Langsung ke konten utama

RUKOYAH INGIN PULANG

Tubuh Rukoyah mengejang hebat, dia terlempar dari mimpi indah barusan. Tubuhnya menggigil, seluruh persendiannya terasa ngilu. Perutnya berkerucuk. Lapar, dia belum makan apa-apa sejak tadi malam, tapi rasa ngilu di tubuhnya tidak seberapa dibandingkan rasa perih di selangkangannya. Belum lagi rasa sakit hatinya kepada Anwar, sang mucikari yang selama ini selalu mengambil sebagian keuntungan dari kerja kerasnya. Setelah dokter memvonis rukoyah terkena penyakit kelamin dengan semena-mena Anwar memutuskan hubungan kerjanya secara sepihak.

Dengan tenaga yang tersisa di tubuhnya Rukoyah berusaha bangkit dari tempat tidur, berjalan setengah terseret ke arah pintu, menggapai jaket dan bergegas keluar. Matahari pagi tidak menggeliat pagi ini, cahanyanya kalah dihalau awan mendung. Gerimis sisa hujan semalam mengguyur seisi kota. Tubuh Rukoyah semakin mengigil, butir gerimis terasa seperti hujaman jarum pada wajahnya.

Hampir setengah jam Rukoyah berjuang menyeret kakinya untuk sampai ke depan sebuah bangunan yang dipagari teralis tinggi. Tak ada penjaga di gerbang, tempat ini selalu seolah-olah tanpa penghuni, hanya Anwar, Rukoyah dan teman-teman yang seprofesi dengannya yang tahu segala kegaitan yang berlangsung di tempat ini. Satu bulan sekali Rukoyah dan teman-temannya datang ke tempat ini untuk mengecek kesehatan, disuntik rupa-rupa obat agar terhindar dari penyakit kotor, suntik botox di beberapa bagian tubuh agar selalu terlihat kencang dan jika dalam keadaan darurat tempat ini juga bisa berlaku menjadi klinik aborsi.

Rukoyah menggedor pelat besi di balik teralis beberapa kali dan mendengar suara benda berat digeser. Tak lama kemudian pintu terbuka. Seorang perempuan dengan celana panjang putih dan kemeja coklat melongok.

“Rukoyah?” katanya dengan mulut setengah ternganga, “Kenapa kamu datang ke sini lagi?”

Rukoyah tidak peduli, Anwar sudah memberikan uang agar Rukoyah pulang ke kampung dan menjemput ajal di sana dengan tenang. Rukoyah ingin meminta keadilan, rukoyah ingin sekali lagi di cek ulang perihal penyakitnya atau setidaknya dia ingin mengucapkan salam perpisahan dengan beberapa janin hasil aborsinya yang terkubur di halaman belakang di dekat pohon beringin.

Rukoyah menyeruak masuk, perempuan itu tak sanggup menahan gerakan Rukoyah dan segera berlari mengejar Rukoyah yang tergesa berjalan menuju ruang periksa. Di depan pintu yang setengah terbuka Rukoyah menemukan Dokter langganannya yang setiap bulan menyuntiknya dengan segala macam obat yang ternyata tidak bisa melindungi dirinya dari penyakit yang kini dia derita. Kuasa Tuhan lebih kuat dari obat-obatan yang katanya didatangkan langsung dari Amerika.

Dokter yang berdandan perlente dan  berambut klimis itu kaget melihat wajah Rukoyah mengintip dari balik pintu tapi berusah tetap tenang dan menyuruh Rukoyah masuk.

“Masuklah Rukoyah, tidur di ranjang itu.” Kata dokter sambil  mempersiapkan alat-alat. Perempuan yang tadi bertemu Rukoyah di pintu gerbang hanya diam berdiri berusaha menguasai keadaan. Dia wanita, rukoyah wanita, hanya saja Rukoyah kurang beruntung. Dia sadar betul akan hal itu, nuraninya tersentil.

“Suster, tolong siapkan infus dan vitamin C 500 mg.” dokter memerintah perempuan tadi. Dia tersentak dari lamunannya dan segera menyiapkan semua bahan yang diperlukan dokter.

Hampir tengah hari. Rukoyah bangun dari tidurnya. Dia masih di ranjang periksa tadi. Tubuhnya sedikit lebih segar. Ruangan kosong. Hening. Hanya ada suara burung dari halaman belakang. Rukoyah berusaha bangkit dan berjalan ke halaman belakang yang ditumbuhi banyak pohon besar. Langkahnya pasti dan jelas, dia berjalan ke arah pohon beringin lalu dengan gerakan perlahan dan hati hancur dia berlutut. Menangis sejadi-jadinya. Burung-burung di dahan pohon berhenti bernyanyi seolah-olah bisa ikut merasakan kesedihan Rukoyah.

Setelah habis air mata, Rukoyah pamit kepada dokter dan suster yang melepas kepergiannya dengan perasaan sama remuknya. Si dokter juga memiliki anak perempuan yang hanya terpaut sekitar empat tahun dengan Rukoyah. Rukoyah melangkah keluar dari gerbang dan segera menyetop bus tujuan luar kota.

Di dalam bus Rukoyah lagi-lagi tertidur. Saat dia terbangun kampung halaman yang dia kenal sudah ada di depan matanya. Sawah hijau terbentang luas, langit biru bening, hawa sejuk dan rentetan kenangan bahagia mengisi relung hatinya. Bus berhenti. Rukoyah turun, dia disergap rasa gamang.

Sekitar dua ratus meter dari tempatnya berdiri, dengan jelas dia bisa mengenali. Pardi, orang yang delapan tahun lalu pernah mengungkapkan cinta kepadanya sedang berdiru sambil melambaikan caping ke arahnya. Rukoyah berlari, kini langkahnya terasa ringan, tak ada lagi rasa perih di selangkangan. Pardi menyambutnya dengan senyuman, tubuh  Pardi yang bertelanjang dada kini lebih gelap dan berotot karena terlalu sering menggarap sawah.

“Kemarilah Rukoyah, sudah lama aku menunggu.” Tukas pardi sambil merentangkan tangannya menyambut tubuh Rukoyah yang maju dan tenggelam dalam pelukannya.
Rukoyah bahagia, Pardi adalah cinta sejatinya. Dalam pelukan Pardi semua rasa sakit di tubuh Rukoyah pergi. Dalam pelukan Pardi Rukoyah merasakan kedamaian. Dalam pelukan Pardi Rukoyah merasa terlahir kembali.

Pardi membimbing Rukoyah menuju gubug tempat petani beristirahat, membukakan rantang yang berisi nasi, ikan mas goreng, sambal dan daun kemangi. Air liur Rukoyah terbit. Perutnya melilit, sejak kemarin malam dia belum makan. Terlebih lagi kini ada Pardi di sampingnya. Mereka makan bersama dan bercerita nostalgia tentang masa kecil mereka.

Pada satu titik Pardi sekali lagi mengungkapkan cinta pada Rukoyah. Wajah Rukoyah merah padam, air matanya burai. Pardi mendekat dan mengecum bibir Rukoyah. Lidah  mereka saling membelit. Rukoyah merasa minum air kelapa. Dia bahagia. Dia bahagia. Dia ada di surga.

***

Kondektur, supir bus dan beberapa penumpang panik mendapati seorang perempuan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun sudah terbaring meninggal dalam bus tujuan ke luar kota. Dan gadis itu tersenyum dalam kematiannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s