Gratis. Gue yang bayar malem ini semuanya.”

Mereka bersorak dan segera membubarkan diri, mencari pelanggan yang mungkin mau sekedar memberi dan melepas  nikmat dengan imbalan rupiah. Mereka  bilang itu adalah simbiosis mutualisme kuantum, simbiosis mutualisme dalam tingkatan atom saat orgasme meledak dan melemparkan mereka ke sebuah dunia entah berantah yang tidak mereka kenali.

Vodka terhidang, aku menjilat-jilat garam yang dioleskan bartender di sekitar bibir gelas. Perasaan itu hadir lagi. Aku merasa ‘dia’ ada juga di sini. Padahal ini tempat ramai. Aku tidak takut, kalau ‘dia’ nekat mencelakakanku di sini, aku masih punya lima peluru dan setengah dari orang yang bekerja di tempat ini kenal denganku. Mereka pasti mau membantuku.

Sambil menimang-nimang gelas ketigaku aku berpikir, mungkinkah ‘dia’ adalah arwah penasaran dari orang-orang yang pernah aku bunuh. Sepengetahuanku, arwah orang yang mati di bunuh itu harusnya takut pada orang yang membunuhnya, bukan malah menguntitku ke mana-mana siang dan malam. Lagi pula persetan kalau ‘dia’ itu hantu, aku tidak takut. Kuhabisi sekalian hantunya. Aku tidak mengenal rasa takut.

Malam bergulir cepat, pagi hampir menjelang, dengan badan lelah dan mata mengantuk aku lajukan mobilku menuju apartemen, aku ingin lekas sampai, langsung tidur tanpa mandi.

Sampai di kamar aku nyalakan lampu tidur. Kondisi kamar remang-remang. Aku ganti pakaianku dengan kaus oblong dan celana pendek. Setelah cuci muka ala kadarnya aku segera tidur.

Dalam tidur aku bermimpi sedang dikeroyok oleh orang-orang yang pernah aku bunuh. Dengan jelas sekali aku bisa merasakan bagaimana rasanya tengkorakku meletup saat timah panas disarangkan, bagaimana perihnya saat siku tanganku dipotong-potong dan hawa ngeri saat seekor buaya mencabik-cabik bagian tubuhku yang teronggok di rawa. Aku menjerit-jerit sejadi-jadinya. Belum pernah seumur hidupku aku merasakan rasa sakit dan rasa takut seluar biasa ini. Aku berteriak-teriak sampai terbangun.

Kulirik jam duduk yang ada di meja dekat tempat tidur. Sial. Berarti aku baru tidur sekitar dua puluh menit. Suasana kamar masih temaram olaeh cahaya lampu tidur. Aku memijit-mijit peilipisku untuk sekedar menghilangkan rasa pusing.

Setengah terduduk di ujung tempat tidur , aku merasa ‘dia’ sedang duduk di sofa dekat jendela, duduk santai dalam remang-remang. Aku tak bisa melihat secara jelas wujudnya.

“Siapa kamu?” tanyaku dengan nada tercekat karena menahan takut.

Tak ada jawaban.

“Siapa kamu?” aku bertanya sekali lagi dengan nada yang lebih tegas.

“SIAPA KAMU?!” kali ini aku berteriak sekuat-kuatnya.

Hening sejenak. Lalu timbul sebuah suara, bukan suara seperti umumnya, lebih mirip seperti sebuah pemahaman yang langsung dibisikkan ke dalam pikiranku.

“Aku adalah doa almarhumah ibumu bertahun-tahun lalu. Kembalilah! Kembalilah!”

Aku kaget, tidak sanggup mengantisipasi jawaban yang barusan aku dapatkan.

Seketika gelap mengurung tatapanku. Hitam. Hitam.

Komentar

Lisa Lestari mengatakan…
wooowww....menyeramkan
Sang Mahadewa mengatakan…
"Kompor Gas!" Kata Pakde Indro.
Mas Ahmad jago nyerpen, jempol dch.

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s